Kamis, 27 Maret 2008

Kompas 28-Mar-08: Ekonomi Rakyat - "Kerupuk Warung" Pun Terancam Punah

EKONOMI RAKYAT
"Kerupuk Warung" Pun Terancam Punah
KOMPAS/MULYAWAN KARIM / Kompas Images
Pekerja sebuah pabrik kerupuk di daerah Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (27/3), tengah menjemur adonan kerupuk sebelum digoreng dan dipasarkan.
Jumat, 28 Maret 2008 | 01:04 WIB


Mulyawan Karim

Tak semua orang sadar, belakangan ini kerupuk tapioka bundar yang biasa dijual di dalam kaleng di warung-warung pinggir jalan ukurannya lebih kecil dari sebelumnya. Memangkas ukuran kerupuk merupakan salah satu kiat untuk bertahan. mulyawan karim

Dengan cara itu, para pengusaha kerupuk murah meriah tersebut bisa bertahan hidup di tengah meroketnya harga bahan bakar dan bahan-bahan baku saat ini.

”Tidak bisa tidak, kami harus mengecilkan ukuran. Kalau tidak, kami bisa bangkrut,” kata Ny Erlin, pengusaha kerupuk warung, di rumah yang sekaligus menjadi pabriknya di Kelurahan Menteng, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (27/3). Sejak Januari lalu, saat minyak tanah mulai langka dan harganya makin menggila, perempuan berusia 45 tahun itu mengurangi bahan adonan dari 17 gram menjadi 11-13 gram per kerupuk.

Langkah yang sama diambil Haji Kusnadi, pengusaha kerupuk warung lain di daerah Tugu, Cimanggis, Depok. ”Ukuran diameter adonan kerupuk sekarang saya perkecil dari 6 sentimeter menjadi 5,6 sentimeter,” kata lelaki berusia 54 tahun itu.

Menaikkan harga jual produk dianggap para pengusaha kerupuk warung sebagai hal yang tak mungkin dilakukan. ”Kerupuk ini, kan, makanan rakyat kelas bawah. Harga Rp 500 sudah maksimal. Kalau lebih dari itu, tak ada yang mau beli?” kilah Syamsuddin (66), pemilik pabrik kerupuk lain di Menteng Atas.

Namun, gara-gara minyak tanah harganya kini sudah mencapai Rp 6.000 per liter serta naiknya tepung tapioka, terigu, dan bahan baku lain, industri kerupuk rakyat ini terdera. ”Terigu yang awal tahun ini masih Rp 92.500 per kuintal sekarang sudah Rp 180.000,” keluh Ny Erlin yang menggunakan juga tepung terigu sebagai bahan racikan adonan kerupuknya.

Kembali ke kayu bakar

Sadar minyak tanah bersubsidi akan sepenuhnya hilang dari pasaran Jakarta dan harganya bakal tak terjangkau lagi, sejak beberapa bulan lalu perempuan yang mewarisi pabrik kerupuk dari ayahnya ini sudah mulai mengombinasikan penggunaan minyak tanah dengan dua jenis bahan bakar lain, yakni gas dan batu bara.

”Kalau pasokan minyak tanah sedang tersendat, saya pakai batu bara. Tetapi, karena pasokan batu bara dari perusahaan penyalurnya juga belum stabil, saya juga memakai gas,” katanya.

Menurut Erlin, penggunaan elpiji masih jadi pilihan terakhir. ”Para karyawan saya umumnya, kan, berpendidikan rendah. Mereka belum terlalu sadar besarnya bahaya jika mereka kurang hati-hati dan tabung elpiji sampai meledak,” tuturnya.

Erlin yang pabriknya membutuhkan 100 liter mintak tanah menambahkan, jika masyarakat diminta mengganti bahan bakar untuk memasak dari minyak tanah ke bahan bakar lain, seharusnya bahan bakar baru itu tidak lebih mahal dari harga minyak tanah. Itu sebabnya, ibu dua anak ini mengeluhkan harga tabung elpiji 15 kilogram yang melonjak sampai Rp 500.000 per tabung sejak pemerintah melakukan konversi minyak tanah ke elpiji. ”Untuk beli enam tabung gas saja saya sudah menghabiskan uang Rp 3 juta,” ujar bos pabrik kerupuk Puji Rasa itu.

Untuk menekan biaya produksi, Haji Kusnadi bahkan mengaku sudah kembali mencoba menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk mengukus adonan dan menggoreng kerupuknya. ”Kayu didapat dari penebangan pohon milik warga di sekitar rumah saya. Alhamdulillah, ada saja tetangga yang menawari pohon tua untuk ditebang,” cerita Kusnadi yang mengaku sengaja membeli gergaji mesin untuk keperluan ini.

”Saya sekarang juga menggoreng kerupuk memakai serbuk kayu sisa penggergajian para pembuat kusen yang banyak terdapat di sekitar pabrik saya yang di Cimanggis,” kata pengusaha kerupuk yang punya dua pabrik di Beji dan Cimanggis ini.

Kebijakan kembali ke kayu bakar juga dipilih Haji Syamsuddin. Di gudang pabrik kerupuknya terlihat tumpukan potongan kayu bekas, bukan drum minyak tanah atau tabung-tabung elpiji.

Sumber hidup banyak orang

Erlin mengaku sebetulnya sudah lelah mengurusi pabrik kerupuknya yang sudah berdiri sejak tahun 1949. ”Saya tetap berusaha bertahan hanya karena memikirkan nasib para karyawan. Kalau pabrik ditutup, mereka, kan, akan jadi penganggur,” kata Erlin yang punya 40 karyawan.

Para pekerja pabrik kerupuk di Jakarta umumnya adalah orang desa miskin dari daerah Ciamis, Jawa Barat. Mereka adalah orang-orang desa yang tak lagi bisa menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Mereka merantau dan mengadu nasib di Ibu Kota bukan untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kehidupan anak-istri di kampung halaman.

Kusnadi juga bilang, pabrik kerupuknya tidak hanya menghidupi dirinya sendiri, tetapi juga segenap karyawannya.

”Di seluruh wilayah Jabodetabek ada lebih dari 400 pengusaha kerupuk. Kalau tiap orang mempekerjakan 30 orang saja, artinya ada 12.000 orang yang hidupnya bergantung pada industri kecil ini,” papar Kusnadi, yang juga pengurus Asosiasi Pengusaha Kerupuk Se-Jabodetabek.

Namun, menggilanya harga bahan bakar dan bahan baku produksi membuat para pengusaha kerupuk ini terancam gulung tikar dan terpaksa merumahkan para pekerjanya.

Kalau hal ini benar-benar menjadi kenyataan, bukan mustahil kerupuk warung, yang entah sejak kapan sudah jadi teman setia makan kita sehari-hari, akan segera jadi sejarah, punah digulung zaman.

Selasa, 25 Maret 2008

Kompas 25-Mar-08: DPR Nilai Anggota Kongres AS Lecehkan RI

PAPUA
DPR Nilai Anggota Kongres AS Lecehkan RI
Selasa, 25 Maret 2008 | 00:25 WIB

Jakarta, Kompas - DPR menilai anggota Kongres Amerika Serikat, Eni FH Faleomavaega dan Donald M Payne, telah melecehkan Indonesia.

Pada 5 Maret 2008, Faleomavaega mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang kondisi di Papua. Surat itu selain mengungkapkan fakta-fakta secara tidak adil, juga menggunakan kata-kata yang tidak pantas. ”Surat ini saya rasa sudah keterlaluan. Presiden tidak perlu menjawab,” tegas Djoko Susilo, anggota Komisi I DPR yang membidangi masalah luar negeri, kepada pers, Senin (24/3).

Wakil Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional itu juga menilai Faleomavaega hendak ”mengobok-obok” kedaulatan NKRI.

