Minggu, 09 Juni 2013

Senin,
10 Juni 2013

Cerita Berjalan Gerson Poyk

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
GERSON POYK
 Putu Fajar Arcana
Jalan Raden Saleh Gang H Miun 21A, Depok, Jawa Barat. Sebatang pohon rambutan sudah lama mengering. Tiga pot anturium juga tak terurus. Rumputan bahkan mulai tumbuh liar di sudut-sudut halaman. Sebuah sofa di teras sudah pudar warnanya. Tak ada yang menyahut ketika pintu diketuk. Ruangan dalam rumah seperti tak berpenghuni. Kosong.... Setelah menelepon lewat telepon seluler, Gerson Poyk (82) tergopoh-gopoh membuka pintu ruang tamu sambil menuntaskan memakai baju batiknya. Ia tampak tetap segar di usia sangat sepuh untuk ukuran orang Indonesia.
”Semoga Anda sedang sehat, ya?”
”Oh, tetap sehat, kecuali sedikit kanker saja,” kata Gerson.
”Oh ya ampun, sejak kapan?”
”Ah, kan biasa pengarang hidup akrab dengan kantong kering, ha-ha-ha,” ujar Gerson terkekeh-kekeh.
Di masa tua, ia tetap bisa menertawakan pilihan hidupnya sebagai pengarang, yang nyaris selalu berkelahi dengan kekurangan. Beberapa lama setelah kami bercerita di teras, Gerson mempersilakan saya masuk ke ruang dalam. Di kamar tidurnya yang sempit penuh dengan buku-buku. Dipannya cuma seukuran tubuh orang dewasa dengan seprai yang sudah usang. Sarung bantalnya pun terlepas begitu saja. Di sudut ruangan seekor kecoak mati terinjak, tubuhnya dikerubungi semut. Di ruangan kecil itulah sejak era tahun 1990-an, semenjak membangun rumah di Depok, Gerson menuliskan kisah-kisahnya. ”Sejak dua tahun baru bisa memakai laptop. Sebelumnya ya pakai mesin ketik. Suaranya itu bikin tertantang,” katanya.
Tak jauh dari kamar Gerson terdapat onggokan barang-barang elektronik, seperti tabung televisi dan layar komputer, yang sudah berdebu. Rupanya benda- benda itu sudah lama tak tersentuh. Di bagian belakang rumah terdapat dapur terbuka, yang rupanya juga dibiarkan begitu saja. Selain menulis, hari-hari Gerson diisi dengan berkebun singkong dan memasak. ”Di sini tinggal dua anak saya dan seorang menantu,” kata pengarang kelahiran Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), ini.
Salah satu dari dua anak lelakinya, Martin Poyk (35), sejak usia belasan tahun menderita skizofrenia. ”Dia itu dulu penari waktu kami tinggal di Bali. Bahkan Martin ikut bersama Sardono (Sardono W Kusumo) ke Paris untuk menari. Itu waktu ada Sukmawati Soekarno dan Ketut Rina, yang kemudian jadi penari terkenal,” tutur Gerson.
Sepulang dari Eropa, kata Gerson, Martin jadi berubah. Ia lebih suka menyendiri dan asyik dengan pikiran-pikirannya. ”Itu Edi (maksudnya Frederik Poyk) kakak atau adik saya, ya?” kata Martin. Setiap ditanya usianya, lelaki kurus itu selalu menjawab dengan kata yang sama: 13 tahun! Tetapi ketika Gerson lupa nama satu lokasi di mana mereka sering menonton bioskop murahan di Denpasar, Martin dengan lugas menjawab, ”Lila Bhuwana.” Dan Gerson mengiyakan memang lokasi itulah yang ia maksud. ”Ha-ha-ha, ingat kamu Teng,” kata Gerson menyebut penggalan nama panggilan anak ketiganya itu. Di Bali, Martin biasa dipanggil Ateng oleh kawan-kawannya semasa kecil.
”Ibu sudah lama enggak ada, ya?” Saya memberanikan diri bertanya setelah melihat foto hitam putih di sebuah dinding ruang dalam rumah peraih penghargaan SEA Write Award tahun 1989 dari Kerajaan Thailand itu.
”Istri saya hilang kira-kira enam tahun silam,” kata Gerson.
Jawaban yang mengejutkan. ”Maksudnya?”
”Istri saya menderita dementia senilis, seperti kehilangan ingatan. Tidak bisa mengingat apa pun. Jadi kalau pergi, pergi saja. Biasanya saya gantungkan nomor telepon, tetapi pas hari itu lupa. Dia pergi, kami sudah telusur daerah-daerah sekitar Depok, Bekasi, bahkan sampai jauh, tetapi sampai sekarang tidak ada kabarnya. Mungkin entah di mana sudah,” tutur Gerson. ”Coba lihat foto ibu waktu muda, cantik kan,” katanya.
Hidup salah satu pengarang yang mulai menulis hampir berbarengan dengan pengarang-pengarang besar, seperti Iwan Simatupang dan Sitor Situmorang, ini mungkin jauh lebih dramatis ketimbang karya-karyanya. Banyak yang bilang bahwa Gerson hidup di dalam karya-karyanya dan tidak dalam kenyataan di sekitarnya.
Tetapi wajahnya tetap semringah seperti tak ada beban. ”Sejak dulu saya hidup dari menulis. Sudah menghasilkan sarjana...,” kata Gerson. Empat dari lima anaknya, kecuali Martin, menjadi sarjana karena cerita-cerita yang ditulis Gerson. Bahkan dari hasil menulis ia bisa membeli sebidang tanah di Depok, tempat kini ia menetap.
Tiada banding
Gerson Poyk hampir tak punya saingan dalam hal produktivitas. Sejak tahun 1950-an sampai Jumat (7/6), Gerson tak henti menulis. Ia menggeluti berbagai ragam tulisan dari puisi, esai, cerita pendek, novel, dan drama. Bahkan, katanya, kini ia sedang menyusun sebuah naskah drama berjudul Kaisar Timor untuk satu pementasan besar nanti. ”Naskah sudah selesai saya susun. Tinggal membuat badan hukum dari perkumpulan seniman NTT, kebetulan saya jadi ketuanya,” kata Gerson.
Tidak itu saja, Gerson juga bercerita pada hari-hari terakhir ini ia sedang berusaha merampungkan sebuah cerpen yang berkisah tentang seorang pengacara pikun. ”Itu karena dia terlalu banyak membela para koruptor. Dan dalam kasusnya itu dia juga ikut makan uang hasil korupsi itu,” katanya. Nanti, katanya, kalau sudah selesai ia akan kabarkan. ”Semalam saya baru tidur pukul enam pagi,” katanya. Kata-kata yang ambigu. Sebab, artinya orang tua ini tidak tidur semalaman untuk menulis.
Anda begitu keras dengan diri sendiri?
Itu biasa bagi saya. Sudah bertahun- tahun dilakukan. Biasanya saya tidur pukul dua dini hari. Tetapi kali ini malah bablas sampai pukul enam.
Sebagai pengarang yang sepuh, bagaimana Anda menjaga agar tidak pikun seperti pengacara dalam cerita Anda nanti itu?
Saya paling benci dengan orang-orang yang brengsek. Apalagi mereka yang suka memukul. Nah, cara saya menjaga agar tidak pikun, ya mengingat orang- orang brengsek itu, ha-ha-ha. Tapi benar, itu dari kecil sudah begitu.

Sampai sekarang Anda masih mengirimkan tulisan-tulisan Anda ke media?
Ya, banyak tulisan yang diminta koran-koran. Walau hidup saya sudah menumpang makan dengan anak, saya tetap masih menerima honor dari tulisan sendiri.
Anda sangat nekat. Berhenti jadi guru, lalu berhenti pula jadi wartawan, semua demi menjadi pengarang?
Kalau saya masih jadi wartawan, terus diburu deadline, mana mungkin saya bisa menulis cerpen, novel, atau esai. Gaji saya dulu cukup besar di Sinar Harapan. Tetapi saya perlu waktu senggang untuk menulis buku. Kalau saya terus menulis di atas roda, karena dikejar-kejar waktu, kapan bisa baca buku filsafat. Ya saya keluar saja.
Apakah hidup keluarga jadi pertimbangan?
Ya, mula-mula hidup dari sangu di Sinar Harapan, terus jual tanah yang dikasih Ali Sadikin. Yang menolong saya majalah Si Kuntjung, saya bisa menulis 10 cerpen anak-anak dalam semalam. Belum terbit sudah dibayar, ditambah lagi dengan menulis di koran dan majalah. Selain itu, saya yakin selalu akan muncul pertolongan. Ini semacam bakat lahir juga, ha-ha-ha.
(Setelah berhenti jadi wartawan, Gerson selalu berkumpul dengan pengarang-pengarang yang lebih muda, seperti Goenawan Mohamad, menunggu rezeki untuk makan dari orang-orang yang dianggap lebih kaya. Terkadang, katanya, tak hanya ditraktir makan, tetapi malah diberi sangu untuk pulang ke keluarga).
Apa sih yang Anda perjuangkan dari mengarang, apakah cuma sekadar untuk hidup?
Hidup ini harus menghidupkan orang lain. Memanusiakan manusia. Kalau ada orang miskin, kita harus cari jalan bagaimana menuntaskan itu. Pengarang tugasnya mencari tools, alat konseptual, filsafat, bagaimana menuntaskan 25 juta pengangguran. Jadi, kita mencari program bangsa. Negeri kita ini kaya. Kaki di bumi subur, tangan di laut kaya, tapi otak di padang pasir. Kita harus sadar bahwa bumi kita subur.
Kalau begitu, apa yang Anda impikan?
Pembangunan harus dilakukan dengan transmigrasi modern. Kita tidak akan lapar lagi. Jangan terlalu percaya perusahaan besar yang cuma menjadikan rakyat desa kuli. Orang desa punya piring raksasa, yakni tanah yang subur.
Jadi ini termasuk tugas pengarang?
Iya. Merangsang supaya orang-orang berpikir kreatif, seperti wartawan cuma dengan ballpoint saja bisa keliling dunia, ha-ha-ha. Terkesan sombong ya? (Gerson juga berhenti jadi wartawan karena mendapatkan beasiswa untuk belajar menulis dalam International Writing Program University of Iowa, Amerika Serikat. Seminggu sebelum kelas resmi dimulai, ia sempat berkunjung ke Hawaii dengan uang cuma 3 dollar di saku. Ia tak habis akal, di Hawaii ia menumpang menginap di flat penulis Budi Darma yang sedang merampungkan gelar doktor. ”Kalau tidak ada juga, saya bisa tidur di kantor polisi mungkin, ha-ha-ha,” katanya enteng).
Anda masih punya obsesi? 
Menulis tentu bukan sekadar ingin dimuat media dan kemudian hidup. Saya ingin Indonesia ini sadar bahwa kita punya kebudayaan begitu kaya. Makanya sejak dulu saya ingin ada desa budaya-desa budaya di seluruh Tanah Air. Masa depan Indonesia itu ada di desa. Saya yakin kalau desa itu hidup, separuh dari penduduk Jakarta ini pulang kampung.
(Semua konsep karya-karya Gerson, katanya, didasari ajaran tat twam asi, aku adalah engkau. Ajaran ini tidak beda dengan konsep memanusiakan manusia. ”Itu juga ada dalam beberapa konsep filsafat Barat. Dengan cara ini, pengarang jadi punya peran dalam pembangunan bangsa, kan?” katanya).
Bagaimana cara Anda memelihara kepekaan sebagai pengarang?
Saya merasa itu tanggung jawab saya dan kebetulan sehat. Bulan Juni ini saya tepat berusia 82 tahun. Saya berterima kasih sama Tuhan, saya perokok berat selama 60 tahun, tetapi tidak kena kanker, kecuali kantong kering tadi, ha-ha- ha. Jadi berhenti merokok sudah sebulan, enak rasanya. Ini dibantu oleh imajinasi masa kecil saya. Di masa kecil saya tidak merokok, tapi senang. Sebagai ucapan terima kasih saya kepada Sang Pencipta karena diberi kesehatan, ya sudah saya berhenti saja merokok.
Anda suka sekali bertualang, apa yang Anda cari?
Ah, itu juga bagian dari memelihara kepekaan. Dan yang terpenting selalu menumbuhkan intuisi kreatif.
Apa itu ya?
Kalau Anda sedang bertualang selalu yakin akan ada jalan untuk hidup, seperti saya ke Hawaii itu, ha-ha-ha. Dulu kalau naik sepeda di Bali saya tak pernah bawa uang, tetapi yakin akan bisa makan. Meme-meme (ibu-ibu) di warung yakin kalau mesin tik saya masih bunyi, berarti saya masih bisa bayar utang lauk dan sayur. Nah, itu karena intuisi kreatif, tak hanya dibutuhkan saat mengarang, tetapi juga sebagai jalan keluar saat hidup buntu. Itu kreatif, ha-ha-ha, dan banyak menyelamatkan saya di perjalanan.
Anda selalu menertawakan hidup Anda rupanya?
Ha-ha-ha, itu yang bikin saya tetap sehat, Bung.
Gerson pamit pergi ke kebun singkong yang jaraknya sekitar 4 kilometer dari Gang H Miun, Depok. Ia ingat sepeda bekas yang dulu pernah dibelinya di Pasar Kreneng, Denpasar. Kini sepeda itu sudah banyak dimodifikasi, bahkan menyerupai model sepeda balap. Sepeda itulah yang kini menemani hari-harinya berkeliling di sekitar Depok. Mungkin sambil mengayuh sepeda itu, imajinasinya berloncatan untuk kemudian tersusun sebagai cerita.
• Lahir: Namodele, Pulau Rote, NTT, 16 Juni 1931
• Pendidikan: SGA Kristen Surabaya, International Writing Program University of Iowa, Amerika Serikat
• Keluarga: Antoneta Saba (istri)
• Anak-anak: 1. Fanny Poyk 2. Frederik Poyk 3. Martin Poyk 4. Ester Poyk 5. Agnes Poyk
• Karya: Hari-hari Pertama (novel), Sang Guru (novel), Cumbuan Sabana (Novel), Oleng Kemoleng (cerpen), Surat-surat Cinta Rajagukguk (cerpen), Di Bawah Matahari Bali (cerpen), Impian Nyoman Sulastri (cerpen)
• Penghargaan: Hadiah Majalah ”Sastra” (1961), Hadiah Majalah ”Horison” (1968), Hadiah Adinegoro (1985 dan 1986), SEA Write Award (1989), Anugerah Kebudayaan Pemerintah RI (2011), Penghargaan Pengabdian Seumur Hidup dari ”Kompas” (2009)

Senin, 06 Oktober 2008

Sultan sebagai Gubernur - Pengukuhan dari Rakyat Yogyakarta - Kompas 7-Okt-08

Sultan sebagai Gubernur
Pengukuhan dari Rakyat Yogyakarta
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Sekitar 1.500 warga dari sejumlah daerah mengikuti sidang rakyat di halaman Gedung DPRD DI Yogyakarta di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Senin (6/10). Mereka mengukuhkan Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY serta menyerukan agar pemerintah segera mengesahkan RUU Keistimewaan DIY.
Selasa, 7 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Yogyakarta, Kompas - Berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Yogyakarta mengukuhkan Sultan Hamengku Buwono X sebagai gubernur dan Paku Alam IX sebagai wakilnya.

Pengukuhan oleh rakyat itu dilaksanakan pada sidang rakyat yang diadakan di halaman Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DI Yogyakarta, Senin (6/10).

Dalam sidang rakyat yang tidak dihadiri Sultan HB X maupun Paku Alam IX itu juga dibacakan sikap politik elemen masyarakat Yogyakarta terkait keistimewaan DIY. Sidang rakyat dihadiri lebih dari 1.500 warga Yogyakarta.

”Kami mengukuhkan kepemimpinan DIY yang bersifat tetap, yakni kepemimpinan dwitunggal Sultan dan Paku Alam sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah setingkat provinsi dengan sebutan setingkat gubernur dan wakil gubernur,” ujar Ketua Paguyuban Lurah dan Perangkat Desa Ismaya DIY Mulyadi saat membacakan sikap politik Gerakan Rakyat Yogyakarta.

”Kami juga mendesak pemerintah dan DPR segera menyelesaikan Undang-Undang Keistimewaan DIY dengan memerhatikan aspirasi masyarakat,” katanya.

Sultan kemarin mengaku masih menunggu keputusan dari pemerintah pusat. ”Bukan masalah bersedia dikukuhkan atau tidak. Harus pemerintah yang memutuskan,” ujar Sultan seusai acara halalbihalal di Kompleks Kantor Gubernur Kepatihan Yogyakarta.

Sultan sudah menerima undangan dari pemerintah pusat dan akan bertolak ke Jakarta untuk menerima keputusan presiden (keppres) tentang perpanjangan masa jabatan Selasa ini.

Sidang rakyat itu juga memperoleh dukungan dari beberapa partai politik, seperti Partai Golongan Karya dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Kemarin, seusai rapat kabinet paripurna di Gedung Utama Sekretariat Negara Jakarta, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa mengatakan, Presiden akan bertemu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa. Sultan dipanggil Presiden untuk membicarakan keppres mengenai perpanjangan masa jabatan HB X sebagai Gubernur DIY hingga 2011.

Pertemuan Presiden dengan HB X merupakan inisiatif Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Menurut Hatta, draf keppres sudah selesai disusun dan akan ditandatangani setelah Presiden berbicara langsung dengan HB X. Dalam keppres itu, masa jabatan HB X sebagai Gubernur DIY akan diperpanjang tiga tahun sejak masa jabatannya berakhir, 9 Oktober 2008.

Kemarin Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono menyebutkan, keistimewaan untuk Yogyakarta tetap ada, tetapi tidak boleh melanggar ketentuan UUD 1945, terutama soal prinsip pemilihan langsung kepala daerah. Kedua hal itu harus dipadukan.

Sebaliknya, Ketua Badan Litbang Partai Amanat Nasional Sayuti Asyathri menekankan, Hamengku Buwono dan Paku Alam jangan sampai diletakkan di luar pemerintahan daerah. (DIK/INU/SIG/ENG/WKM)


dik;inu;sig;eng;wkm

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/07/01523045/sultan.sebagai.gubernur

Satu Kesaksian Pribadi (Pejuang Tentara Pelajar Tidak Lupa Jasa Sultan) - Opini Daoed Joesoef - Kompas 7-Okt-08

Satu Kesaksian Pribadi
Selasa, 7 Oktober 2008 | 00:47 WIB

Oleh Daoed Joesoef

Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan UU No 3 Tahun 1950, yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alaman, bukan atas permintaan Sultan Hamengku Buwono IX maupun warga. Sultan dan warganya mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan RI tanpa pamrih.

Sultan Hamengku Buwono (HB) IX adalah sultan pertama yang mendukung proklamasi kemerdekaan. Kesultanan yang dipimpin merupakan bagian konstitutif NKRI. Hal serupa juga dimaklumatkan Sultan Siak Sri Indrapura (Sumatera Tengah) beberapa hari kemudian.

Kebajikan Sultan Yogya juga ditunjukkan dengan terus melibatkan diri dalam perjuangan menegakkan kedaulatan RI. Di saat-saat krusial, tanpa diminta, Sultan menunjukkan sikap tidak defaitis, misalnya, saat Belanda melakukan aksi militer pertama (Juli-Agustus 47), kedua (19 Desember 48), dan saat PKI memberontak dari Madiun (18 September 48).

Revolusi fisik

Selama revolusi fisik (1946-1949) saya ber-SMA di Yogya, menggabungkan diri pada Tentara Pelajar (TP) Bat. 300. Dalam aksi militer Belanda pertama, pelajar-anggota TP menuju garis depan. Saat berangkat, Sultan—selaku Gubernur Militer—melepas. Sebelumnya, Sultan menerima alamat orangtua anggota TP dari luar Jawa untuk disimpan. Sesudah cease-fire saya kembali ke Yogya, menemui Sultan untuk mengambil alamat orangtua saya, dan alamat orangtua dua teman yang gugur. Saya katakan kepada Sultan, saya sendiri akan mengabarkan berita duka itu bila hubungan pos Jawa-Sumatera sudah pulih karena kami dari Medan.

Dalam aksi militer kedua, Belanda menduduki Yogya. Bung Karno, Hatta, Sjahrir, dan beberapa petinggi lain ditawan, tetapi Sultan tidak. Ketika pimpinan militer Belanda ingin menghadap ke keraton, Sultan menolak. Kalau Belanda nekat masuk keraton, mereka harus melangkahi mayat Sultan lebih dulu. Intelijen Belanda tahu, keraton menjadi tempat bertemu dan berlindung gerilyawan. Dari keraton, Sultan memantau situasi melalui radio.

Setelah tiga kali ditangkap dan ditahan Belanda, saya berhasil lari dan meninggalkan Yogya, apalagi pondokan saya digeledah. Dengan beberapa ”pelajar seberang”, saya menempuh long march ke Jakarta. Yogya tidak lagi memungkinkan perantau mencari nafkah guna membiayai hidup dan sekolah. Sepanjang perjalanan Yogya-Salatiga, penduduk di desa-desa selalu menanyakan keadaan Sultan. Melihat kenyataan ini, kami yakin, seandainya Sultan menyerah dan menerima kedatangan Belanda, saat itu riwayat RI pasti tamat. Minimal, negara tak lagi merdeka, beralih menjadi dominion atau negara boneka.

Selama revolusi fisik, Yogyakarta menjadi ibu kota RI. Saat itu Yogyakarta dipenuhi pengungsi dari berbagai penjuru, pejabat, pegawai sipil, dan militer, laskar perjuangan, warga biasa dan pelajar yang jumlahnya mungkin sama dengan warga asli Yogyakarta. Meski demikian wong Yogya tidak pernah mengeluh jika harus berbagi makanan, fasilitas umum dan ruang, bersedia sama-sama menderita, meneladani sikap rajanya yang tanpa pamrih menawarkan bagian depan keraton, termasuk siti hinggil untuk pendidikan. Pagi untuk SMA, sore hari untuk kuliah mahasiswa Universitas Gadjah Mada.

Manusia idealis

Tanggal 1 Agustus 1973, sepulang dari Paris untuk studi selama sembilan tahun, Bung Hatta mengundang saya ke rumahnya. Pada malam itu, di ruang tamu sudah ada Sultan, yang saat itu menjabat wakil presiden.

