Minggu, 15 Juni 2008

Darsiyan, Gotong Royong Bangun Bendung (Kompas 16-Jun-08, p16

Darsiyan, Gotong Royong Bangun Bendung
Senin, 16 Juni 2008 | 03:00 WIB

Hermas E Prabowo dan Haryo Damardono

Selama ini jarang petani bergembira, apalagi pada musim kemarau yang biasanya sulit air. Tetapi di Dukuh Laban, Desa Bangunsari, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, sekitar 45 kilometer barat daya Kota Semarang, para petani tengah menikmati kegembiraan. Sesuatu yang selama ini menjadi ”barang” langka.

Kegembiraan itu muncul karena air irigasi melimpah meski sedang musim kemarau. Sukacita para petani di desa itu tidak terlepas dari keberhasilan mereka bergotong royong membangun bendung di Sungai Sulo. Bendung adalah semacam ”tanggul” sungai yang berfungsi menaikkan elevasi muka air.

Tidak hanya bendung yang mereka bangun, tetapi saluran irigasi desa yang sudah tidak berfungsi selama 32 tahun itu juga mereka hidupkan kembali. Ini semua bukan melalui proyek raksasa yang menelan dana miliaran hingga triliunan rupiah, tetapi cukup dengan sedikit anggaran dan gotong royong para petani.

Kerja keras para petani gurem atau kecil dengan kepemilikan lahan rata-rata 2.500 meter persegi itu membuahkan hasil. Setidaknya, sekarang ini sekitar 35 hektar sawah baru yang tercetak berkelimpahan air.

Lahan kering (tegalan), yang semula hanya bisa ditanami padi atau jagung sekali dalam setahun, sekarang juga bisa ditanami sampai tiga kali per tahun.

Politik lokal

Keberhasilan puluhan petani membangun ”proyek” itu tidak terlepas dari peran Darsiyan (44). Dia adalah mantan pegawai bank harian alias bank thongol—disebut begitu—karena setiap hari menampakkan diri pada debitor. Sejak tahun 2003, Darsiyan terpilih menjadi kepala dusun (kadus) atau bekel di Dukuh Laban.

Terpilihnya Darsiyan tidak lepas dari mosi tidak percaya masyarakat Dukuh Laban terhadap kepala dusunnya pada tahun 2002. Masyarakat protes karena janji kampanye kadus lama untuk membangun bendung dan saluran irigasi tidak pernah terealisasi.

Protes warga ini diteruskan kepada Pemerintah Kabupaten Kendal dan berbuah pemecatan sang kadus. Kekosongan jabatan kadus menarik minat masyarakat untuk mencalonkan diri menjadi kadus. Apalagi dengan menjadi kadus, mereka akan mendapat bengkok, tanah garapan.

Darsiyan adalah salah satu yang tertarik dengan posisi kadus itu. Namun sayang, Darsiyan bukan warga asli Dukuh Laban dan dia hanya tamatan SD. Selain belum punya pengalaman membangun padukuhan, keberpihakannya terhadap pembangunan desa juga belum tampak.

Darsiyan menyadari posisinya. Oleh karena itu, dia lalu ”berkampanye” dengan bukti bukan janji. Darsiyan yang beristrikan seorang guru ini mencoba mencari jalan untuk memuluskan langkahnya. Dia tak segan meminta masukan dari para sesepuh Padukuhan Laban. Hasilnya, Darsiyan ”ditantang” menghidupkan kembali gagasan lama, membangun bendung lengkap dengan irigasi desa.

Gagasan itu pun direspons warga. Mereka menguji kesungguhan Darsiyan dengan menyatakan, dia akan terpilih menjadi kadus kalau berhasil membangun bendung dan saluran irigasi.

Tantangan itu disambut Darsiyan meskipun nyalinya sempat ciut. Maklum, dua kadus sebelumnya gagal merealisasikan ”mimpi” itu. Kadus lama yang sudah menjabat lebih dari 30 tahun pun tidak bisa merealisasikan ”mimpi” tersebut.

Berbekal mental sebagai bank thongol, Darsiyan mencoba mendekati para pemilik dan penggarap lahan yang bakal dilalui air irigasi agar mereka mau iuran. Penolakan dan sikap sinis masyarakat datang silih berganti, tetapi semangat Darsiyan tidak surut.

”Malah ada petani yang baru mau iuran kalau dia sudah melihat bukti air irigasi sampai di depan lahannya,” kata Darsiyan mengenang.

Terhadap orang yang bersikap sinis, Darsiyan tidak ambil pusing. Dia tetap memegang prinsip, siapa yang mau turut serta membangun bendung, silakan bergabung dan membayar iuran Rp 500.000 per orang.

Uang iuran Rp 500.000 juga tidak dikumpulkan dalam sekali penarikan, tetapi bertahap dalam tempo setahun. Hasilnya, terkumpul sebanyak Rp 17,5 juta dari 35 petani.

Mau membangun bendung model apa dengan uang sekecil itu?

Darsiyan tidak hilang akal. Dia mencari masukan dan survei ke desa-desa tetangga. Kesepakatan dengan masyarakat akhirnya tercapai, yakni bendung dibangun hanya dengan menumpuk batu yang dimasukkan dalam beronjong, semacam jejaring dari kawat.

Oleh karena uang tidak cukup untuk membeli kawat dan batu, masyarakat kembali diminta iuran. Kali ini iurannya tidak dalam bentuk uang, tetapi batu. Setiap pemilik lahan diwajibkan menyetor batu setengah meter kubik.

Setelah batu terkumpul, meski volumenya kurang, pembangunan bendung dimulai. Agar menghemat biaya, tenaga kerja yang disewa hanya tukang batu, selebihnya mengandalkan tenaga masyarakat dan petani.

Tahap awal pembangunan bendung dimulai dari merangkai kawat menjadi beronjong dengan panjang 16,5 meter, sesuai lebar sungai. Beronjong disusun berundak lima, makin ke atas semakin sempit dengan ketinggian 2,5 meter. Lebar dasar bendung 4 meter dan lebar bagian atas bendung 2 meter.

Terancam jebol

Selesai membangun bendung, Darsiyan dihadapkan pada tantangan baru, yakni membangun saluran irigasi. Pembangunan saluran irigasi tidak mudah, apalagi saluran irigasi desa yang lama sudah tertimbun tanah, bahkan ada yang tertimbun setinggi dua meter.

Akan tetapi, melihat pembangunan bendung yang bisa direalisasikan, semangat masyarakat pun tetap bergelora. Gotong rotong terus dilakukan setiap sore untuk menggali saluran irigasi.

Pembagian tugas pun dilakukan. Ada warga yang kebagian menyiapkan makanan ringan dan minuman untuk yang bekerja gotong royong. Setelah hampir dua tahun lamanya, pembangunan bendung dan irigasi selesai dikerjakan.

Hanya saja, masyarakat belum puas karena aliran air irigasi belum kuat. Ini disebabkan dinding saluran air di kanan-kiri bendung masih terbangun ala kadarnya. Akibatnya, air sering tumpah dan tekanan berkurang.

Meminta kesediaan masyarakat untuk kembali iuran tidak mungkin karena masyarakat tak mampu lagi. Di tengah kesulitan itu, datang bantuan dari Kabupaten Kendal. Namun, bantuan itu bukan dalam bentuk uang, tetapi berupa proyek lengkap dengan desainnya. Saluran air pun dibangun sesuai desain yang dipaksakan meski tidak sesuai.

Saluran air memang terbangun permanen, tetapi dinding pembatas terlalu rendah. Akibatnya, kalau musim hujan air meluap dan mengikis dinding bendung. Daya tahan bendung pun terancam jebol.

Semangat petani di Dukuh Laban untuk kembali bergotong royong masih membara, tetapi apa daya, mereka tak mampu lagi iuran. Kegembiraan memang melingkupi hati petani di Dukuh Laban, tetapi sukacita itu berselimut kecemasan!

Kalau sudah begini, haruskah keinginan pemerintah mengalahkan ”akal sehat” dalam pembangunan bendung di Dukuh Laban?

Senin, 09 Juni 2008

Kompas 9-Jun-08: Penjualan Saham Indosat Memanfaatkan Celah Hukum

Akuisisi Perlu Diatur
Penjualan Saham Indosat Memanfaatkan Celah Hukum
Senin, 9 Juni 2008 | 01:19 WIB

Jakarta, Kompas - Pengalihan kepemilikan saham Asia Mobile Holding Pte Ltd di Indosat kepada Qatar Telecom dinilai sebagai pemanfaatan celah hukum. Untuk itu, di masa mendatang, pemerintah perlu segera merampungkan penyusunan aturan tentang merger dan akuisisi seperti diamanatkan oleh UU Persaingan Usaha.

Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Syamsul Maarif, di Jakarta, Minggu (8/6), menegaskan, transaksi penjualan total saham Asia Mobile sebesar 40,8 persen di Indosat kepada Qatar Telecom bertentangan dengan putusan KPPU dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

”Sah atau tidak transaksi itu dan implikasi hukumnya, kami serahkan ke Mahkamah Agung karena perkaranya sedang dalam proses kasasi,” ujar Syamsul.