Dalam suratnya itu, yang salinannya didapat Kompas, Faleomavaega secara eksplisit menilai pelaksanaan otonomi khusus (otsus) di Papua telah gagal. ”Itu sebabnya berulang kali kami meminta Anda bekerja sama dengan Kongres AS dan PBB untuk membuat perencanaan yang bisa menjamin implementasi otsus di Papua efektif. Hal itu hanya bisa dilakukan dengan bantuan instansi internasional seperti USAID,” tulis Faleomavaega.

”Presiden Republik Indonesia itu seperti dianggap ’adipati’-nya saja,” kata Djoko, sambil menambahkan, Indonesia tidak menolak sikap kritis negara sahabat, tetapi semestinya disampaikan dengan etika dan tetap menghormati kedaulatan setiap negara.

Tidak konsisten

Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri RI Eddy Pratomo, Senin, membenarkan, Presiden telah menerima surat itu. Ia menilai, isi surat dari kedua anggota Kongres AS itu bertentangan dengan sikap yang diperlihatkan Eni Faleomavaega saat berkunjung ke Papua.

”Saat kunjungannya dahulu Eni mengaku bisa menerima keberadaan Papua sebagai bagian dari RI dan tidak akan memasalahkannya lagi,” kata Eddy dalam rapat kerja Komisi I dengan jajaran Kementerian Koordinator Bidang Polhukam.

Secara terpisah, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menyatakan, isu otsus daerah Papua sudah lama diedarkan, bahkan sejak dirinya menemui lima LSM AS di KBRI Washington, 17 April tahun lalu.

Terkait Faleomavaega, Juwono menyebutkan, anggota Kongres AS itu sudah berbicara langsung dengan pemerintah daerah setempat, termasuk dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi tentang semua persoalan di Papua. (SUT/DWA)

Kompas 13-Mar-08: Bangsa Ini Enggan Punya Pemerintahan yang Kuat

UU Politik
Bangsa Ini Enggan Punya Pemerintahan yang Kuat
Kamis, 13 Maret 2008 | 00:29 WIB

Jakarta, Kompas - Bangsa ini tampaknya tak ingin mempunyai pemerintah dan partai politik yang kuat. Pasalnya, undang-undang politik yang ada tidak memungkinkan lahirnya pemerintahan mayoritas yang kuat, dengan didukung parpol yang kuat. Padahal, pemerintahan dan parpol kuat menjadi syarat yang penting bagi demokrasi yang pemerintahannya bisa bekerja efektif.

Hal ini disampaikan pakar politik dari Universitas Indonesia, Jakarta, Arbi Sanit, Rabu (12/3). ”Berbagai problem kenegaraan yang muncul saat ini, karena ki- ta tak memiliki pemerintahan mayoritas yang kuat. Sehingga tidak mempunyai kekuatan untuk memutuskan,” ujarnya di Jakarta.

Menurut Arbi, percuma ada parpol tetapi tidak bisa menyelesaikan persoalan kebangsaan. Lebih menyedihkan, saat pembuatan UU politik berlangsung, ternyata juga belum menunjukkan gejala untuk melahirkan parpol yang kuat.

”Kita sayangkan parpol yang mendapat suara kecil masih merasa berhak untuk hadir dalam kekuasaan,” ujarnya.

Kondisi parpol yang lemah, kata Arbi, jika ditambah dengan kontaminasi uang yang diperoleh dari jalur gelap, kian membuat kondisi bernegara makin runyam. ”Partai mana yang mau keras pada pelaku korupsi jika pelaku itu menjadi kasir bagi parpol ketika menjelang pemilu,” ujarnya.

Implikasi dari lemahnya parpol, menurut Arbi, membuat hukum tidak bisa berjalan. Pasalnya, hukum membutuhkan kekuatan yang bisa melindungi proses berjalannya hukum.

Bambang Sulistomo dari Barisan Pembebasan Rakyat menambahkan, hasil dari pemerintah yang lemah, terjadi seperti saat ini, yang diwarnai dengan aneka kebohongan. (mam)

Senin, 24 Maret 2008

Kompas 25-Mar-08: Yogyakarta Hari ini, Sultan Tetap Gubernur Kita


Yogyakarta Hari ini, Sultan Tetap Gubernur Kita


Minggu, 23 Maret 2008

Kompas 22-Mar-08: Adnan Buyung: Singapura Tidak Sopan

Adnan Buyung: Singapura Tidak Sopan
Adnan Buyung Nasution























Sabtu, 22 Maret 2008 | 22:03 WIB

JAKARTA, MINGGU-Tak terima diperlakukan buruk oleh aparat Imigrasi Singapura pada Kamis malam (20/3), anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Adnan Buyung Nasution akan mengajukan nota protes ke pemerintah Singapura. Nota protes akan diajukan karena pengacara senior berambut perak ini merasa diperlakukan tidak sopan oleh aparat imigrasi Singapura.

"Rencananya, hari Senin nanti Abang akan mengajukan nota protes ke pemerintah Singapura. Jangan ada lagi warga negara Indonesia diperlakukan seperti ini. Tidak hanya Abang saja yang diperlakukan seperti ini. Yang sopan dong," tegas Adnan Buyung Nasution begitu tiba dari Singapura, Sabtu (22/3).

Pria berambut perak ini bercerita, ketika tiba di bandara Changi Singapura pada Kamis malam, tiba-tiba ia, mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan sekretarisnya, Anastasia, diperiksa selama 2,5 jam. Sedangkan penumpang pesawat lainnya asal Indonesia, dokumen keimigrasiannya diperiksa seperti biasa.

Kekesalan Buyung, Arman (panggilan akrab Abdul Rahman Saleh) memuncak karena mereka hanya ditanya pertanyaan sepele dan diulang- ulang serta dilakukan dalam waktu yang sangat lama. Pertanyaannya yakni seputar siapa yang memberi referensi mereka pergi ke Singapura, siapa yang bisa dihubungi selama di Singapura dan dimana mereka akan tinggal.

Dan selama 2,5 jam, Buyung, Arman dan Anastasia hanya tidak diperiksa di dalam ruangan kantor Imigrasi. Mereka hanya dibiarkan duduk di sofa, tempat terbuka untuk umum. "Kami tidak disuruh masuk ke dalam ruangan yang lebih sopan, tidak ada begitu. Dan petugas yang memeriksa hanya petugas-petugas Imigrasi tingkat bawah saja," kesalnya.

Ditambahkan Buyung, selam 2,5 jam tersebut mereka disuruh menunggu tanpa ada kepastian. "Kami disuruh menunggu selama 2,5 jam tanpa ada penjelasan apa-apa. Petugas imigrasinya hanya bolak-balik datang, tanya itu-itu lagi lalu masuk kamar, tanya lagi dan masuk kamar lagi. Itu saja, bolak-balik. itu saja sudah membuat jengkel kita," lanjut Buyung.

Menurut Buyung, kalau alasan pemeriksaan itu dilakukan karena sedang ada pemeriksaan tiba-tiba atau semacam inspeksi mendadak (Sidak) Imigrasi, itu adalah hak Keimigrasian Singapura. Namun yang menjadi persoalan, kenapa harus dilakukan selama itu.

"Itu memang Imigrasi berhak melakukan seperti itu (Sidak). Tapi tidak perlu selama 2,5 seperti yang Abang alami. Lagikan, Abang bukan orang yang tidak dikenal track recordnya di Imigrasi maupun intelnya Singapura. Kalau orang baru yang paspornya masih bersih dan tidak pernah pergi ke Singapura, pantaslah dicurigai" tegasnya.