Saat itu Bung Hatta menanyai visi saya tentang pendidikan nasional, bukan masalah ekonomi yang juga saya tekuni selama belajar di Sorbonne, Perancis. Pertanyaan itu tak sulit dijawab karena selama studi saya juga menyiapkan konsep pembangunan pendidikan dan kebudayaan serta pembangunan pertahanan dan keamanan nasional. Sultan juga menanyakan konsep pengembangan idealisme, membentuk manusia idealis. Menurut Sultan, kita memerlukan banyak calon pemimpin yang idealis, justru karena Tanah Air kita kaya raya.

Ternyata selain nasionalis, Sultan juga arif, bijak, dan tegas. Ketika dinobatkan sebagai sultan di zaman kolonial (1940), Sultan mengatakan dalam pidato, ”Al ben ik Westers opgevoed, ik ben en blijf Javaan” (meski berpendidikan Barat, saya adalah orang Jawa dan akan tetap Jawa). Saat itu, pernyataan ini dianggap ”revolusioner”.

Sultan juga yang mewakili RI menerima kedaulatan dari Wakil Kerajaan Belanda di Jakarta (Desember 1949). Sultan beberapa kali dipercaya menjabat Menteri Pertahanan setelah penyerahan kedaulatan. Sebagai Menteri Pertahanan Republik Indonesia Serikat (1949-1950)—saat keamanan dan ketertiban amat kacau—Sultan berulang kali pulang balik Jakarta-Yogya, menyetir mobil sendiri, tanpa ajudan atau voorrijder. Dalam salah satu perjalanannya, Sultan pernah memboncengkan perempuan tua yang terseok-seok menggendong dagangannya hingga depan Pasar Beringharjo. Sultan tak mengungkap jati dirinya.

Keistimewaan Yogyakarta

Sesudah Belanda angkat kaki, para pejuang yang selamat sepakat, negara-bangsa memberikan pengakuan yang tulus atas sikap patriotik Sultan dan warga Yogya di masa perjuangan. Pengakuan ini berupa pemberian status keistimewaan bagi daerah Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alaman. Keistimewaan DIY memang dikaitkan kedudukan Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman. Artinya, secara implisit, siapa pun yang menjadi sultan dan paku alam, jabatan gubernur dan wakil gubernur adalah melekat.

Jadi, aneh jika generasi reformis kini justru meragukan kebenaran hakikat pertimbangan para tokoh pejuang 45 dalam memutuskan keistimewaan DIY. Itu tidak hanya kebenaran thok, tetapi kebenaran bernilai sejarah perjuangan, bukan untuk mengukuhkan monarki absolut di Yogya. Meski di bawah raja, pemerintahan daerah ini berjalan demokratis.

Jangan anggap para tokoh tidak tahu soal ketatanegaraan. Mereka tidak kalah terdidik, tidak kurang cerdas dan patriotik daripada para tokoh reformis sekarang. Maka hargailah keputusan mereka. Alih- alih mempertanyakan, sekali lagi tegaskan secara positif keputusan itu. Yang dipertaruhkan bukan hanya martabat Sultan dan Paku Alam dan seluruh warga, tetapi juga intellectual dignity dan political credibility dari pejuang kemerdekaan 45 yang telah memutuskan itu.

Pembentukan DIY bukan hanya masalah hukum dan UU. Ia adalah keputusan bersejarah yang jelas rasionale-nya dalam perjalanan sejarah. Kalaupun pembentukan itu hendak dijadikan masalah hukum/ UU, sebagai produk buatan manusia, ia harus dibuat bersendikan tidak hanya akal, tetapi juga akal budi dan kearifan. Hanya orang yang berbudi yang dapat menghargai budi luhur orang lain.

Daoed Joesoef Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III (1978-1983); Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne


Daoed Joesoef

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/10/07/00470911/satu.kesaksian.pribadi

Minggu, 28 September 2008

Siap Tak Dipandang (Biografi Pater Beek) - Kompas 29-Sep-08 p39

Siap Tak Dipandang (Biografi Pater Beek)
Senin, 29 September 2008 | 03:00 WIB

B JOSIE SUSILO HARDIANTO

Educatio puerorum reformatio mundi.

Mendidik kaum muda adalah mereformasi dunia.

Taman Getsemani pada waktu malam adalah keheningan yang dalam. Perhentian akhir dari peziarahan dan sekaligus tempat istirahat abadi para Yesuit di Indonesia itu, bagi para frater novis Serikat Yesus sering pula menjadi perhentian saat mereka menunaikan tugas jaga malam.

Di depan nisan-nisan para Yesuit yang telah berpulang para muda Serikat Yesus Indonesia itu kerap melewatkan keheningan dini hari dalam doa-doa dan kenangan atas karya para pendahulu. Dalam kenangan dan doa atas mereka yang telah beristirahat kekal tersebut, para pemuda yang baru menapaki jalan panggilan imamat menimba kobaran semangat karya yang berbasis pada Latihan Rohani Santo Ignasius Loyola.

Pada deretan nisan-nisan putih sederhana itu ada nama Nicolaus Driyarkara SJ, seorang filsuf yang saat ini namanya diabadikan sebagaimana nama sekolah tinggi filsafat. Lalu ada nama Josephus Gerardus Beek SJ, biasa dipanggil Pater Beek, tokoh yang tak jarang disebut dengan diam-diam oleh para novis. Mengapa? Salah satu karyanya saat membina anak-anak muda melalui khalwat sebulan (khasebul) kerap dinilai sebagai proses kaderisasi elite, serba rahasia, dan terkesan sembunyi-sembunyi. Selain itu, proses kaderisasi yang digarap dengan menggabungkan latihan fisik yang keras, serba spartan dan latihan doa yang intensif, sempat mengundang banyak reaksi.

Tak jarang yang menolak cara pendekatannya itu mengatakan, Beek adalah penganut Machiavelli. Tentang itu, kadang kebanyakan orang lantas hanya berhenti pada karyanya di khasebul dan menempatkannya sebagai sosok yang keras, tegas, kadang sedikit kasar karena melibatkan hukuman fisik, seperti tamparan.

Karena itu, dengan mudah ia diposisikan pada pribadi yang kontroversial. Tentu saja, bagi yang mengenal atau pernah menjadi anak didiknya, Beek bukanlah seperti itu. Ia mungkin kontroversial justru karena prinsipnya yang tegas, tidak terbawa arus, percaya diri, dan tidak setengah-setengah.

Bagi orang sekelas Beek, ia memang tidak mau menampakkan diri. Keugaharian (asketis) dipegangnya teguh sehingga ia tidak hanyut dalam popularitas. Namanya dikenal, tetapi orang jarang melihat sosoknya. ”Di dunia ini jangan bikin monumen, nanti kamu akan kesulitan kalau mau mati!,” kata Pater Beek.

Jiwanya yang dikobarkan oleh semangat Latihan Rohani Santo Ignasius Loyola telah menempatkannya sebagai garam dalam setiap karya yang ditekuninya. Ketekunan itu membuahkan hasil-hasil unggul, tercetak pada kader-kader binaannya atau melalui pengaruh pemikiran yang dapat mengubah dunia. Setiap orang yang terlibat merasakan, tetapi tak melihat sosoknya dan memang begitulah garam, ada sekaligus juga tidak ada.

Pribadi kritis

Dalam buku biografi yang ditulis oleh JB Soedamanta dan diterbitkan oleh Obor ini, hal-hal yang sebelumnya disebut remang dan penuh kontroversi itu dikupas. Dalam buku setebal 272 halaman itu, Soedarmanto juga memasukkan surat terbuka Pater Beek untuk Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi Indonesia.