Pada November 2007, KPPU memutuskan Temasek Holdings serta 8 perusahaan Singapura lain yang digolongkan sebagai kelompok perusahaan Temasek, termasuk Asia Mobile, melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Temasek dinyatakan bersalah karena mempunyai kepemilikan silang di Telkomsel dan Indosat. Kepemilikan silang itu menghambat persaingan yang seharusnya dilakukan dua operator telekomunikasi terbesar di Indonesia tersebut.

KPPU menghukum kelompok perusahaan ini dengan keharusan membayar denda. Selain itu, Temasek diharuskan melepaskan kepemilikan saham di salah satu dari dua operator tersebut.

KPPU membatasi pembelian saham yang dilepaskan Temasek maksimal 5 persen oleh satu perusahaan. Dengan begitu, akan masuk sejumlah pemilik baru.

Kelompok perusahaan Temasek, termasuk Asia Mobile, mengajukan keberatan atas putusan itu di PN Jakarta Pusat. Pada Mei 2008, PN Jakarta Pusat menguatkan putusan KPPU, tetapi mengubah batas maksimal pembelian saham yang harus dilepaskan Temasek dari 5 persen menjadi 10 persen.

Untuk merespons putusan PN, Temasek kemudian mengajukan kasasi sehingga putusan KPPU dan PN belum berkekuatan hukum tetap.

Pemerintah alpa

Ekonom Faisal Basri menilai akuisisi 40,8 persen saham Asia Mobile di Indosat oleh Qatar Telecom dilakukan dengan memanfaatkan celah hukum, yakni belum adanya keputusan hukum tetap atas kasus tersebut.

”Namun, celah hukum yang lebih besar sebenarnya adalah kealpaan pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah yang mengatur soal akuisisi dan merger oleh perusahaan-perusahaan yang berpotensi mengganggu persaingan usaha,” ujar Faisal.

Penyusunan PP soal merger dan akuisisi merupakan amanat UU Persaingan Usaha. Di negara lain, aturan tersebut merupakan perangkat efektif untuk mencegah distorsi pasar. (DAY)

Bisnis 9-Jun-08: STT lecehkan keputusan KPPU


Halaman Depan
Senin, 09/06/2008
Qatar Telecom kuasai 40% saham Indosat
STT lecehkan keputusan KPPU
JAKARTA: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai penjualan 40,8% saham PT Indosat Tbk senilai US$1,8 miliar atau setara Rp7.385 per saham kepada Qatar Telecom QSC (Qtel) telah melecehkan proses hukum di Mahkamah Agung dan tidak sesuai dengan keputusan KPPU.

Transaksi pembelian saham Indosat terjadi Jumat pekan lalu ketika perusahaan telekomunikasi asal Qatar membeli saham itu dari Asia Mobile Holdings Pte.

Asia Mobile merupakan perusahaan yang 75% sahamnya dikuasai oleh Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT) dan selebihnya, 25%, dimiliki oleh Qtel. Perusahaan itu membeli saham Indosat dari Asia Mobile pada harga premium 30,7% dari harga penutupan pasar Jumat pekan lalu Rp5.650 per saham.

Apabila dikalkulasi dengan harga beli Indosat pada 2002 sebesar Rp12.950 (sebelum stock split 1:5 pada Maret 2004), ST Telemedia melalui Asia Mobile meraup gain Rp7,97 triliun dari total gain 185,14% atau Rp10,63 triliun dalam lima tahun.

Dengan diasumsikan dividen Indosat Rp187,9 per saham atau 50% dari laba bersih 2007 selama lima tahun, STT meraup dividen Rp2,07 triliun.

"ST Telemedia sedang mencoba menekan Mahkamah Agung untuk mengeluarkan keputusan seperti yang diinginkan karena perusahaan itu terlihat sedang menjual saham [di Indosat secara tidak langsung]," tutur Kelvin Goh, analis CIMB Investment Bank Bhd di Kuala Lumpur, seperti dikutip Bloomberg akhir pekan lalu.

CEO ST Telemedia Theng Kiat mengatakan transaksi ini tidak akan berpengaruh pada kepemilikan saham STT dan QTel di Asia Mobile.

"Begitu pula, pada investasi ST Telemedia dan QTel melalui Asia Mobile di pasar lain. STT tidak akan lagi memiliki keterkaitan dengan Indosat," ujarnya dalam siaran pers.

Qtel melalui kepemilikan sebesar 40,8% di Indosat akan tetap tunduk pada keputusan banding Mahkamah Agung Indonesia. Asia Mobile, lanjutnya, tetap memiliki saham di StarHub Ltd, perusahaan info-komunikasi kedua terbesar Singapura. Selain itu, Shenington Investments Pte Ltd, perusahaan induk yang mempunyai aset telekomunikasi di Kamboja dan Republik Rakyat Demokratik Laos.