Atas dasar itulah, Buyung memilih menempun mengajukan nota protes ke pemerintah Singapura. Nota protes tersebut dipilih karena haknya sebagai WNI telah diperlakukan tidak sopan. "Kalau gugatan, belum kita pikirkan. Nota protes saja,"lanjutnya. "lagipula, kalau gugatan itu sifatnya berperkara. Kita kan belum tahu, alasan apa mereka memperlakukan kita seperti ini," kesalnya. (Persda Network/Yuli Sulistyawan)

Kompas 21-Mar-08: Kasus Buyung, Deplu Minta Klarifikasi Singapura

Kasus Buyung, Deplu Minta Klarifikasi Singapura
Abdul Rahman Saleh (kiri), pengacara senior Adnan Buyung Nasution (tengah) saat menghadiri Ulang tahun Ke-35 Yayasan Bantuan Hukun Indonesia (dulu LBH) di Hotel Harris, Jumat (28 Oktober 2005).
A
Jumat, 21 Maret 2008 | 12:23 WIB

JAKARTA, JUMAT - Pemerintah Indonesia akan segera meminta klarifikasi kepada Pemerintah Singapura, dalam hal ini otoritas yang terkait dengan keimigrasian, menyusul pemeriksaan selama 2,5 jam yang dialami Mantan Jaksa Agung Abdurrahman Saleh dan Pengacara senior Adnan Buyung Nasution di Bandara Changi, Singapura, Kamis (20/3).

Demikian disampaikan juru bicara Departemen Luar Negeri, Kristiarto Legowo kepada Kompas.com, Jumat (21/3)."Sudah ada laporan dari Kedutaan Besar Indonesia di Singapura bahwa pada intinya telah terjadi peristiwa tidak menyenangkan terhadap dua warga negara Indonesia. Laporan sementara, kedubes di Singapura telah melakukan koordinasi dengan pihak imigrasi di Bandara Changi," ujar Kristiarto.

Keterangan sementara, pihak Bandara Changi memang selalu melakukan prosedur rutin pemeriksaan secara random terhadap para penumpang yang tiba menggunakan penerbangan terakhir. "Dan kebetulan, Pak Adnan dan Pak Arman menggunakan penerbangan terakhir, dan pas kena random pemeriksaan. Ini katanya dilakukan secara acak. Petugas Kedubes RI sudah dikirim ke Bandara, sudah dapat penjelasan dan masalahnya sudah selesai," lanjut dia lagi.

Meskipun demikian, ujar Kristiarto, secara resmi Pemerintah Indonesia tetap akan meminta klarifikasi kepada pihak otoritas terkait di Singapura.


ING

Kompas 23-Mar-08: Singapura Perlu Diberi Terapi Kejut

Singapura Perlu Diberi Terapi Kejut
Adnan Buyung Nasution
Minggu, 23 Maret 2008 | 06:17 WIB

JAKARTA, MINGGU-Perlakuan tidak menyenangkan oleh petugas Imigrasi Singapura yang terkesan berlebihan terhadap anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Adnan Buyung Nasution dan mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Salah, jangan hanya dibalas dengan nota protes.

Perlu ada tindakan berupa terapi kejut seperti pembatasan warga Indonesia berkunjung ke sana. "Pengurangan kunjungan itu dengan memberlakukan lagi visa kunjungan. Hal ini juga diperlukan untuk memberikan pembelajaran, agar masyarakat kita tidak konsumtif dengan berbelanja di Singapura, hanya karena korban iklan dan faktor demonstration effect," kata Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Gayus Lumbuun ketika dihubungi di Jakarta, Sabtu (22/3).

Manurut Gayus, sikap Singapura itu benar-benar semakin menunjukkan arogansinya dengan melecehkan orang-orang Indonesia, apa pun alasannya. "Atas perlakuan imigrasi negeri itu yang saya anggap amat berlebihan ini, sebaiknya Pemerintah Indonesia tidak hanya mengirim nota protes. Harus ada tindakan tegas ’dong’. Kok dari beberapa kejadian kelihatannya sepertinya kita ini bangsa lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa dalam melindungi warga yang diganggu di luar negeri," katanya.

Ia juga mengingatkan, agar dengan semakin tingginya perilaku melecehkan WNI di luar negeri, sesungguhnya mendorong kita untuk segera bangkit. "Momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional (1908-2008) harus memacu kita untuk membangunkan lagi rasa nasionalisme itu," kata Gayus.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR-RI dari Fraksi Gabungan Bintang Pelopor Demokrasi, Yusron Ihza Mahendra, mengatakan, interogasi pihak keimigrasian Singapura bisa saja karena pejabat negara itu curiga Adnan dan Arman mau bertemu Sjamsul Nursalim. "Persoalannya, kalau hanya karena mereka ditahan akibat adanya pengambilan sampel secara acak atas warga asing yang datang untuk diperiksa khusus, saya yakin mereka akan tahu siapa Bang Adnan Buyung dan Pak Arman," ujarnya.

Tapi, lanjutnya, mengapa mereka bisa dibebaskan setelah ada campur tangan mantan Menteri Luar Negeri RI, Ali Alatas yang menelepon staf di Kedutaaan Besar RI di Singapura. "Orang sana kan pasti tahu, dua pendatang dari Indonesia itu seperti terlihat dari paspornya. Mereka juga pasti akan tahu juga, setelah memperoleh data dari jaringan mereka yang kuat bahwa ini merupakan dua orang penting dari Indonesia. Setelah mengetahui, mengapa mereka masih ditahan sekitar dua jam setengah. Ada apa ini? Pasti mereka memperoleh masukan-masukan yang patut kita telusuri lebih lanjut," ujar Yusron.

"Tapi kan juga ada berkembang kabar, keduanya seolah-oleh dicurigai mau ketemu Kastari, yang dituduh teroris dan menghilang dari penjara Singapura beberapa waktu lalu. Dan ini sudah dibantah Bang Adnan Buyung. Singapura jangan dibiarkan cenderung berperilaku tidak senonoh terhadap WNI yang datang ke sana," katanya.(ANT/ROY)

Rabu, 19 Maret 2008

Merajut Kembali Ke-Indonesia-an Kita - HB X


Darma Seorang Satria
Sebuah Catatan Pengantar…

Mencermati dinamika kehidupan bangsa dalam dasawarsa terahir maka tampak bahwa kita dihadapkan pada realitas tantangan yang berat. Kompleksitas tantangan tersebut mencakup: (1) menguatnya budaya konsumerisme dan kekerasan; (2) menipisnya kesadaran pruralisme dan semangat kebangsaan; (3) tingginya kemiskinandan pengangguran; dan (4) ketertinggalan dalam membaca dinamika geopolitik yang terjadi di Pasifik Rim.

Karena tantangannya begitu luar biasa, tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini kecuali mengkapitalisasi selruh sumber daya yang ada, termasuk di dalamnya modal sosial, guna menghadapi tatangan tersebut. Ironisnya, kondisi Republik sampai saat ini masih dlilit kemiskinan, pengangguran, maslah pendidikan, kesehatan, keamanan, dan kedaulatan wilayah. Ibarat sebuah rumah, dinding-dindingnya berlubang bsar di sana-sini. Siapa pun bisa keluar masuk tak terhalangi.

Untuk mengatasi masalah tersebut, tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali merajut kembali kebudayaan, kebangsaan, ekonomi, politik, hukum dan pertahanan-keamanan yang kita miliki. Merajut kembali ke-Indonesia- an kita. Tanpa langkah itu, tidak mungkin masalah bangsa ini bisa diselesaikan. Dengan istilah lain, keinginan untuk menghadapi tantangan tersebut lebh bersifat utopis daripada realistis.

Kita ini - yang sebagian besar sudah disampaikan ke publik dalam kapasitas saya sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta - dapat meberikan inspirasi bagi generasi muda, calon-calon pemimpin di masa depan. Semoga mereka menjadi pemimpin yan berkarakter kuat dan menjalankan darmanya sebagai seoang kestria dengan cara:

  • Mengabdi untuk KESEJAHTERAAN RAKYAT
  • Tidak berambisi kecuali untuk KESEJAHTERAAN RAKYAT
  • Berani mengatakan yang benar itu benar, yang salah itu salah
  • MEMANUSIAKAN MANUSIA atas dasar KETUHANAN YANGMAHA ESA.