Surat itu penuh kritik tajam terhadap kebijakan Presiden Soekarno yang dinilai memberi ruang besar bagi Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan menggunakan nama samaran Dadap Waru, dalam surat bertanggal 5 November 1965 itu ia mendorong agar Bung Karno bersikap tegas terhadap PKI.

Selain pernah berkarya sebagai Kepala Asrama Realino, Pater Beek juga pernah berkarya dan turut mengawali Biro Dokumentasi. Biro Dokumentasi adalah sebuah biro yang didirikan oleh Serikat Yesus Provinsi Indonesia pada tahun 1961 semasa Pater Georgius Kester menjadi Provinsial. Biro itu menyediakan bahan-bahan studi dan analisis keadaan berdasarkan tolok ukur ajaran dan moralitas Katolik agar dapat dipergunakan bagi para aktivis.

Dalam kegiatannya, biro itu menyiarkan dokumen mengenai kebijakan pemerintah dan evaluasi atas berbagai kejadian penting di Indonesia. Apa yang dilakukan Biro Dokumentasi itu kemudian menjadi asupan bagi masyarakat, khususnya umat Katolik di Indonesia, untuk menghadapi perkembangan sosial, politik masyarakat, serta bersikap kritis terhadap pemerintah.

Hal itu ditunjukkan dengan kedekatan Gereja Katolik dengan Bung Karno, tetapi sekaligus berjarak. Partai Katolik, misalnya, berani membentuk Liga Demokrasi dan tidak mendukung Nasakom serta menolak Konsepsi Presiden yang membuka pintu masuk bagi kaum komunis.

Menurut Beek, Gereja Katolik tidak hanya menjadi sumbangan bagi masyarakat, tetapi ia juga berkeyakinan, Gereja juga memiliki prinsip-prinsip yang tepat untuk menghadapi masalah. Menurut dia, kerasulan intelektual sangat penting dan diperlukan saat itu.

Analisis yang dihasilkan Biro Dokumentasi kemudian diedarkan kepada aktivis yang terlibat dalam Front Pancasila dan Sekber Golkar. Biro itu, antara lain, menghasilkan kajian tentang sosialisme yang kemudian mempertemukannya dengan intepretasi gagasan sosialisme yang disodorkan PKI. Dalam buku tentang Pater Beek ini, gagasan dan kajian lain yang dihasilkan Biro Dokumentasi dimasukkan dengan lengkap oleh Soedarmanta.

Namun di sisi lain, dituliskan juga gagasan Pater Beek tentang Katolisitas. Ia berpendapat, keagamaan, dalam hal ini kekatolikan, bukan hanya sebatas agama dan institusi.

Soedarmanta menuliskan, Pater Beek berpendapat bahwa dalam perkara-perkara sosial atau kemasyarakatan sebetulnya ”bendera” Katolik tidak diperlukan lagi karena dalam konteks keindonesiaan, hal itu justru bisa menjadi penghalang kebersamaan.

Disebut penghalang karena dapat membangkitkan ikatan primordialisme, semangat sektarian, dan ideologisasi agama. Akibatnya, orang Katolik tidak harus hanya ”duduk” di partai Katolik (hal 202).

Untuk itu, Pater Beek membebaskan anak didiknya dan kader yang dibinanya untuk memilih partai yang mau menerima dan sesuai dengan aspirasi mereka dan dapat memberi kontribusi terbaik.

Sebelum Golkar muncul, Pater Beek, tulis Soedarmanta, menganjurkan orang-orang Katolik masuk PNI sehingga pada masa itu ada istilah Markatul (Marhaen Katolik). Namun, di bagian lain disebutkan, ketika seorang anak didiknya bertanya pada partai manakah ia harus masuk, Pater Beek menjawab, ”Terserah kamu, pilih sesuai dengan suara hatimu! Itu tugasmu dan bukan tugasku,” kata Beek.

Dalam buku itu juga dituliskan tentang sikap Pater Beek yang amat antikomunisme dan anti-PKI. Sebagai rohaniwan, sikap itu didasari dari ketegasannya pada prinsip bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar kebersamaan sebagai bangsa yang paling masuk akal dan rasional.

Kaderisasi

Namun, sebagai rohaniwan dan pendidik, Pater Beek lebih tertarik dalam pembinaan anak-anak muda. Pada akhir tahun 1966 ia memulai program Khasebul. Pendidikan selama satu bulan itu pada dasarnya adalah pendidikan kerohanian dengan menitikberatkan pada doa dan meditasi, pengenalan situasi konkret masyarakat, dan diperkaya dengan Ajaran Sosial Gereja Katolik (hal 180).

Menurut dia, kader adalah orang yang mampu menggetarkan dunia; merombak keadaan masyarakat dengan kelompok kecil; menjadi tulang punggung masyarakat; atau menjadi inti dalam suatu lingkungan masyarakat. Menjadi kader, berarti menjadi sesuatu yang lain dari yang lain; keranjingan dalam menjalankan apa yang dipikirkan dalam batas-batas yang ditentukan moral dan etika.

Ada militansi, ada sikap mau berbuat lebih, berani merasuk dalam sejarah manusia dan menghadirkan harapan. Landasan iman atas upaya itu adalah jika seseorang merasa menjunjung tinggi cinta kasih sebagai kebajikan tertinggi, tetapi tidak bertindak apa pun di hadapan kekerasan politik dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap sesama warga negara, de facto telah melanggar cinta kasih yang dimuliakannya itu (hal 183).

Untuk mencapai titik tersebut, dalam proses mendidik kader, cara yang digunakan Pater Beek kerap kali mendatangkan kritik. Caranya dan prinsipnya kerap disalahmengerti, bahkan oleh anak didiknya sendiri.

Pater Beek berpendapat, manusia bukan jiwa dan raga, rohani dan jasmani. Manusia adalah penuh jiwa-raga atau roh jasmani.

Dalam ilmu psikologi, tulis Soedarmanto, Pater Beek dekat sekali dengan teori identitas yang dirumuskan oleh JCC Smart. Smart menyatakan bahwa ketangguhan badan itu juga ketahanan jiwa. Orang yang tidak tahan sakit pasti juga akan mudah menyerah bila disakiti.

Tidak mengherankan jika dalam khalwat sebulan, selain latihan rohani, para mahasiswa yang dididik juga memperoleh penggemblengan fisik yang ketat lagi spartan. Ditampar, direndam dalam air dingin, dikerubuti nyamuk dengan tangan dan kaki terikat pada kursi adalah latihan-latihan yang diterapkan Pater Beek terhadap anak didiknya.

Bagi mahasiswa yang mudah marah atau kurang sabar, dilatih sabar dengan mengikat tangan dan kakinya di kursi pada malam hari dan diminta menahan gigitan nyamuk. Setelah satu atau dua jam latihan, si mahasiswa kemudian diajak berefleksi bersama. Namun, ia tetaplah pendidik yang sesungguhnya tidak tahan melihat anak didiknya takut kena hukuman.

Pada prinsipnya, upaya itu merupakan sarana agar setiap mahasiswa yang dilatih mengenal diri dan terbentuk karakter unggulnya. Keunggulan itu bukan semata-mata tahan deraan fisik, lebih dari itu, keunggulan itu ditandai dengan doa dan sikap bakti, asketis serta berdisiplin tinggi, memiliki sikap dan berani, tetapi sekaligus penuh empati. Seolah ia memang sengaja ingin menandai anak didiknya sebagaimana ia ingin menandai namanya big dalam bahasa Inggris yang berarti besar, tidak tanggung-tanggung dan bukan beek dalam bahasa Belanda yang berarti anak sungai.