Struktur kepemilikan STT di Indosat
sebelum penjualan ke Qatar telecom
STT75%
Qatar Telecom25%
Asia Mobile Holdings40,8%
Melalui ICL & ICLS PT Indosat
STT
ICL
ICLS
Kronologi kasus Kepemilikan Silang PT Indosat Tbk
November 2002The Government of Singapore Investment Corporation (GSIC) diketahui bergabung dengan Singapore Technologies Telemedia (ST Telemedia) akan mengikuti tenderdivestasi 41,94% saham pemerintahdi Indosat.
Desember 2002 STT membeli 41,94% saham (atau berkisar 434,25 juta saham) pemerintah di Indosat senilai US$630 juta atau Rp5,62 triliun.
19 November 2007 KPPU menilai Temasek melalui anak perusahaannya, SingTel dan STT, melakukan monopoli melalui 35% kepemilikan saham di PT Telkomsel Tbk dan 41,94% di Indosat.
Mei 2008 PN Jakarta Pusat memvonis Temasek Holdings Pte Ltd melanggar Pasal 27 (a) UU No.5/1999 karena kepemilikan saham silang di Telkomsel dan Indosat.
22 Mei 2008 Temasek Holdings Pte Ltd secara resmi mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memvonisnya melanggar Pasal 27 (a) UU No.5/1999 karena kepemilikan saham silang di Telkomsel dan Indosat.
6 Juni 2008 STT menjual 40,8% saham Indosat ke Qatar Telecom
Sumber: Diolah

SVP Strategic Relations ST Telemedia Kuan Kwee Jee menambahkan penutupan transaksi penjualan itu dijadwalkan akhir Juni. Pembayaran saham tersebut secara tunai.

Deputy Chairperson QTel Sheikh Mohammed Al Thani mengatakan ke depan Qtel akan berinvestasi dalam jumlah cukup besar di Indosat guna mendukung pertumbuhan Indosat mencapai potensi sepenuhnya.

CEO Qtel Nasser Marafih mengatakan investasi itu merupakan langkah maju bagi strategi pertumbuhan QTel di Indonesia.

Langgar putusan KPPU

Secara terpisah, anggota KPPU M. Iqbal mengatakan ada dua poin keputusan KPPU yang menjadi penilaian KPPU terkait dengan pembelian 40,8% saham Asia Mobile oleh Qtel.

Pertama, KPPU melarang pembelian saham Asia Mobile tersebut kepada pihak terafiliasi. "Padahal, Qtel dan ST Telemedia adalah pihak yang masuk sebagai pihak terafiliasi dalam perkara yang diputus KPPU. Jadi, dalam konteks putusan tersebut, kami nilai pembelian ini tidak sesuai dengan putusan KPPU," katanya.

Pada triwulan I/2007, Qtel Grup mengakuisisi 25% kepemilikan saham ST Telemedia di Asia Mobile.

Kedua, pembeli 40,8% saham Asia Mobile di Indosat masing-masing tidak boleh membeli lebih dari 10%. "Jadi, tidak bisa hanya satu pihak langsung membeli 40,8% begitu. Seharusnya ada beberapa pihak dan masing-masing tidak lebih dari 10%."

Dia mengatakan perkara tersebut hingga saat ini belum selesai di Mahkamah Agung, sehingga sudah selayaknya ST Telemedia mengikuti proses hukum yang sedang berlaku dan tidak melakukan transaksi di tengah proses kasasi.

"KPPU sendiri sebenarnya berencana besok [hari ini] untuk menjelaskan proses hukum yang tengah berlangsung saat ini dan akan menyerahkan memori hukum kasasi kepada MA."

Pendapat yang sama disampaikan Atip Latifulhayat, pengamat telekomunikasi dari Universitas Padjadjaran Bandung, yang mengatakan transaksi itu sebagai akibat dari inkonsistensi kebijakan dan kelemahan regulasi yang biasa terjadi di Indonesia.

Ketua Masyarakat Telematika Indonesia Mas Wigrantoro Roes Setiyadi mengatakan transaksi antara STT Telemedia dan Qtel itu merupakan langkah untuk lepas dari KPPU.

"Dengan langkah itu maka tuduhan afiliasi justru tidak ada lagi karena yang dibeli adalah saham Asia Mobile Holding dan STT Telemedia dengan QTel tidak ada afiliasi langsung."

Di pihak lain, Bursa Efek Indonesia (BEI) meminta Indosat menggelar penawaran tender terkait dengan Qtel yang membeli 40,8% saham di Indosat milik Asia Mobile Holding.