Kepada Bapak Jacob Oetama dan seluruh staf PT Kompas-Gramedia serta semua pihak yang telah mendukung sepenuh hati terbitnya buku Merajut Kembali Ke-Indonesia- an Kita ini degan tulus saya mengucpkan terimakasih
Sultan Hamengku Buwono X
———— ——— ———
KDP:
Duuuh, seandainya Gramedia-Kompas berbaik hati bagi-bagi buku ini yang harga banderolnya 63.000 betapa indahnya linkers heheehehehe. … bar dodolan KT disengeni ya ganti dodolan Ratu…. ah ah ah ah ah…. Gimana Pakdhe? Sedia jadi Panakawan?
–kadepe–
Hidup sehat - sejahtera: http://wfbc.netfirms.com/; http://www.propbiyang.net/
0819-31101719; 0815-74620429; 0813-17259136; 0251-228-0607




























Jumat, 14 Maret 2008

BW 24-Jan-08: Chief Executive Officer-in-Chief (The President' Skills)

The Welch Way January 24, 2008, 5:00PM EST text size: TT

Chief Executive Officer-in-Chief

The President needs the same skills as a top-notch CEO—only sharper

What characteristics would you say are most important when choosing a company CEO or the next U.S. President? — Simplicio D. Victoria, Los Angeles

If only you'd lopped off the last part of your question! Business leadership is something we've discussed in this column for two years now. But Presidential leadership—that's another matter.

Or is it? When your e-mail arrived, our first thought was that CEOs and Presidents operate in worlds with different stakes, rules, and values. But a review of our six key business leadership characteristics changed our thinking. And while we would never claim to have special insight into the Presidency, we've come to believe there is more overlap than not between running a company and running the country.

Take authenticity, the foremost quality business leaders must possess. It's equally crucial for a President, and for the same reason: trust. When a President is trying to promote a major initiative or lead through a crisis, the nation can't be embroiled in a debate about his or her sincerity. Remember when Senator Clinton's eyes misted over before the New Hampshire primary? The veracity of her tears fixated the country. Without doubt, every candidate's realness will be scrutinized before Nov. 4. But a sitting President should be miles past such doubt. People may disagree with him or her on the merits, but never on the motives.

Having the vision thing, as it has come to be known, is the next universal leadership characteristic. Business leaders can improvise in fast-changing markets, but ultimately, a clearly conceived, inspirational mission is critical for real progress, and the same goes for a President. And as in business, having a Presidential vision doesn't mean announcing: "Here's where we're going." It means making the case until Presidential tonsils bleed, with a story that says: "Here's how our destination will make life better for our nation and for you personally."

An innate ability to hire great people is the third characteristic CEOs and Presidents can't live without. And not just hire them but utilize them—challenging them for new ideas and deeper insights. Now, this is straightforward in business, where leaders employ their direct reports, and thus have the clout to remove incompetents and resisters. But Presidents face a tougher scenario. They appoint direct reports who inherit staffs that may not support the Administration's agenda. So they have to pick Cabinet members who can engage and motivate reluctant teams. Further, Presidents need the courage and discipline to dispatch Cabinet members who fall short—whether it opens a political can of worms or not.

Fourth comes resilience—the capacity to bounce back after defeat without feeling, well, defeated. CEOs regularly get the wind knocked out of them; for Presidents, double it. Historian Doris Kearns Goodwin wrote that the best American Presidents have all been able to learn from their mistakes. That's resilience at it's best: Every time you fail, you get back—wiser—on that horse.

Fifth, effective CEOs have the uncanny ability to see around corners. They can feel market shifts in their fingertips. Such a skill is even more important for a President, given the world we live in. But we're not just thinking of homeland security. Immigration and entitlements also demand prescient leadership. CEOs who can see around corners have an advantage; they can act quickly. For Presidents, seeing around corners means something more: galvanizing bipartisan support. That's harder by an order of magnitude.

And finally, like any good CEO, a President must execute. It doesn't matter if a leader generates action or channels it through others. What matters is that promises get kept and plans get completed, whether it's moving a bill through Congress or managing a crisis, like a war or a hurricane.

Look, when the primary voters go to the polls on Super Tuesday, Feb. 5, many will be focused on the issues that attract them to one of their party's candidates or another. But in November, when the general election is down to two candidates—or maybe three—another factor on the decision screen should be leadership. Its characteristics, in the corporate world and the political arena, are universal—and unmistakable.

Jack and Suzy Welch await your questions. E-mail them at thewelchway@BusinessWeek.com For their video podcast, go to www.businessweek.com/search/podcasting.htm

Rabu, 12 Maret 2008

Kompas 1-Mar-08: Politik Lumpur Sidoarjo, Ilmiah Saja Tidak Cukup

Politik Lumpur Sidoarjo, Ilmiah Saja Tidak Cukup
KOMPAS/ANTONIUS PONCO ANGGORO / Kompas Images
Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo.

Sabtu, 1 Maret 2008 | 02:49 WIB

Yuti Ariani

“Itu perlu suatu penelitian yang mendalam. Saya kira tidak bisa dinyatakan secara politik (oleh DPR). Bencana alam atau bukan, itu bukan masalah politis.” Wapres Muhammad Jusuf Kalla (Kompas, 19/2)

Penelitian penyebab semburan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo membagi ilmuwan menjadi dua kubu, yakni yang berpendapat akibat bencana alam dan kesalahan Lapindo. Para ilmuwan dari masing-masing kubu memiliki argumentasi ilmiah akan penyebab semburan tersebut. Prof Dr Sukendar Asikin, Dr Doddy Nawangsidi dari Institut Teknologi Bandung, dan Dr Ir Agus Guntoro dari Universitas Trisakti yang dipanggil oleh Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menganggap semburan lumpur akibat bencana alam. Lain halnya dengan Andang Bachtiar, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Ia memandang semburan tersebut disebabkan oleh terlalu kentalnya lumpur yang digunakan untuk meredam kick hingga tekanannya mengakibatkan dinding sumur pecah. Pendapat semburan lumpur adalah akibat kesalahan Lapindo juga dikemukakan oleh Dr Rudi Rubiandini, mantan Ketua Tim Investigasi Independen Lumpur Lapindo. (Tempo, 25/2)

Dalam dunia akademik, perbedaan pendapat merupakan hal lumrah. Namun, ketika pendapat tersebut berimplikasi pada pihak yang menjadi penanggung jawab dalam penanggulangan bencana, termasuk soal biaya, benarkah ilmiah saja cukup? Lebih jauh, bagaimana landasan ilmiah tersebut dibangun?

Andang Bachtiar dan Ali Azhar Akbar menyoroti cara Lapindo menyajikan hasil analisa dalam forum-forum diskusi tanpa pernah membuka data. Padahal, menurut Rudi Rubiandini, data tekanan selama pengeboran yang dimiliki oleh kepolisian sudah bisa dijadikan bahan bukti bahwa semburan disebabkan aktivitas pengeboran LBI. Pengabaian proses juga dilakukan oleh Lapindo dengan menggelar lokakarya ”International Geological Workshop on Sidoarjo Mud Volcano” di Jakarta, Februari 2007, yang memberi kesimpulan bahwa semburan lumpur itu terjadi karena fenomena geologi yang disebut erupsi mud volcano. Lokakarya tersebut tidak mengundang ilmuwan-ilmuwan dari kubu kontrabencana alam.

Politisasi alam

Adanya penekanan pada kelompok ilmuwan tertentu dan pengabaian terhadap ilmuwan lainnya mengindikasikan ketidaksetaraan. Kondisi ini dipicu kepentingan pihak-pihak tertentu untuk memperoleh legitimasi ilmiah atas penyebab lumpur Sidoarjo dengan mempromosikan ilmuwan-ilmuwan yang mendukung kepentingan mereka dan menafikan kelompok lainnya. Iklan di media massa yang mengutip analisa sejumlah geolog ternama, serta seminar yang menghadirkan ilmuwan-ilmuwan prolumpur sebagai bencana menempatkan pendapat ilmuwan di ranah politis. Pertarungannya tak lagi mengenai kebenaran ilmiah per se, melainkan bagaimana pengetahuan itu menjadi bagian dari narasi yang lebih besar untuk mendukung kepentingan tertentu.

