Kamis, 18 September 2008

Panji Margono, Potret Harmonisasi Cina-Jawa - Kompas 19-Sep-08 p45

Panji Margono, Potret Harmonisasi China-Jawa
KOMPAS/ANTONY LEE
Karangturi, yang termasuk salah satu pecinan di Lasem, terlihat sepi. Hal ini didorong pula oleh kelesuan ekonomi masyarakat Tionghoa yang dahulu mayoritas bergerak di bidang pembuatan batik Lasem.
Jumat, 19 September 2008 | 03:00 WIB

Lasem merupakan kota kecil yang menjadi bagian dari Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kota kecamatan dengan posisi strategis di pesisir pantai utara Pulau Jawa ini diyakini menjadi salah satu pintu masuk migrasi awal orang Tionghoa ke Jawa. Seperti halnya kota-kota lain, sebelum muncul politik adu domba oleh Belanda, hubungan kedua suku ini harmonis.

Salah satu bukti nyata yang hingga saat ini masih ada di Lasem ialah penghormatan komunitas Tionghoa setempat terhadap Panji Margono, seorang Adipati Lasem pada masa Kerajaan Mataram awal abad ke-18. Penghargaan warga Tionghoa terhadap Panji Margono dilakukan dengan menaruh patung atau kimsin Panji Margono di altar pemujaan di Kelenteng Babagan (Gie Yong Bio), Lasem.

Di sisi kanan kelenteng disediakan ruang khusus beserta altar dan patung Panji Margono. Panji Margono digambarkan menduduki kursi kebesaran dan berpakaian Jawa lengkap beserta belangkon. Pada hari-hari besar dalam penanggalan Tionghoa, tidak jarang kimsin Panji Margono turut diarak bersama kimsin lainnya.

Penghormatan ini sangat luar biasa karena masyarakat Tionghoa umumnya hanya memberi posisi terhormat ini kepada leluhur yang berjasa dan dewa-dewa. Panji Margono seorang Jawa, tetapi oleh warga Tionghoa Lasem sudah dianggap menjadi bagian dari komunitas mereka.

Hubungan erat

Dalam sejarah tutur warga setempat, seperti yang diceritakan Njo Tjoen Hian (79), tokoh Tionghoa Lasem yang sudah mengganti namanya menjadi Sigit Witjaksono, Panji Margono digambarkan memiliki hubungan sangat erat dengan komunitas Tionghoa setempat. Panji Margono bahkan mengangkat saudara dengan dua tokoh Tionghoa, Oey Ing Kiat dan Tan Kee Wie.

Bahkan, Panji Margono diyakini juga memiliki nama Tionghoa Tan Pan Djiang. Hubungan baik ini terbukti dengan bergabungnya tiga saudara angkat ini untuk melawan VOC setelah terjadi pembantaian besar-besaran warga Tionghoa di Batavia (Jakarta) tahun 1740.

Saat itu, puluhan ribu warga Tionghoa dibantai dan sebagian lainnya melarikan diri sambil menyulut pemberontakan melawan Belanda di sejumlah wilayah di Jawa Tengah ataupun Jawa Timur. Sejumlah penguasa setempat ada yang bersimpati dan turut mendeklarasikan perang terhadap VOC, termasuk Panji Margono.

Dalam salah satu pertempuran, Panji Margono, Oey Ing Kiat, dan Tan Kee Wie terbunuh. Pasukan VOC yang dibantu oleh Tjakraningrat dari Madura berhasil memukul kekuatan pemberontak Tionghoa-Jawa. Perjuangan yang tidak mengenal batasan etnis ini yang membuat Panji Margono dan kedua saudara angkatnya dihormati warga Tionghoa.

Tanpa gejolak

Ong Hok Ham dalam Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa menyatakan, pada abad ke-19 hubungan erat antara orang Jawa dan Tionghoa mulai dibelokkan, golongan bangsa dipisah-pisah dengan garis tajam. Belanda tidak suka menyaksikan kecenderungan laten amalgameren atau bercampurnya bangsa Timur Asing, Tionghoa, Bugis, Jawa. Mereka ingin bangsa ini tetap terpisah.

Meski begitu, hubungan Tionghoa dan Jawa di Lasem tidak sampai menimbulkan gejolak besar. Menurut Njo Tjoen Hian, pembauran pendatang Tionghoa sudah berlangsung ratusan tahun sebelumnya. Ketika generasi pertama Tionghoa datang, mereka berbekal ajaran Konfusius (Konghucu) bahwa semua manusia di empat penjuru adalah saudara.

Mereka akhirnya bisa membaur, menikah dengan warga setempat, dan mempelajari budaya Jawa. Orang-orang Tionghoa belakangan juga mulai mendirikan industri batik Lasem dan merekrut orang-orang Jawa sehingga tercipta hubungan saling membutuhkan.

”Makanya di Lasem hubungan Tionghoa-Jawa tidak pernah ada persoalan rasial seperti kota-kota lain. Mau dipecah belah, tapi kalau sudah jadi darah daging bagaimana. Bojoku yo wong Jowo, apa ya masih terpecah belah,” kata Njo Tjoen Hian.

Arsitek dan pemerhati budaya Tionghoa peranakan Widya Widjayanti mengemukakan, asimilasi melalui pernikahan memang bisa menjadi salah satu pemerkuat hubungan kedua komunitas ini. Apalagi, kedatangan orang Tionghoa di Lasem sudah berlangsung lama. Saat pertama kali datang ke tanah Jawa, orang-orang Tionghoa hanya laki-laki karena masih terikat tradisi dan teknologi transportasi yang terbatas.

Lanjut Widya, hubungan harmonis Tionghoa-Jawa di Lasem juga didukung kondisi perkotaan yang relatif kecil. Populasi penduduknya sedikit, mendorong hubungan sentripetal yang intensif. Hal ini mencegah munculnya sikap eksklusif.

”Ini juga bisa dijelaskan oleh psikologi lingkungan. Selain Lasem, juga ada kota-kota kecil lain yang hubungan Tionghoa-Jawa bisa harmonis seperti di Parakan. Hal ini yang agak sulit ditemukan di kota-kota besar,” kata Widya.

Indahnya keharmonisan di Lasem bukan tidak mungkin bisa berkembang di daerah lain bila ada keikhlasan hati untuk saling menerima.(Antony Lee/Adi Sucipto/Neli Triana)


antony lee;adi sucipto;neli triana

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/09/19/01425511/panji.margono.potret.harmonisasi.china-jawa

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda