Darsiyan, Gotong Royong Bangun Bendung (Kompas 16-Jun-08, p16
Hermas E Prabowo dan Haryo Damardono
Selama ini jarang petani bergembira, apalagi pada musim kemarau yang biasanya sulit air. Tetapi di Dukuh Laban, Desa Bangunsari, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, sekitar 45 kilometer barat daya Kota Semarang, para petani tengah menikmati kegembiraan. Sesuatu yang selama ini menjadi ”barang” langka.
Kegembiraan itu muncul karena air irigasi melimpah meski sedang musim kemarau. Sukacita para petani di desa itu tidak terlepas dari keberhasilan mereka bergotong royong membangun bendung di Sungai Sulo. Bendung adalah semacam ”tanggul” sungai yang berfungsi menaikkan elevasi muka air.
Tidak hanya bendung yang mereka bangun, tetapi saluran irigasi desa yang sudah tidak berfungsi selama 32 tahun itu juga mereka hidupkan kembali. Ini semua bukan melalui proyek raksasa yang menelan dana miliaran hingga triliunan rupiah, tetapi cukup dengan sedikit anggaran dan gotong royong para petani.
Kerja keras para petani gurem atau kecil dengan kepemilikan lahan rata-rata 2.500 meter persegi itu membuahkan hasil. Setidaknya, sekarang ini sekitar 35 hektar sawah baru yang tercetak berkelimpahan air.
Lahan kering (tegalan), yang semula hanya bisa ditanami padi atau jagung sekali dalam setahun, sekarang juga bisa ditanami sampai tiga kali per tahun.
Politik lokal
Keberhasilan puluhan petani membangun ”proyek” itu tidak terlepas dari peran Darsiyan (44). Dia adalah mantan pegawai bank harian alias bank thongol—disebut begitu—karena setiap hari menampakkan diri pada debitor. Sejak tahun 2003, Darsiyan terpilih menjadi kepala dusun (kadus) atau bekel di Dukuh Laban.
Terpilihnya Darsiyan tidak lepas dari mosi tidak percaya masyarakat Dukuh Laban terhadap kepala dusunnya pada tahun 2002. Masyarakat protes karena janji kampanye kadus lama untuk membangun bendung dan saluran irigasi tidak pernah terealisasi.
Protes warga ini diteruskan kepada Pemerintah Kabupaten Kendal dan berbuah pemecatan sang kadus. Kekosongan jabatan kadus menarik minat masyarakat untuk mencalonkan diri menjadi kadus. Apalagi dengan menjadi kadus, mereka akan mendapat bengkok, tanah garapan.
Darsiyan adalah salah satu yang tertarik dengan posisi kadus itu. Namun sayang, Darsiyan bukan warga asli Dukuh Laban dan dia hanya tamatan SD. Selain belum punya pengalaman membangun padukuhan, keberpihakannya terhadap pembangunan desa juga belum tampak.
Darsiyan menyadari posisinya. Oleh karena itu, dia lalu ”berkampanye” dengan bukti bukan janji. Darsiyan yang beristrikan seorang guru ini mencoba mencari jalan untuk memuluskan langkahnya. Dia tak segan meminta masukan dari para sesepuh Padukuhan Laban. Hasilnya, Darsiyan ”ditantang” menghidupkan kembali gagasan lama, membangun bendung lengkap dengan irigasi desa.
Gagasan itu pun direspons warga. Mereka menguji kesungguhan Darsiyan dengan menyatakan, dia akan terpilih menjadi kadus kalau berhasil membangun bendung dan saluran irigasi.
Tantangan itu disambut Darsiyan meskipun nyalinya sempat ciut. Maklum, dua kadus sebelumnya gagal merealisasikan ”mimpi” itu. Kadus lama yang sudah menjabat lebih dari 30 tahun pun tidak bisa merealisasikan ”mimpi” tersebut.
Berbekal mental sebagai bank thongol, Darsiyan mencoba mendekati para pemilik dan penggarap lahan yang bakal dilalui air irigasi agar mereka mau iuran. Penolakan dan sikap sinis masyarakat datang silih berganti, tetapi semangat Darsiyan tidak surut.