Bruno Latour mengulas bagaimana realitas ilmiah dibangun atas sejumlah transformasi. Dari penelusuran yang dilakukan Latour di Salk Institute pada pertengahan 1970, muncul penafsiran-penafsiran atas realitas ilmiah. Latour mengamati pada saat seorang ilmuwan mengatakan ia melihat sebuah blip dalam kurva, realitas sosial menghilang bersama-sama dengan bagaimana kebenaran baru ini diproduksi. Kebenaran ini membangkitkan dua domain yang berbeda, yaitu realitas di satu sisi dan pengetahuan akan realitas di sisi lain (realitas ilmiah).

Relasi antara realitas dan pengetahuan akan realitas merupakan obyek yang acap dikritisi oleh para penentang obyektivisme sains. Hal ini diungkapkan oleh Max Weber, ”Kepercayaan pada nilai-nilai kebenaran ilmiah tidak dihela oleh alam, tapi merupakan produk dari budaya tertentu.” Lebih jauh, Robert K Merton berpendapat, ”Kepercayaan pada kebenaran ilmiah ditransmisikan antara keraguan dan ketidakpercayaan. Perkembangan persisten dari sains muncul di masyarakat dalam pola tertentu, subyek khas yang kompleks dari perkiraan tacit dan batasan institusi. Apa yang bagi kita merupakan sebuah fenomena tanpa membutuhkan penjelasan dan terjamin dalam swapembuktian nilai-nilai budaya, pada waktu lain dan tempat yang berbeda dipandang abnormal dan langka. Keberlanjutan sains mensyaratkan partisipasi aktif dari orang-orang yang tertarik dan memiliki kemampuan dalam pencarian ilmiah. Namun, dukungan terhadap sains ini hanya terjamin oleh (eksistensi) kondisi-kondisi sosiokultural tertentu.”

Membuka kotak hitam pengetahuan

Weber dan Merton menyoroti keterkaitan antara pengetahuan dan konteks sosiokultural di mana ia diproduksi. Para ilmuwan yang dipromosikan oleh kelompok Lapindo, misalnya, memberikan kesimpulan lumpur sebagai bencana. Hal ini menyebabkan wacana lumpur yang menyebar di masyarakat bukan lagi pertarungan antara kebenaran ilmiah, melainkan upaya untuk menarik simpati massa.

Menurut Pierre Bourdieu, label ilmuwan merupakan perwujudan modal simbolik. Kondisi ini berimplikasi pada pertarungan wacana kubu pro dan kontra dengan mengutip ilmuwan-ilmuwan yang dapat melegitimasi pendapat mereka. Dengan memandang ilmuwan sebagai modal simbolik, akumulasi modal yang dilakukan kubu pro maupun kontra sama-sama menempatkan ilmuwan sebagai bagian dari penguatan retorika. Pertanyaannya kemudian, apa yang membuat seorang ilmuwan disebut ilmuwan?

Praksisnya, label ilmuwan yang disematkan kepada seseorang terkait dengan aktivitas di laboratorium, afiliasi di forum/asosiasi ilmiah, serta publikasi di jurnal. Keterkaitan dengan komunitas ilmiah yang telah ada sebelumnya menjadi legitimasi untuk menyatakan apakah seseorang dapat disebut sebagai ilmuwan atau tidak. Dalam penulisan jurnal, keterkaitan ini bisa terlihat dari referensi yang digunakan seorang ilmuwan untuk mendukung pendapat yang ia kemukakan. Kian klasik jurnal yang ia rujuk, kian besar modal simbolik yang ia peroleh.

Relasi linier ini menjadi bermasalah ketika referensi yang sama menghasilkan kesimpulan bertolak belakang sebagaimana terjadi pada kasus lumpur Sidoarjo. Meski sama-sama menghadapi realitas fisik lumpur, namun analisa para ilmuwan memberi hasil yang beragam. Berimbangnya kedua pendapat ini menyebabkan negosiasi penanganan lumpur Sidoarjo tidak bisa hanya dilandaskan penafsiran akan alam, tapi juga memperhitungkan kepentingan korban lumpur yang hingga kini masih terkatung-katung.

Yuti Ariani Alumnus Program Magister Studi Pembangunan ITB; Mengerjakan penelitian di ranah Science, Technology and Society

Minggu, 09 Maret 2008

Kompas 5-Mar-08: Budayawan WS Rendra Dapat Gelar Doktor "Honoris Causa" dari UGM

Ratu Adil Tak Dibutuhkan
Budayawan WS Rendra Dapat Gelar Doktor "Honoris Causa" dari UGM
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO / Kompas Images
Penyair WS Rendra menerima gelar doktor honoris causa dalam bidang kebudayaaan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa (4/3). Dalam penganugerahan itu, Rendra menyampaikan pidato Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu.
Rabu, 5 Maret 2008 | 01:57 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS - Bangsa Indonesia saat ini mengalami situasi seperti yang digambarkan penyair Ronggowarsito sebagai zaman kalatida dan zaman kalabendu. Kekuasaan pemerintah ada di atas kedaulatan rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang tak berpihak kepada rakyat kecil serta semakin hancurnya alam.

”Untuk keluar dari kalatida dan kalabendu, bukan Ratu Adil yang dibutuhkan, melainkan hukum yang adil,” kata penyair WS Rendra dalam pidato penerimaan gelar doktor honoris causa bidang kebudayaan dari Universitas Gadjah Mada, Selasa (4/3).

Pada pertengahan abad ke-19, Ronggowarsito menggambarkan zaman pancaroba sebagai zaman kalatida dan kalabendu. ”Kalatida adalah zaman edan karena akal sehat diremehkan, sedangkan kalabendu adalah zaman hancur dan rusaknya kehidupan karena tata nilai dan tata kebenaran dijungkirbalikkan secara merata,” kata Rendra.

Bangsa Indonesia saat ini pun mengalami hal yang tak jauh berbeda dari apa yang digambarkan Ronggowarsito itu.

Daulat pemerintah

Rendra juga mengkritik pemerintah yang kurang berpihak kepada usaha kecil dan menengah (UKM) yang menjadi tulang punggung ekonomi bangsa. Meski sumbangannya pada gross national product (GDP) turun dari 62 persen menjadi 54 persen, sumbangan UKM tetap melebihi sumbangan badan usaha milik negara pada GDP yang hanya 45 persen.

Di bidang tata hukum dan tata pemerintahan, Pemerintah Indonesia juga masih meneruskan semangat penjajah Hindia Belanda yang menerapkan daulat pemerintah di atas daulat rakyat. Rendra mencontohkan, pepatah mikul dhuwur mendem jero sudah lepas dari konteks moralnya dan berganti makna menjadi ”kalau Anda berkuasa dan perkasa, maka berdosa boleh saja”.

Lebih jauh, selepas zaman kalatida dan kalabendu, Ronggowarsito menyebutkan akan hadir zaman kalasuba, yaitu zaman stabilitas dan kemakmuran yang akan ditegakkan oleh Ratu Adil, yang banyak dinantikan.

Namun, bagi Rendra, kalasuba tidak bisa sekadar dinantikan dengan sabar dan tawakal. Bangsa Indonesia sendiri yang harus aktif mendesak perubahan tata pembangunan, tata hukum, dan tata kenegaraan agar tercipta daya hidup dan daya cipta bangsa yang lebih baik.

”Situasi semacam itu tidak tergantung pada hadirnya Ratu Adil. Ratu Adil itu omong kosong, tetapi tergantung pada hukum yang adil, mandiri, dan terkawal,” ungkapnya.

Rendra sendiri merupakan penerima gelar doktor honoris causa ke-19 dari UGM. Melalui kepekaan atas kondisi sosial dan kemanusiaan yang dituangkan dalam karya-karyanya, Rendra dinilai telah memberikan pencerahan bagi bangsa Indonesia. (DYA)

Kompas 10-Mar-08: Kesetiaanlah Satu-satunya yang Saya Miliki dan Pertahankan (70 Tahun Bambang Ismawan)
























70 Tahun Bambang Ismawan
Kesetiaanlah Satu-satunya yang Saya Miliki dan Pertahankan
Senin, 10 Maret 2008 | 00:47 WIB

Kalimat di atas terucap dari bibir Bambang Ismawan ketika memberi sambutan pada perayaan ulang tahunnya yang ke-70 di hadapan ratusan undangan, Jumat (7/3) malam.

Di antara yang hadir, mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, budayawan dan rohaniwan Romo Franz Magnis Suseno, mantan Dirut Bank Rakyat Indonesia Rudjito, sosiolog Melly G Tan, dan Imam Prasodjo. Bambang Ismawan memang bukan selebriti yang dicitrakan oleh kekuatan media.

Malam itu, 41 tahun lamanya Bambang Ismawan memimpin Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bina Swadaya, LSM tertua yang mendampingi para petani dengan keterampilan teknis dan bantuan keuangan mikro. Kalau Anda tak cukup mengenal kiprahnya, lembaga itu pula yang melahirkan majalah pertanian, Trubus.

Kini, selain penerbitan, Bina Swadaya memiliki beberapa perseroan terbatas yang bergerak di bidang konsultasi, keuangan mikro, agrobisnis, percetakan, wisata alternatif, penyediaan fasilitas lokakarya, serta akomodasi pelatihan. Tepatnya, Bina Swadaya adalah lembaga kewirausahaan sosial.

Selama 40 tahun berkarya, LSM itu memiliki sekitar 1.000 karyawan, jumlah pekerja yang jauh melampaui LSM-LSM dalam negeri. Bambang, atas masukan guru besar Sosiologi Pedesaan IPB, Sajogyo, kemudian memopulerkan istilah lembaga swadaya masyarakat (LSM) ketika publik masih menyebutnya organisasi nonpemerintah.

Selama kiprahnya, puluhan ribu petani di seluruh Indonesia sudah didampingi pelatihan teknis pertanian dan pengembangan usaha. Di tengah pusaran aktivitas, Bambang merupakan pengendali seluruh gerakan itu.

Berbagai peran, komitmen, dan hasil yang ditunjukkan Bina Swadaya, Bambang pun dianugerahi Social Entrepeneur of The Year 2006 dari Ernst & Young.

Kesetiaan pada organisasi dan komitmen pemberdayaan wong cilik pulalah yang membuat suami Sylvia Maria Kwee ini bertahan di tengah ”godaan” aktif di partai politik seperti pilihan teman-temannya. ”Menapaki jalan ini akan terus saya jalani sampai hayat di kandung badan,” kata Bambang.

Awal mula

Komitmen dan kesetiaan Bambang pada aktivitas kewirausahaan sosial tak lepas dari inspirasi seorang pastor Belanda, John Dijkstra SJ. Mereka berdua mendirikan Bina Swadaya. Ia pun bertekad membela orang miskin dan mengajarkan hidup sebagai petani yang sejahtera.

Selama puluhan tahun, komitmen itu pula yang ia ajarkan kepada para petani. Tak terhitung berapa kali air matanya menetes mendengar kisah perubahan nasib petani di berbagai daerah.

Pada satu penggalan tulisan dalam buku 70 Tahun Bambang Ismawan Bersama Wong Cilik (berisi kesan dari sekitar 200-an orang) dituliskan, Bambang adalah sosok sukses tanpa karier. Ia bukan selebriti, melainkan dikenal di kalangan akar rumput dan pengambil kebijakan.

Ia dilahirkan tanpa kursi yang dapat membuatnya bertakhta dalam kekuasaan. Ia orang lapangan yang selalu rapi, tetapi berkarya nyata. Bukan bagian dari mereka yang bertakhta, tetapi tak jelas karyanya. (GSA)

Jumat, 07 Maret 2008

Pikiran Rakyat 8-Mar-08: Kemenegkop Kembangkan 'One Village One Product'

Kemenegkop Kembangkan "One Village One Product"

JAKARTA, (PR).-
Kementerian Negara Koperasi dan UKM segera menerapkan konsep one village one product atau satu desa satu produksi di Kabupaten Bandung, Jawa Barat dan Wonosobo, Jawa Tengah untuk produk serat rami demi meningkatkan kualitas produk dan pendapatan pelaku usaha mikro kecil dan menengah.

"Dalam waktu dekat ini kami akan usulkan konsep ini ke kedua pemerintah daerah (pemda) setempat agar mereka bisa turut terlibat dalam projek ini," kata Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha Kementerian Negara Koperasi dan UKM Sri Ernawati di Jakarta, Kamis (6/3).

Ia mengatakan, kedua daerah tersebut, yaitu Kabupaten Bandung dan Wonosobo mempunyai potensi kuat untuk dikembangkan sebagai desa produsen serat rami baik dari segi sumber daya alam maupun sumber daya manusia.

Oleh karena itu, pihaknya akan secepatnya mengusulkan kepada pemda setempat agar mendukung kedua wilayah menjadi desa yang peduli memproduksi serat rami. Konsepnya, warga setempat yang memproduksi rami akan sekaligus mengolahnya dengan lebih dahulu diberi perkuatan modal oleh pemerintah, kemudian produk dibeli kembali oleh pemerintah.

Supaya mereka kuat lebih dahulu maka produk-produknya harus dibeli dulu. Menurut dia, pemda menjadi pihak utama dan terpenting dalam pengembangan konsep satu desa satu produksi terlebih di era otonomi daerah. "Inisiatif pemda itulah yang lebih menentukan, sedangkan kami hanya mengusulkan saja," katanya.

Konsep satu desa satu produksi, katanya, bila dijalankan secara serius dan konsisten terbukti mampu meningkatkan kinerja UKM sekaligus memberdayakan masyarakat setempat. Hal itu sudah terbukti di sejumlah negara yang menerapkannya, seperti di Jepang dan Thailand.

Pihaknya telah dua kali menerapkan konsep serupa yang di Jepang disebut Isson Ippin, yaitu di Kabupaten Blitar dan Bangli. Di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, dikembangkan desa sentra belimbing yang diolah langsung menjadi sejumlah produk turunan, seperti jus dan keripik buah. (A-34)***

Penulis:
http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=14559

Kontan 6-Mar-08: (BUMN) Boleh Abaikan Produk Lokal

Boleh Abaikan Produk Lokal

Tender BUMN mengabaikan Keppres 80/2003, industri dalam negeri bakal kehilangan lahan bisnis
Havid Vebri
posted by kontan on 03/06/08

JAKARTA. Industri dalam negeri siap-siap tidak lagi kecipratan rezeki dari tender-tender pengadaan barang dan jasa Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pasalnya, Kementerian Negara BUMN resmi mengeluarkan surat edaran kepada seluruh jajaran direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN untuk mengabaikan Keppres Nomor 80 tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

"Tidak berlakunya Keppres Nomor 80/2003 bagi pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh BUMN adalah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Keppres tersebut. Sebab, maksud dari Keppres itu adalah untuk mengatur pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari APBN atau APBD," demikian bunyi surat edaran Kementerian BUMN itu.

Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil Aneka Departemen Perindustrian (Depperin), Ansari Bukhari mengakui, keluarnya surat edaran itu akan membawa dampak terhadap industri di dalam negeri. Pasalnya, ketentuan tentang tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dalam tender-tender di lingkungan pemerintah itu diatur dalam Keppres 80 tersebut.

Ansari mengakui sudah ada beberapa industri di dalam negeri mengadu soal surat edaran Kementerian Negara BUMN ini. "Macam-macam keluhannya. Ada yang bilang produknya tidak dibeli atau diutamakan dalam tender BUMN," paparnya.

Dengan mengabaikan Keppres dalam tender-tender BUMN, tidak ada lagi kewajiban BUMN untuk memprioritaskan penggunaan produk lokal dalam tender yang mereka gelar. Padahal, pengadaan barang dan jasa oleh BUMN selama ini cukup besar. "Kami hanya bisa mengimbau agar semangat mengutamakan produk lokal lebih diutamakan," kata Ansari.