"Saya akan melihat dokumennya di meja saya besok pagi [hari ini]. Yang pasti, apabila penjualan itu mengakibatkan perubahan pemegang saham pengendali lebih dari 25%, saya akan meminta mereka melakukan penawaran tender," ujar Dirut BEI Erry Firmansyah kepada Bisnis, kemarin. (Roni Yunianto) (sylviana.pravita@bisnis.co.id/wisnu.wijaya@bisnis.co.id)

Oleh Sylviana Pravita R.K.N. & Wisnu Wijaya
Bisnis Indonesia

© Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited.

Minggu, 08 Juni 2008

Kompas 6-Jun-08: Pemandu yang Gandrung Tradisionalisme

Pemandu yang Gandrung Tradisionalisme
KOMPAS/AMIR SODIKIN / Kompas Images
Felix Feitsma
Jumat, 6 Juni 2008 | 03:00 WIB

Oleh AMIR SODIKIN

Dari dalam tas pesek terbuat dari kulit buah maja, dikeluarkannya beberapa barang khas Sunda. Tas itu seharusnya bulat, tetapi terlihat cekung di kedua sisinya. Cekungan artistik itu sebenarnya hasil tak sengaja karena buah maja itu dahulu tumbuh di jepitan pohon.

Karinding, alat musik pukul dengan resonansi mulut itu, dikeluarkannya dan dimainkan sesaat. Getaran low desible itu dahulu digunakan untuk mengusir hama. Getaran yang dibuat pemain karinding profesional diyakini mengeluarkan bunyi ultrasonik yang bisa mengusir serangga.

Bosan memainkan karinding, dikeluarkannya rokok. Bukan rokoknya yang akan dia pertunjukkan, melainkan cara dia menyulut api. Bukan dengan korek api, melainkan dengan cara zaman batu.

Dikeluarkannya ”dompet” kecil yang sebenarnya kulit buah kluwek yang di dalamnya berisi rambut-rambut halus pelepah aren yang sudah tua. Dia menyebutnya lum-lum. Percikan api kemudian dia buat menggunakan gesekan besi dan batu. Crek... crek..., api pun menyambar lum-lum itu.

”Lum-lum, batu, dan besi ini sudah saya ekspor ke negara luar,” dengan gaya tenangnya Felix membuka percakapan. Kata Felix, di AS banyak perguruan tinggi, sekolah, dan museum yang menggunakan produknya sebagai bahan pelajaran sejarah pembuatan api zaman dahulu.

Felix juga menyebut angkatan bersenjata sebuah negara di Asia pun mengimpor produknya. ”Mereka menggunakan produk ini untuk survival,” katanya.

Di Bandung, Jawa Barat, Felix yang dikenal sebagai budayawan, pemandu wisata, dan pelestari budaya ini identik dengan fashion khas Sunda. Selain tas buah maja dan ”korek api” tradisional, ia juga mengenakan baju kampret khas Sunda, celana pangsi, ikat kepala, dan sandal kayu.

”Pakaian ini biasa dipakai petani dan rakyat biasa. Saya sudah memakainya sejak 12 tahun lalu,” katanya. Dua belas tahun silam Felix menemukan keasyikan mencintai budaya Nusantara sekaligus memperkenalkannya kepada turis asing.

Ketika berinteraksi dengan lawan bicara, biasanya para turis, ia selalu punya kisah menarik. Entah soal Kota Bandung, budaya Sunda, maupun daya tarik wisata Nusantara lainnya. ”Inti dari teknik memandu wisatawan adalah bagaimana kita menjelaskannya,” katanya.

”Kalau kita kreatif, turis akan tertarik. Misal, kita hanya bilang Candi Borobudur dibangun raja ’gila’ yang memerintahkan rakyatnya menumpuk-numpuk batu. Itu pasti tak mengundang minat. Tetapi, kalau kita bilang pada relief candi itu bisa menguak sejarah peradaban manusia saat itu, turis akan tertarik,” lanjut Felix.

Mulai memandu

Kekaguman Felix terhadap tradisi Nusantara berawal dari iseng. ”Sebagai anak orang kaya, waktu kecil saya tak peduli dengan sekolah. Saya suka bicara dan memandu orang asing yang datang ke Bandung. Sejak saat itu (1960-an) saya sering memandu,” kata pria keturunan Belanda ini.

Sebagai pemandu jalanan saat itu, Felix diam-diam mengagumi pemandu ”official” atau pemandu resmi yang berafiliasi pada agen-agen perlawatan dan pariwisata.

Tahun 1980 dia resmi menjadi pemandu ”official” setelah melamar di Jakarta. Walaupun hanya tamatan SMA, Felix fasih berbahasa Inggris dan Belanda karena lingkungan keluarga.

Keluarga Felix kini memilih tinggal di Belanda, tetapi dia telanjur jatuh cinta dengan Nusantara. Ia telah bergabung dengan banyak agen perlawatan dan pariwisata, seperti Indonesian Explorer, Smailing Tour, dan Satriavi.

”Banyak agen tour and travel itu memberi kesempatan mempelajari daerah tujuan wisata, menggali tempat-tempat unik yang sebelumnya tak ditemukan,” katanya.

Namun, tahun 1990-an Felix memutuskan kembali ke Bandung. Sempat bergabung dengan Bhayangkara Tour & Travel, tetapi tahun 1995 ia memutuskan berhenti.

Felix kembali memandu wisatawan dengan manajemen sendiri. Mulai dari menyambut tamu, mencari penginapan, menyiapkan perjalanan, hingga perbekalan. ”Saya bekerja seperti agen travel seorang diri,” katanya.

Felix selalu memiliki tujuan wisata yang lain dari biasa, bahkan di perkotaan pun dia punya. Misalnya di Jalan Dago Pojok, Kampung Tanggulan, Bandung Utara, di daerah kelas satunya Bandung. Ada kampung yang memberi perspektif berbeda dari wisata kota selama ini.

”Menawarkan wisata pedesaan, ada kerbau, sawah, rumah tradisional dengan arsitektur menarik, lantai masih tanah, tak memakai listrik, pokoknya natural banget,” katanya.

Wisata minat khusus

Tempat-tempat di Nusantara yang masih ada suku tradisionalnya sudah dia kunjungi, termasuk semua taman nasional. Hal yang berkesan adalah pengalamannya memandu akademisi, termasuk profesor.

”Saya banyak memandu wisatawan minat khusus atau special interest. Ada ahli arkeologi, geologi, antropologi, biologi, mikrobiologi, sosiologi, dan ilmuwan lain yang saya pandu untuk melakukan perjalanan wisata,” katanya.

Felix spesialis mengorganisasi ekspedisi wisata minat khusus seperti itu. Bertahun-tahun ia memandu di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua, dan daerah terpencil lain yang tak pernah ada dalam daftar tujuan wisata agen-agen perlawatan dan pariwisata konvensional.

Karena interaksi yang sering dengan akademisi, Felix fasih menuturkan sejarah yang terkandung pada candi, atau bercerita soal arkeologi, bahkan mikrobiologi.

Dari penjelajahan di seluruh Nusantara yang dia lakukan, ia paling menikmati Pulau Siberut, Sumatera Barat. Panorama dan keaslian alamnya tak ada di tempat lain.

”Hal-hal seperti ini tak dibidik agen travel karena tak punya informasi,” kata Felix. Tempat-tempat turistik yang biasa dikunjungi wisatawan biasanya tak menarik minat para peneliti, antropolog, pengelana, dan pencari dunia yang berbeda dari dunia sehari-hari para turis. Para turis asing itu sebenarnya hanya ingin melihat keaslian.

Setelah melihat kebesaran Nusantara, Felix tak habis pikir dengan sikap pemerintah yang tak responsif. Dengan aset yang sedemikian seksi, seharusnya Indonesia unggul.

”Lebih baik tak ada dinas pariwisata atau departemen, buang duit saja. Cukup mendirikan badan khusus pariwisata,” katanya. Peran pemerintah adalah mempersiapkan moral masyarakat mengenai pelayanan wisata.

”Terutama masalah kebersihan dan sanitasi. Bukan berarti harus ada gelas porselen atau menu mewah model Barat. Justru kita harus mengangkat kearifan lokal untuk meningkatkan kebersihan dan keindahan,” katanya.

Jika daerah itu kaya bambu, ya buatlah rumah dengan arsitektur bambu yang menarik. Tempat mandi dan toilet juga tak harus dirancang gaya Barat, tetapi dengan sentuhan tradisional justru lebih disukai.

”Daripada pemerintah membangun hotel, lebih baik memberi arahan kepada komunitas untuk menyiapkan guest house. Pariwisata harus bisa menyejahterakan masyarakat lokal,” kata Felix.

Selasa, 03 Juni 2008

BP Steps Into Brazilian Ethanol

BP Steps Into Brazilian Ethanol

2008-05-20 by renewenergy

As the debate and controversy over ethanol production and its effects on global food supply and prices rages on, just last month BP announced its first foray — and the largest to date by a multinational oil company — into Brazil’s sugar cane-based ethanol industry.

The company announced that it will purchase a 50% stake in Tropical BioEnergia SA, a joint venture established by Brazil’s second-largest sugar cane and ethanol producer, Santelisa Vale and Maeda Group, one of the world’s largest cotton producers. The joint venture (JV) is building a 435 million liter per year (US 115 million gallon/year) ethanol refinery in Edeia, a town in Brazil’s Goias State, and planning a second.

BP plans to make an initial investment of some $100 million reais (US $59.8 million) in return for its 50% equity stake, assuming all required approvals are obtained, and provide additional funding that will bring the total to approximately R $1.66 billion (US $1 billion).

Brazil’s President Luiz Inacio Lula da Silva and his administration have been busy countering claims that growing sugar cane to produce ethanol is a big factor in the recent surge in food prices around the world, as well as being a net contributor to greenhouse gas emissions as a result of forest clearing. Addressing the media recently he dismissed such claims as an “absurd distortion.”

BP’s environmental record and contention that it is moving “Beyond Petroleum” has also come under attack of late. Its plans to invest some US $5.5 billion over 15 years with Husky Oil in an oil sands project in Alberta wipes out any credit the company can claim in terms of advancing efforts to promote renewable energy sources and reduce greenhouse gas emissions, one critic maintained.

Sugar Cane: The Preferred Choice for Producing Ethanol

Tropical BioEnergia’s first refinery is expected to begin production around mid-year and reach full capacity by the middle of 2010. The ethanol produced is mainly destined for the Brazilian market, where rapid growth is forecast and a distribution infrastructure is already in place, though the partners intend to explore opportunities to export to the U.S., Europe and Asia as well.

Sugar cane is the most efficient means of producing ethanol available at present and has the potential to reduce greenhouse gas emissions by as much as 80% compared to alternative fuel sources and production methods, according to the JV partners.

The JV’s ethanol refineries will make use of bagasse — the fiber left over after the juice has been squeezed out of sugarcane stalks — for co-generation of electricity to power the two refineries and feed its expected 30 megawatts (MW) of surplus electricity into Brazil’s electricity grid.

While scientists and other industry experts disagree on actual yields, it’s clear that one acre of sugar cane grown in Brazil yields double or perhaps even triple the ethanol that one acre of corn yields. Made up of relatively simple molecules, producing ethanol from sugar cane is also more efficient and friendlier environmentally, as less energy and potentially toxic polluting chemicals are used in the refining process.

“Sugar from sugar cane is an easily available carbohydrate that can be directly fermented without many of the processing steps required for corn-based ethanol,” explained Hans P. Blaschek, Director of the Center for Advanced Bioenergy Research at the University of Illinois and Assistant Dean in the College of ACES Office of Research.

“The Brazilians use the bagasse as an energy source. This is the reason that they are able to produce a gallon of ethanol for US $0.81 cents. Corn ethanol requires some additional steps to convert the starch to free sugars and normally an external energy source is required to run the plant. This is the reason for the cost differential between corn ethanol and sugar ethanol.”

First and Second Generation Biofuels

In addition to growing sugar cane and processing it to produce ethanol and electricity, Tropical BioEnergia will focus on marketing conventional ethanol, its associated agricultural assets and co-generation plants, as well as make use of the data and experience gained to contribute to research aimed at developing next generation biofuels.

Further supporting the latter aim, BP last year invested US $500 million to launch the Advanced Energy Institute, a biofuels research program that is being carried out at the University of California, Berkeley, the University of Illinois, Urbana-Champaign and Lawrence Berkeley National Laboratory, and where research is under way aimed at producing ethanol from plant waste and woody biomass — lignocellulosics — and biobutanol, as well as other advanced biofuels.

“By using the bagasse as an energy source, the lifecycle of the process looks considerably better than corn ethanol produced today where natural gas is used to power the plant. This makes a huge difference. Better yet would be for them to use the entire sugar cane plant - the cellulosic portion - to produce additional liquid fuels,” Prof. Blaschek told RenewableEnergyWorld.com.

“Cellulosic ethanol — second generation biofuel — offers the advantage of disconnecting the substrate— biomass — from the food supply; however the technology for doing this on a commercial scale is still a number of years away. This approach has a better lifecycle and carbon footprint than does corn ethanol. Other possibilities include sugar corn, which can be grown in the Midwest and also has the advantage of not requiring deconstruction of the plant cell wall to produce free sugars. Right now, sugar-based biofuels look pretty good.”

BP and DuPont, as well as other companies including GEVO, Cobalt Biofuels and TetraVitae Bioscience — a company that Prof. Blaschek co-founded — are trying to produce butanol, another second generation biofuel.

“Butanol is a 4-carbon alcohol with considerable advantages over ethanol,” Blaschek said. “Having the sugar directly available to produce butanol is certainly an advantage as it is for fermentative production of ethanol.