”Menjadi kader berarti menjadi sesuatu yang lain dari yang lain; Keranjingan dalam menjalankan apa yang dipikirkan dalam batas-batas yang ditentukan moral dan etika,” kata Pater Beek.

Anak Amsterdam

Josephus Gerardus Beek lahir di Amsterdam, Negeri Belanda, pada tanggal 12 Maret 1917. Ciri khas orang Amsterdam yang blakblakan, suka terus terang dan ekspresif, sedikit terkesan arogan menjadi ciri khas Beek pula.

Beek lahir sebagai bungsu dari empat bersaudara. Ia lahir ketika Perang Dunia I meletus. Setelah masuk ke Serikat Yesus dan menjadi novis tahun kedua, ia dikirim ke Indonesia.

Sejak anak-anak ia dididik di Kolese yang dikelola oleh Imam-imam Yesuit. Sejak anak-anak pula itu dididik untuk tidak bersikap setengah-setengah. Beek muda sejak awal tergembleng dalam lingkungan pendidikan Yesuit yang memadukan antara humanisme dan religiositas.

Ketika menjadi novis, semangat mudanya dikobarkan dengan gairah pergi ke tanah misi, Hindia Belanda, yang sekaligus secara politis adalah tanah jajahan di bawah Pemerintah Kerajaan Belanda, negerinya. Ketika Jepang menduduki Indonesia, Pater Beek pernah menghuni kamp interniran.

Dalam buku ini, kisah di kamp itu juga menjadi ilustrasi pembentukan diri Beek yang spartan. Setidaknya, pengalaman itu menguatkan gagasannya dalam menggembleng mahasiswanya. Dan karena itu buku ini layak dibaca bukan karena semata-mata tokohnya yang masih kerap dianggap kontroversial dan penuh misteri, tetapi buah-buah rohani dari Latihan Rohani yang adalah dasar dari sikap dan pilihan perbuatan yang mengobarkan jiwa Pater Beek serta anak didiknya.

Menjadi garam adalah asin dan siap untuk melebur hilang dan tak dipandang, tetapi selalu terasa.


B JOSIE SUSILO HARDIANTO

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/09/29/01283290/siap.tak.dipandang

Senin, 22 September 2008

Kemandirian Sediono MP Tjondronegoro - Kompas 21-Sep-08

Kemandirian Sediono MP Tjondronegoro
Minggu, 21 September 2008 | 03:00 WIB

Ninuk Mardiana Pambudy & Maria Hartiningsih

Indonesia adalah negeri penuh ironi. Negeri ini sering dipuji sebagai kaya raya, tetapi rakyatnya lapar tanah, terlihat dari sengketa tanah di berbagai daerah antara rakyat dengan usaha pertambangan, hak pengusahaan hutan, atau perkebunan.

Model pembangunan kita tidak dimulai dengan membereskan modal yang paling pokok, yaitu bumi, air, dan angkasa, seperti diamanatkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,” kata Prof Dr Sediono MP Tjondronegoro (80) di kediamannya di Bogor, Jumat (12/9) pagi.

Sepanjang karier akademisnya di Institut Pertanian Bogor dan setelah pensiun, Sediono selalu konsisten menyumbangkan pikirannya pada ilmu sosiologi, terutama menyangkut pertanian dan perdesaan.

Usia tidak menyurutkan langkahnya terus menyumbangkan pikiran, antara lain melalui lembaga nonpemerintah Akatiga dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Sediono menekankan, kemiskinan sebagian rakyat disebabkan pengabaian pada sektor pertanian dan perdesaan yang masih menjadi tumpuan lebih separuh penduduk Indonesia. Pembangunan lebih memberi tekanan pada produksi, tetapi melupakan pelakunya, yaitu petani kecil.

”Padi Super Toy HL2 contoh usaha mencari produksi lebih tinggi, tetapi tidak mengurus siapa yang menanam, siapa yang punya tanah, atau apakah yang menanam punya tanah atau tidak,” kata Sediono.

Begitu juga urbanisasi. Meskipun urbanisasi proses alamiah, tetapi sebagian besar orang pergi dari desa mencari kerja ke kota tanpa bekal ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan memadai sehingga di kota menimbulkan masalah sosial.

”Urbanisasi jadi begitu karena mereka ke kota bukan ditarik oleh industri atau teknologi maju,” tambah Sediono.

Setali tiga uang adalah perginya perempuan-perempuan desa menjadi buruh migran. ”Saya kok merasa tidak etis keinginan pemerintah menaikkan pengiriman tenaga kerja kita ke luar negeri. Bagaimana akibat sosialnya? Ini berbeda dengan India yang mengirimkan orang ke luar negeri karena kepandaiannya; mereka berpendidikan, menguasai teknologi,” tandas Sediono.

Kemandirian

Sebagai orang yang ikut berperan dalam pembentukan Indonesia, termasuk dalam perjuangan kemerdekaan 1945, Sediono merisaukan semakin rendahnya kemandirian Indonesia dalam mengelola sumber daya alam.

Hal itu bukan hanya merugikan rakyat petani, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik yang dapat menjadi anarki. Sediono meyakini, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) harus dilaksanakan untuk kesejahteraan dan keselamatan Indonesia.

”Pendidikan tambah maju, orang bertambah pintar, orang akan lebih sadar dan berorganisasi. Jiwa globalisasi adalah maju, kemerdekaan, hak yang sama, sangat demokratis. Kalau itu tidak terjadi, saya tidak bisa bayangkan akibatnya,” Sediono mengingatkan.

Pertanian masih penting?

Menurut saya, ya. Pertanian masih dasar dari pembangunan. Sekarang pertanian semakin penting karena pemanasan global. Eropa beralih ke biofuel (bahan bakar nabati). Untuk itu perlu tanah dan mungkin juga dari laut. Akhirnya tanah dijadikan perkebunan untuk biofuel karena hasilnya lebih tinggi. Di situ kita tergiur. Oke, tanam sawit saja. Akan tetapi, maaf, dengan modal sebagian besar dari luar.

Bagaimana ini? Kita mau tergantung kepada orang lain atau mau mandiri? Sumber daya alam dijual begitu saja. Tidak diproses di Indonesia. Penyulingan minyak bumi di Singapura. Di Freeport, dan saya sudah sampai di sana, tembaga dan emas mentah yang dinaikkan ke kapal. Yang tersisa tailing yang meskipun sudah ditangani tetap ada yang masuk ke sungai, mematikan ikan dan pohon di hutan.

Dulu Bung Hatta membikin komisi untuk inisiasi UUPA karena mau mandiri. Kita sudah mengalami eksploitasi oleh perkebunan Belanda, terutama di Jawa Barat.

Artinya, dijajah lagi?

Jangan-jangan kita memang lebih senang cari gampangnya karena tanah kita terlalu subur.

Termasuk menggampangkan dengan impor saja pangan?

Persis. Dan kalau itu terjadi di tingkat pimpinan, masya Allah….

Tahun 1945 saya sudah terlibat dalam suasana mau mandiri. Bung Karno, Hatta, dan Syahrir mau mandiri karena kita kaya.

Sekarang kekayaan itu diberikan dengan gampang sehingga nanti kalau kekurangan beras harus impor. Meskipun kita juga mengekspor, tetapi mengimpor dengan harga lebih mahal.

Petani dirugikan?