”Malah ada petani yang baru mau iuran kalau dia sudah melihat bukti air irigasi sampai di depan lahannya,” kata Darsiyan mengenang.
Terhadap orang yang bersikap sinis, Darsiyan tidak ambil pusing. Dia tetap memegang prinsip, siapa yang mau turut serta membangun bendung, silakan bergabung dan membayar iuran Rp 500.000 per orang.
Uang iuran Rp 500.000 juga tidak dikumpulkan dalam sekali penarikan, tetapi bertahap dalam tempo setahun. Hasilnya, terkumpul sebanyak Rp 17,5 juta dari 35 petani.
Mau membangun bendung model apa dengan uang sekecil itu?
Darsiyan tidak hilang akal. Dia mencari masukan dan survei ke desa-desa tetangga. Kesepakatan dengan masyarakat akhirnya tercapai, yakni bendung dibangun hanya dengan menumpuk batu yang dimasukkan dalam beronjong, semacam jejaring dari kawat.
Oleh karena uang tidak cukup untuk membeli kawat dan batu, masyarakat kembali diminta iuran. Kali ini iurannya tidak dalam bentuk uang, tetapi batu. Setiap pemilik lahan diwajibkan menyetor batu setengah meter kubik.
Setelah batu terkumpul, meski volumenya kurang, pembangunan bendung dimulai. Agar menghemat biaya, tenaga kerja yang disewa hanya tukang batu, selebihnya mengandalkan tenaga masyarakat dan petani.
Tahap awal pembangunan bendung dimulai dari merangkai kawat menjadi beronjong dengan panjang 16,5 meter, sesuai lebar sungai. Beronjong disusun berundak lima, makin ke atas semakin sempit dengan ketinggian 2,5 meter. Lebar dasar bendung 4 meter dan lebar bagian atas bendung 2 meter.
Terancam jebol
Selesai membangun bendung, Darsiyan dihadapkan pada tantangan baru, yakni membangun saluran irigasi. Pembangunan saluran irigasi tidak mudah, apalagi saluran irigasi desa yang lama sudah tertimbun tanah, bahkan ada yang tertimbun setinggi dua meter.
Akan tetapi, melihat pembangunan bendung yang bisa direalisasikan, semangat masyarakat pun tetap bergelora. Gotong rotong terus dilakukan setiap sore untuk menggali saluran irigasi.
Pembagian tugas pun dilakukan. Ada warga yang kebagian menyiapkan makanan ringan dan minuman untuk yang bekerja gotong royong. Setelah hampir dua tahun lamanya, pembangunan bendung dan irigasi selesai dikerjakan.
Hanya saja, masyarakat belum puas karena aliran air irigasi belum kuat. Ini disebabkan dinding saluran air di kanan-kiri bendung masih terbangun ala kadarnya. Akibatnya, air sering tumpah dan tekanan berkurang.
Meminta kesediaan masyarakat untuk kembali iuran tidak mungkin karena masyarakat tak mampu lagi. Di tengah kesulitan itu, datang bantuan dari Kabupaten Kendal. Namun, bantuan itu bukan dalam bentuk uang, tetapi berupa proyek lengkap dengan desainnya. Saluran air pun dibangun sesuai desain yang dipaksakan meski tidak sesuai.
Saluran air memang terbangun permanen, tetapi dinding pembatas terlalu rendah. Akibatnya, kalau musim hujan air meluap dan mengikis dinding bendung. Daya tahan bendung pun terancam jebol.
Semangat petani di Dukuh Laban untuk kembali bergotong royong masih membara, tetapi apa daya, mereka tak mampu lagi iuran. Kegembiraan memang melingkupi hati petani di Dukuh Laban, tetapi sukacita itu berselimut kecemasan!
Kalau sudah begini, haruskah keinginan pemerintah mengalahkan ”akal sehat” dalam pembangunan bendung di Dukuh Laban?