Ansari mengakui bahwa selama ini BUMN tidak memiliki pedoman pengadaan barang dan jasa secara tegas. Sebab, selain mengacu kepada prinsip-prinsip Keppres 80/2003 tadi, perusahaan pelat merah itu juga mengacu kepada UU BUMN.

Namun sebenarnya, menurut Ansari, Menteri Perindustrian pernah membuat nota kesepahaman (MoU) dengan Meneg BUMN agar semangat menggunakan produk lokal itu tetap tumbuh. "MoU dua menteri itu bertujuan untuk tetap menumbuhkan semangat menggunakan produk lokal dalam tender-tender di lingkungan BUMN," ucap Ansari.

Nah, Ansari khawatir, keluarnya surat edaran dari Kementerian Negara BUMN itu akan mengendorkan semangat yang pernah dibangun tersebut.

Ansari menambahkan, agar tidak ada lagi kerancuan, ketentuan tentang TKDN sebaiknya tertuang dalam peraturan setingkat peraturan pemerintah atau undang-undang. "Saat ini Sekjen Depperin sedang melakukan kajian akademis tentang TKDN. Tapi, terkait opsi apakah tender BUMN itu wajib menggunakan produk lokal, sama sekali belum dikaji," imbuh Ansari.

Selasa, 04 Maret 2008

Kompas 5-Mar-08: Minyak Goreng - Tetesan Sisa untuk Ibunda

Minyak Goreng
Tetesan Sisa untuk Ibunda
Rabu, 5 Maret 2008 | 01:38 WIB

Sarie Febriane

Matahari tengah merambat naik ketika dua bocah lelaki itu memulai petualangannya di lorong-lorong pasar yang kumuh. Di setiap muka toko sembako, mata mereka selalu tertumbuk pada onggokan jeriken-jeriken minyak tanah yang telah ”kosong”.

Sekadar berharap ada tetes-tetes minyak yang tersisa sebagai oleh-oleh untuk ibunda di akhir pekan. Zaenal (13), salah satu dari bocah itu, mengambil satu jeriken minyak berukuran 1,8 liter itu. Diangkatnya tinggi-tinggi jeriken berwarna putih transparan itu.

Sama-samar di dasar jeriken tampak membayang sisa-sisa minyak menggenang. Zaenal lalu menuangkan pelan-pelan tetes demi tetes minyak goreng itu ke sebuah gelas plastik bekas minuman kemasan yang dipegangnya dengan hati-hati di tangan kirinya.

”Buat Ibu. Buat goreng tempe, tahu, kadang-kadang ikan," tutur Zaenal dengan nada suara datar.

Siang itu, Zaenal ditemani Ujang (12) menelusuri Pasar Kebayoran Baru, Jakarta, untuk mencari minyak goreng sisa. Sama seperti Zaenal, Ujang mencari minyak goreng sisa untuk diberikan kepada ibunya di rumah. Kedua bocah ini tinggal di Parung, Kabupaten Bogor.

Pasar Kebayoran Lama menjadi tujuan yang efesien bagi mereka berdua. Sebab, dari Parung mereka tinggal menumpang kereta api lalu turun di stasiun Kebayoran Lama.

Setelah merasa cukup mendapat minyak goreng, keduanya lalu menuju sebuah bilik bambu yang reyot dan pengap. Bilik seukuran kira-kira 2 x 1 meter persegi itu rupanya di pagi hari digunakan sebagai lapak penjualan ikan asin. Kedua bocah itu lalu menyimpan kedua gelas plastik berisi minyak buruan tadi di bawah sebuah bale-bale. Di bilik inilah Zaenal dan Ujang melalui tidur malamnya.

Sejak harga minyak goreng terus melambung, hingga kini menembus Rp 14.000 hingga 15.000 per liter untuk minyak goreng curah, anak-anak pemburu minyak goreng sisa makin marak menghiasi lorong-lorong kumuh di pasar tradisional. Setidaknya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, ada sekitar 100 anak, yang saban hari berburu minyak goreng sisa. Beberapa dari mereka berburu minyak goreng sisa usai waktu sekolah. Namun, banyak juga dari mereka yang memilih tinggal di pasar berhari-hari dan baru pulang ke rumah di akhir pekan, seperti halnya Zaenal dan Ujang.

”Anak-anak kayak gitu (yang tinggal di pasar) nambah banyak aja, seratusan ada. Terutama habis lebaran kemarin. Pada tidur di mana aja, kalau udah malam pada di sini istirahatnya,” tutur Ara (60), penjual nasi rames di Pasar Kebayoran Lama.

Di sekitar lokasi warung Ara, yang berada tak jauh di belakang los penjualan daging sapi, merupakan tempat anak-anak pasar itu berkumpul saban malam. Di warung nasi milik Ara pula, anak-anak itu kerap membeli makan.

Putus sekolah

Anak-anak yang tinggal di pasar itu, termasuk Zaenal dan Ujang, memang tidak lagi bersekolah. Mereka putus sekolah sejak kondisi ekonomi keluarga yang terus memburuk apalagi sang ayah biasanya hanya pekerja serabutan. Sementara, anggota keluarga mereka yang lain, terutama adik-adik mereka, masih membutuhkan biaya.

”Enam bulan lalu,” kata Zaenal ketika ditanya sejak kapan putus sekolah.

Sejak putus sekolah itu, Zaenal kemudian diajak teman-temannya di kampungnya di Parung untuk main-main di kereta api. Berangkat dari rutinitas bermain di kereta itulah, Zaenal lalu berkenalan dengan dunia pasar. Rupanya di pasar dia bisa mendapatkan kehidupan.

”Bapak kadang kerja ngangkut pasir, tetapi seringnya enggak," celetuk Ujang.

Sama seperti Ujang, ayah Zaenal pun hanya pekerja serabutan, artinya frekuensi kerjanya sangat tak tentu. Sementara, ibu mereka pun tidak bekerja karena harus mengurus anak yang jumlahnya cukup banyak. Zaenal merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara. Sementara, Ujang anak kedua dari lima bersaudara. Bisa dibayangkan dengan anak-anak sejumlah itu ditambah kondisi ekonomi yang buruk, kedua bocah ini terpaksa mengorbankan indahnya masa sekolah.

Aktivitas Zaenal dan Ujang di pasar tradisional tak hanya memburu minyak goreng sisa. Mereka juga bekerja dengan menjual kantong plastik untuk belanjaan, sekaligus menjual jasa yaitu sebagai kuli angkut belanjaan seharga Rp 500 per buah. Sementara, dari jasa membantu menenteng belanjaan para pengunjung pasar, mereka bisa mendapat sekitar Rp 1000 - Rp 2000 sekali angkut.

Dalam sehari mereka bisa mendapatkan sekitar Rp 10.000, terutama dari hasil menjual jasa angkut belanjaan. Uang sejumlah itu sebagian digunakan untuk makan di warung nasi Pak Ara tadi. Pak Ara bercerita, frekuensi anak-anak pasar itu makan tergantung dari pendapatan mereka dalam satu hari. Sekali makan, mereka rata-rata membayar Rp 3.500 dengan lauk sayur dan tempe.

Ujang mengaku, baru bisa makan dua kali jika sehari sebelumnya dia bisa menghasilkan Rp 15.000 atau seharga satu cangkir single espresso di kedai kopi Starbucks. Ujang dan Zaenal rupanya lebih memprioritaskan menyisakan uang hasil kerja mereka untuk tambahan belanja ibunda mereka.

Jadi, setiap akhir pekan, selain membawa oleh-oleh minyak goreng sisa, anak-anak ini juga tak lupa membawa rupiah sekadarnya kepada sang ibu.

Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan, memburuknya kondisi ekonomi yang ditandai dengan melambungnya berbagai harga sembako di kala daya beli merosot, pada akhirnya membawa korban anak-anak. Kualitas hidup anak dipastikan akan terus merosot. Bahkan, Arist memastikan, hingga tahun 2008 ini jumlah anak putus sekolah di Indonesia akan menembus di kisaran 12 juta anak.