Jelas. Saya pernah menulis untuk ISEAS Singapura tahun 1978. Bukan saya anti kepada Revolusi Hijau. Waktu itu kita kekurangan pangan, jadi memilih produk yang dapat menumbuhkan padi dengan cepat dan banyak. Ir Siregar, ahli padi kita, menemukan banyak jenis padi, tetapi yang diproduksi padi dari International Rice Research International (IRRI) di Filipina.

Kita memang swasembada pangan, tetapi akibatnya pemilik tanah yang luas dapat menghasilkan padi dan memperoleh pendapatan lebih banyak. Bantuan dari pemerintah juga ada untuk membeli pupuk. Namun, yang semakin banyak adalah yang tanahnya mengecil dan usaha tani tidak lagi menguntungkan mereka. Akibatnya, petani dengan lahan kurang dari 0,5 hektar (ha) tidak ikut kemakmuran Revolusi Hijau, malah kadang-kadang utang.

Konsisten

Tanggal 24 September diperingati sebagai Hari Agraria dan itu mengingatkan kembali pentingnya mendengarkan tuntutan petani atas tanah, terutama bila dikaitkan dengan krisis pangan global, masalah lingkungan, dan perintah UUD 1945 untuk memanfaatkan bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

”Kalau mau merata betul, kembali pada UUPA. Petani diberi luasan tanah cukup, minimal 2 ha dan maksimal 5 ha untuk Jawa. Tidak cukup hanya dengan Panca Usaha Tani. Kalau mayoritas penduduk sudah kecukupan pangan dan kita bikin industri, yang tidak kerasan di pertanian silakan pindah,” kata Sediono.

Dia mengkritik pembangunan pertanian yang seperti abai pada kenyataan lebih banyak orang yang menggantungkan diri pada sektor itu daripada lahan yang tersedia. Kesannya, pemerintah lebih peduli pada peningkatan produksi hasil pertanian daripada kesejahteraan petaninya.

Sejak tahun 1960 pemerintah telah membuat kajian dan peraturan untuk pelaksanaan UUPA karena menyadari masalah tanah yang semakin kompleks dan dapat menghambat pembangunan. Pada tahun 1977, Presiden Soeharto meminta Prof Sumitro Djojohadikusumo dan Widjojo Nitisastro mengevaluasi situasi pertanahan.

”Kebetulan saya menjadi sekretaris eksekutif Pak Mitro dan Pak Widjojo,” kata Sediono. ”Hasil evaluasi dipakai Menteri Pertanian Soedarsono Hadisapoetro untuk menjelaskan posisi Indonesia dalam World Conference on Agrarian Reform and World Development di Roma tahun 1979 yang masih mendasarkan pada UUPA dan akan memperbaiki. Dalam praktik, tidak terjadi apa-apa.”

Tahun 2001 lahir Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang menugaskan pelaksanaan reformasi agraria. Tahun 2006 lahir Perpres Nomor 10 yang menetapkan UUPA tidak diamandemen dulu dan awal 2007 Presiden berjanji memulai reforma agraria (land reform) dengan membagikan 8,15 juta ha tanah kepada masyarakat dengan kriteria khusus.

”Akan dimulai dengan percobaan 400.000 ha, kebanyakan di luar Jawa supaya tidak timbul konflik karena penduduk di Jawa padat. Sampai sekarang tidak terjadi apa-apa,” kata Sediono seraya mengingatkan pada janji kampanye Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004 untuk melaksanakan reformasi agraria.

”Mungkin counter forces-nya terlalu besar,” tambah Sediono. ”Menjelang (Pemilu) 2009 saya duga tidak akan terjadi apa-apa. Saya juga lihat tidak satu pun calon presiden bicara mengenai reforma agraria.

”Lalu, pilihan kita tinggal menjadi tidak mandiri, menjual SDM dalam bentuk TKI, apa itu? Kalaupun tidak terjajah seperti dulu, kita jadi bangsa yang tergantung, tidak mandiri.”

”Kalau mau langkah konkret, Presiden dan presiden yang akan datang melaksanakan usulan Program Pembaruan Agraria Nasional tahun 2007, yaitu pembagian tanah 8,15 juta ha itu. Harus ada pemetaan untuk menentukan di mana, kapan, berapa luas, dan bagaimana tata guna tanahnya.


Ninuk Mardiana Pambudy dan Maria Hartiningsih

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/09/21/01103560/kemandirian.sediono.mp.tjondronegoro

Sediono MP Tjondronegoro - Ilmuwan "Plus" - Kompas 21-Sep-08

Ilmuwan "Plus"
Minggu, 21 September 2008 | 03:00 WIB

Sejak sang istri, Dr Puspa Dewi Tjondronegoro—biasa disapa Bu Pin oleh para mahasiswa—meninggal dunia delapan tahun lalu pada usia 56 tahun, Sediono Tjondronegoro hidup sendiri di rumahnya.

”Tadinya saya kira saya yang duluan karena saya lebih tua,” ujar Pak Tjondro.

Dua anak laki-lakinya sudah menikah dan tinggal di kota lain. Meski demikian, Pak Tjondro tak pernah kesepian. Ia masih terus bekerja, pergi ke lapangan, membantu organisasi nonpemerintah yang fokusnya pada masalah agraria dan kemiskinan, serta mengajar dan terus menulis.

Di kalangan ilmuwan dan aktivis muda, Pak Tjondro dikenal sebagai guru dan ilmuwan yang konsisten dengan prinsip kerakyatan. Tak heran apabila ulang tahunnya yang ke-80 dirayakan meriah oleh anak didiknya. Tiga buku tentang pemikiran Pak Tjondro dan biografinya diluncurkan pada perayaan itu. ”Saya cuma diminta hadir,” kata dia.

Noer Fauzi, aktivis masalah agraria, kandidat PhD dari Universitas Berkeley, Amerika Serikat, mendefinisikan Pak Tjondro sebagai ”ilmuwan plus”.

Pak Tjondro matang oleh berbagai bentuk perjuangan. Pada perang kemerdekaan, ia berjuang di garis depan, sampai jari tangan kirinya cacat kena pecahan mortir. Ia ”militan” memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat melalui kerja keilmuan, merumuskan kebijakan, dan pendampingan masyarakat.

Ia menolak masuknya politik dalam kerja keilmuan, karena ilmu harus memberi sumbangan bagi perbaikan siapa pun, tanpa sekat ras, golongan, agama, kelompok, atau jender.

Saling terkait

Pak Tjondro dilahirkan sebagai anak ketiga dari empat bersaudara anak pasangan Sutiyoso Sosrobusono—setelah menjadi Bupati Semarang tahun 1949 namanya menjadi Sutiyoso Tjondronegoro—dan Sumilah. Keluarga Tjondronegoro memiliki hubungan keluarga dekat dengan RA Kartini.

Sebagai ilmuwan, Pak Tjondro memahami tradisi ilmu di Eropa dan Amerika Serikat. Ketika di Belanda, ia dipilih menjadi asisten sosiolog terkemuka Belanda, Prof Wertheim. Di Wisconsin, Amerika Serikat, ia tidak aktif dalam organisasi mahasiswa, tetapi ikut demonstrasi menentang alumni dari universitas itu yang melamar kerja di Dow Jones, perusahaan kimia pembuat bom napalm untuk perang Vietnam. Padahal beasiswanya saat itu didapat dari bantuan Amerika Serikat (USAID).

Ia berpandangan ilmu sosial hanya relevan dan berkembang bila mampu memahami masalah di masyarakat, harapan rakyat, adat istiadat, dan kebahagiaan mereka. Oleh karena itu, diperlukan pengalaman langsung untuk terjun ke tengah masyarakat.