“The ‘Holy Grail’ of this ultimately would be cellulosic butanol — which gives you a very practical fuel with characteristics that are consistent with existing infrastructure, pipelines, etc. — and blendability characteristics that are superb,” said Blaschek.

BP & Biofuels

Critics claim that BP’s efforts to move “Beyond Petroleum” are on the whole superficial, disingenuous and self-serving. Maintaining its share of the global oil market and ensuring that petroleum will continue to be the primary source of fuel for the world’s economies for as long as possible is where its only real interests lie, they contend. As Chevron Vice President Peter Robertson told the Congressional Select Committee on Energy Independence and Global Warming last month, “the enormous scale of the energy system means that we must continue to bring traditional energy supplies to the market.”

Greenpeace equated the BP-Husky joint venture to a crime against the environment and pledged to take action against it. Mike Hudema, a climate campaigner with Greenpeace in Edmonton said that, “not only will these developments produce 100 million tons of greenhouse gases annually by 2012 but [they will] also kill off 147,000 sq km [56,000 sq miles] of forest that is the greatest carbon sink in the world.”

BP disputes these claims. According to company statistics, BP’s biofuels sales accounted for some 10% of the global market in 2007, a year in which it blended and distributed 763 million US gallons of ethanol and about 1 million US gallons of biodiesel. In Europe, the multinational energy major sold 344 million liters of ethanol and 847 million liters of biodiesel in 2007.

There are two fundamental, guiding principles underlying all BP’s investments in the biofuels sector, explained spokesperson Wendy Silcock: they must be truly sustainable, meaning that they will not displace crops or cropland used to produce food; and they will not involve deforestation. “The Brazilian joint venture starts out with land previously used for grazing and growing cotton,” she told RenewableEnergyWorld.com.

Emphasizing the point, Phi New, who heads up BP Biofuels stated in the company’s media release, “This investment, the largest made by an international oil company in the Brazilian ethanol industry, represents a significant step in delivering BP’s strategy for biofuels which centers around sustainable feedstocks that do not impact on food supplies, and investing in research work to develop the technologies required to produce advanced biofuels.”

Brazil, Ethanol & the Global Market

Worldwide biofuel production rose around 20%, to an estimated 54 billion liters in 2007, accounting for 1-1/2 percent of global liquid fuel supply, according to the Worldwatch Institute.

Fuel ethanol production from sugar or starch crops rose 18 percent to 46 billion liters last year, the sixth consecutive year of double-digit growth. Brazil and the US accounted for 95% of the total, with the US producing just over half of it after ramping up production some 33%, to 24.5 billion liters.

Brazilian agriculture ministry officials late last month forecast a record sugar cane crop and ethanol production for 2008. Ethanol production is expected to rise between 15 and 19%, reaching as high as 27.4 billion liters. Exports are forecast to rise more than 23%, to 4.2 billion liters, in spite of restrictive tariffs in major export markets, including the U.S. and the EU.

The US levies a $0.54 per gallon tariff on Brazilian ethanol imports and the EU, as well as China, impose similar tariffs, raising trade tensions at a time when the U.S. and other developed nations push free trade rhetoric and Free Trade Agreements.

Tropical BioEnergia partner Santelisa Vale expects to crush 18 million tons of sugar cane, produce 25 million bags of sugar and 770 million liters of ethanol in 2008. The company also expects to generate and sell 420,000 MWh of surplus electricity from sugar cane bagasse — enough to supply enough electricity for one million people.

BP isn’t the first prominent multinational to invest in Santelisa Vale’s ethanol business, which ranks in size only behind Cosan, Brazil’s largest ethanol producer. New York-based investment bank Goldman Sachs‘ commodities trading arm last summer announced that it would invest US $210 million (B $400 million) in the company.

Achieving Environmental Sustainability

Can ethanol be an environmentally, as well as economically, feasible source of fuel? “Yes, if done correctly, but remember we are at the very beginning of the biofuels/biorefinery revolution,” Prof. Blaschek maintains.

“I visited Brazil last November and saw the Cosan plant in full swing,” he said. “The key will be to make this as sustainable process as possible. There are some issues of how the cane is harvested — human labor vs. mechanical means — that will have to be addressed [but] there is plenty of land available in the Matto Grosso region that is already planted with sugar cane that should be able to supply the necessary feedstock for their production plants. It appears that given the current infrastructure, roads to the Amazon region are not passable for the most part. However, this appears to be a business decision.”

“Think of it in terms of the petroleum refinery of 100 years ago. It was pretty basic with only limited products being made. Today thousands of products are made at a petroleum refinery. Lots of efficiencies and new processing technologies need to be brought to bear to the biorefinery of the future in order to make this all truly sustainable.”