”Mereka akan menjadi korban. Padahal mereka ini tanggung jawab negara. Harga-harga bahan pokok yang terus meroket tak cuma persoalan ekonomi semata. Pada akhirnya akan menjadi persoalan sosial yang serius apalagi jika telah mengorbankan anak-anak," ujar Arist.(Sarie Febriane)

Minggu, 02 Maret 2008

Kompas 29-Feb-08: Swastanisasi Negara (Opini Yonky Karman)

Swastanisasi Negara
/ Kompas Images
oom pasikom
Jumat, 29 Februari 2008 | 23:59 WIB

Yonky Karman

Harga pangan melambung tak terjangkau rakyat berpenghasilan rendah. Ribuan pekerja industri kecil dan menengah tempe-tahu terkena pemutusan hubungan kerja. Apa yang sebenarnya terjadi pada negara agraris yang seolah tak berdaya? Penjelasan normatif dari pihak pemerintah adalah pengaruh eksternal dan krisis pangan global. Namun, pada dimensi substil, negara kalah berhadapan dengan kekuatan pasar.

Globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan membuat transaksi perdagangan berlangsung menurut standar global. Dengan terbukanya pasar, batas-batas negara-bangsa menjadi nisbi dan negara-bangsa memudar. Diam-diam kedaulatan negara berkembang/miskin digerogoti. Dengan membonceng institusi-institusi keuangan global, kapitalis global mampu memengaruhi kebijakan ekonomi negara berkembang.

Kelemahan negara itu juga dimanfaatkan kapitalis lokal dalam persekutuan dengan kapitalis global. Negara menyerahkan stabilitas komoditas strategis ke tangan importir besar yang dengan leluasa melepas dan menahan ke pasar sesuai dengan kalkulasi keuntungan sebesar-besarnya. Meski swasta bagian dari bangsa, negara-bangsa tersandera kepentingan swasta yang berorientasi profit. Swastanisasi negara berlangsung secara substil di balik proses demokratis (Noreena Hertz, The Silent Takeover, 2003).

Mitos pasar

Doktrin pasar bebas adalah deregulasi sesempurna mungkin dan regulasi seminimal mungkin (laissez-faire). Dosa besar mencampuri proses pasar. Dalam keyakinan fundamentalisme pasar, begitu kompetisi dan efisiensi terjamin, konsumen akan diuntungkan. Pasar dengan sendirinya akan mengatasi masalah-masalah ekonomi dan sosial.

Keyakinan itu ternyata berlebihan. Pasar tidak otomatis efisiensi. Kompetisi bebas tidak otomatis harga turun. Ada kartel di antara para pengusaha yang membuat pasar tidak bebas dan tidak kompetitif. Ditambah informasi asimetris, pasar terdistorsi. Tangan tak terlihat masih kurang panjang untuk menyelamatkan rakyat dari petaka ekonomi. Deregulasi gagal meningkatkan pendapatan masyarakat bawah. Rakyat kecil bermimpi menggapai keadilan sosial.

Tingkat pengangguran meningkat. Tahun 2007, ada 409.890 sarjana Indonesia menganggur dibandingkan dengan 183.629 orang tahun 2006. Kesenjangan ekonomi melebar. Si kaya kian kaya. Si miskin kian miskin. Yang di tengah berjuang untuk tidak terjerembab ke dalam kemiskinan.

Dalam ungkapan Joseph E Stiglitz, globalisasi ekonomi seperti pedang bermata dua, salah satu matanya lebih tajam bagi negara berkembang. Pasar uang dan modal Indonesia amat bergantung pada hot money. Namun, keuntungan yang dihasilkan ketika masuk lebih kecil ketimbang kerugiannya ketika uang itu tiba-tiba keluar.

Pemerintah negara berkembang terpaksa mengikuti perkembangan harga pasar, tidak jarang mencabut subsidi, membuat rakyat menderita. Itulah yang terjadi di Myanmar saat harga BBM naik hingga 500 persen meski negeri itu tertutup. Negara maju mengampanyekan deregulasi untuk negara berkembang sebab akhirnya merekalah yang lebih memetik keuntungan.

Kelemahan dan celah hukum negara berkembang dimanfaatkan kapitalis global. Negara lemah terpaksa menerima produk impor negara kuat yang memproteksi produknya dengan subsidi dan hambatan tarif agar produk impor negara berkembang kehilangan daya saing.

Dalam kemitraan dengan perusahaan transnasional, negara berkembang membayar ongkos dan risiko lebih besar. Lingkungan rusak. Proses pemiskinan rakyat miskin terjadi di area pertambangan yang hasilnya dinikmati perusahaan asing, sementara masyarakat sekitar menderita karena lingkungan yang rusak.

Memperkuat negara

Bagaimana melepaskan diri dari jebakan jejaring pasar global dan melindungi masyarakat yang rentan menjadi korban globalisasi? Apakah kekuatan kapitalisme global tak terbendung? Di mana negara saat rakyat menjerit dan mengharapkan intervensinya? Deregulasi tanpa kontrol menggerogoti kekuatan negara dan membenarkan Darwinisme sosial.

Desentralisasi yang maunya mendekatkan pemerintah dengan rakyat dibuat tidak efektif sebab globalisasi berhasil menjauhkan pemerintah dari rakyat. Kedua kekuatan yang saling bertentangan itu terjadi bersamaan. Namun, pemerintah negara berkembang harus lebih berperan melindungi rakyat dari mata pedang globalisasi yang melukai.

Beberapa negara di Asia Timur tidak terpuruk di era globalisasi karena memberi prioritas kepada rakyat kecil untuk kemudahan akses pendidikan dan layanan kesehatan. Daripada mengemis kepada swasta untuk ikut menstabilkan harga di dalam negeri, pemerintah berperan aktif dalam redistribusi pendapatan nasional. Keseimbangan peran antara pemerintah dan swasta harus selalu diupayakan. Tanggung jawab pemerintahlah untuk memberi wajah sosial kepada kapital swasta.

Untuk itu, negara harus kuat, bukan dalam kategori sosialis-totaliter atau demokrasi pasar bebas, melainkan karena berwibawa. Kewibawaan negara kerap diremehkan karena inkonsistensi dalam penegakan hukum. Korupsi jelas menggerogoti wibawa negara. Rakyat dan dunia sering bertanya mengapa presiden yang relatif bersih dari korupsi tidak membuat gebrakan dalam pemberantasan korupsi.

Setelah pemerintah di jalur konsistensi dan memiliki wibawa, giliran pemerintah ikut membangun kultur bisnis yang bertanggung jawab, yang tidak semata-mata mengejar keuntungan. Stiglitz membandingkan CEO di negerinya dan di Jepang (Alpine Schadenfreude and the US Economy, The Jakarta Post 5/2).

Ketika dilanda krisis, CEO di AS menikmati bonus berlimpah sebagai hak pribadi. Komisaris korporasi enggan memecat CEO-nya lantaran besarnya bonus dan uang pisah. Di Jepang, CEO bank besar akan minta maaf kepada pegawainya dan negara. Ia menolak pensiun dan bonusnya agar jumlah uang yang besar itu dinikmati mereka yang menderita akibat kegagalan korporasi. Lalu, ia mengundurkan diri.

Lihat betapa parah krisis ekonomi di AS dalam 20 tahun terakhir setelah krisis simpan pinjam (1989) dan Enron/WorldCom (2002). Dunia harus membayar mahal untuk mitos perdagangan bebas yang selama ini menjadi mantra global. Diversifikasi dalam manajemen risiko tidak mampu meredam kerugian ketika risiko-risiko itu saling terkait. Dunia terseret ke dalam resesi global.

Akhirnya, fundamental suatu negara tergantung dari moralitas dalam bisnis, moralitas penegak hukum dan penyelenggara negara, serta moralitas negara itu sendiri.

Yonky Karman Pengajar di STT Jakarta