Ia juga teguh pada pendapat bahwa ilmu-ilmu sosial harus didudukkan dengan ilmu alam, karena interaksi manusia erat berkaitan dengan lingkungan alam. Pemikiran lintas dan multidisiplin ini dijiwai teori kesalingterkaitan (interconnectedness). Dalam buku biografinya, ia menyatakan terkesan pada pandangan ilmuwan fisika, Fritjof Capra, dalam buku The Turning Point: Science, Society and the Rising Culture (1982).

Sumbangan pemikirannya sangat berarti agar negeri ini tak terjajah untuk kedua kalinya. Kita berutang kalau tidak melanjutkannya! (MH/NMP)


mh;nmp

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/09/21/01095420/ilmuwan.plus

Jumat, 19 September 2008

"Devide Et Impera" atas Hubungan China-Jawa - Kompas 19-Sep-08 p46

"Devide Et Impera" atas Hubungan China-Jawa

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pengusaha batik Lasem Sigit Witjaksono berdiri di beranda depan rumahnya.
Jumat, 19 September 2008 | 03:00 WIB

Jika ingin melihat akulturasi budaya menyejukkan yang bertahan hingga kini, tengoklah Lasem, sebuah kota kecil di Jawa Tengah dan juga Cirebon di Jawa Barat. Percampuran antarsuku, ras, hingga budaya memberi warna lain pada dua kota di pesisir pantai utara Jawa ini.

Batik dan bangunan khas yang dipengaruhi budaya Tionghoa masih bisa ditelusuri di kedua kota tersebut. Batik asal Cirebon terkenal dengan motif megamendung yang diyakini diperkenalkan oleh Ong Tian Nio, istri Sunan Gunung Jati yang berasal dari Negeri Campa (China). Di Lasem, batik tradisional dengan warna khas merah merupakan perpaduan unsur budaya Jawa, Tionghoa, dan Belanda.

Bahkan di Lasem, hubungan Tionghoa-Jawa teramat cair. Penandanya adalah munculnya kongco (subyek pemujaan diposisikan sejajar dengan orang yang dihormati, leluhur, dan dewa-dewa di klenteng) Jawa, yaitu Panji Margono yang dihormati warga Tionghoa sampai saat ini.

Jeremy Wijaya, pengamat sejarah Tionghoa di Cirebon sekaligus penulis buku Budaya Etnis Tionghoa Cirebon, mengatakan, hubungan etnis China dengan pribumi Jawa sejak ratusan tahun lampau sebenarnya terjalin harmonis.

Menurut Jeremy, bangsa Tionghoa masuk ke Cirebon diperkirakan pada abad ke-8 dengan ditandai berdirinya Klenteng Tiao Kak Sie di dekat Pelabuhan Cirebon saat ini. Gelombang kedatangan warga Tionghoa kedua terjadi pada abad ke-15, ditandai dengan terbentuknya kampung pecinan pada tahun 1415 yang didirikan oleh anak buah Laksamana Cheng Ho yang singgah di pelabuhan Muara Jati, Cirebon.

”Sejak itu, percampuran budaya sudah ada dan berkembang karena terjadi perkawinan silang maupun hubungan sosial lainnya. Salah seorang panglima anak buah Laksamana Cheng Ho adalah Muslim Tionghoa, yang dikenal dengan nama Wai Ping atau Kung Wu Ping. Beliau diyakini giat dalam kegiatan syiar agama Islam di Cirebon,” kata Jeremy.

Bibit pecah-belah

Namun, bibit perpecahan dan perseteruan muncul ketika Belanda meniupkan politik pecah belah (devide et impera) dengan tujuan agar tidak ada persatuan di antara kedua etnis yang diyakini bakal membahayakan kedudukan imperialis Belanda kala itu di Nusantara.

”Adu domba ini terlihat sekali dari pembagian tugas. Pekerjaan yang enak-enak diserahkan kepada orang Tionghoa, sedangkan orang-orang Jawa dapat tugas berat,” kata Njo Tjoen Hian (79), tokoh Tionghoa Lasem yang memiliki nama Indonesia Sigit Witjaksono.

Penelusuran Peter Carey, yang dituangkan dalam bukunya berjudul Orang China, Bandar Candu Tol, Candu, dan Perang Jawa (2008), memberi penekanan memburuknya hubungan Tionghoa-Jawa didorong pula posisi Tionghoa yang memegang cukai (pacht) candu dan jalan tol. Pacht jalan tol yang diserahkan VOC kepada sejumlah warga Tionghoa menyengsarakan rakyat karena membuat biaya perjalanan dan pengangkutan menggelembung.

Pajak gerbang tol, pajak pasar, dan biaya pengangkutan sudah menambah harga satu muatan beras 240 kati (148 kilogram) sebesar 50 persen untuk perjalanan sejauh 60 kilometer. VOC hanya menyerahkan kuasa, sedangkan pembangunan gerbang tol dilakukan orang Tionghoa yang memegang pacht itu. Pajak jalan tol ini disetorkan kepada VOC.

Stigma negatif terhadap komunitas Tionghoa oleh orang-orang Jawa juga muncul dari persepsi Pangeran Diponegoro pada masa Perang Jawa (1825-1830). Wanita Tionghoa dicap sebagai penyebab sejumlah kekalahan pasukan Diponegoro dan iparnya, Sasradilaga. Hal ini tertulis dalam Serat Babad Diponegoro Maskumambang XXXIII, ”China ing Lasem sedaya, mapan sampun sumeja manjing agami, Den Sasradilaga dadya supe weling aji anjamahi Nyonyah China pan punika ingkang dadi marganeki apes juritira” (Carey: 2008).

Jeremy menambahkan, secara lebih lugas, Belanda dengan politik devide et impera-nya membagi strata sosial di wilayah jajahannya mirip pembagian kasta. Strata tersebut dibagi menjadi strata atas terdiri dari kaum Eropa, strata dua warga Tionghoa, Arab, dan warga pendatang. Warga pribumi digolongkan dalam strata ketiga atau kasta terendah.

”Warga Tionghoa tidak diperkenankan masuk ke dunia politik dan pemerintahan, tetapi mereka dipercaya mengelola perdagangan. Tetapi perlakuan penjajah pun tak jauh beda. Mereka memungut pajak 20 gulden dari setiap kegiatan perdagangan,” kata Jeremy.

Perbedaan strata itu memicu kecemburuan sosial yang berujung pada konflik terbuka. Perang pecah pada tahun 1808. Saat itu, Pangeran Raja Kanoman melancarkan pemberontakan kepada Belanda. Pemberontakan itu pun dapat diredam karena bocornya informasi penyerangan terhadap Belanda. Akan tetapi, kejadian ini diyakini sempat menghambat program Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels kala itu yang sedang membangun Jalan Raya Anyer-Panarukan.

”Belanda menggunakan kesempatan itu untuk mengadu domba warga Tionghoa dan Jawa guna melemahkan kekuatan keduanya. Maka disebutlah orang Tionghoa yang membocorkan rahasia, padahal tidak,” kata Jeremy.

Kini, setelah 200 tahun berlalu, perbedaan suku sebenarnya sudah tidak lagi bisa dilacak. Warga yang disebut penduduk asli mungkin adalah warga keturunan Tionghoa yang datang pada gelombang pertama. Adapun gelombang berikutnya pun sudah menyatu dengan penduduk asli lewat ikatan perkawinan. Jika ada yang masih membedakan suku, tentunya masih terpengaruh politik Belanda yang sudah dilekatkan berabad-abad lamanya.(aci/gal/nit/naw/nel)


aci;gal;nit;naw;nel

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/09/19/01442252/devide.et.impera.atas.hubungan.china-jawa