Kamis, 15 Mei 2008

Kompas 16-Mei-08: Syafiq dan Mimpi Keberagaman

Syafiq dan Mimpi Keberagaman
Jumat, 16 Mei 2008 | 03:00 WIB

Oleh CM Rien Kuntari

Ia baru menyadari berasal dari keluarga miskin saat merantau ke Yogyakarta. Di kota ini, ia dihadapkan pada kenyataan, kelonggaran ekonomi kawan-kawan yang tak dimanfaatkan semestinya. Di sinilah titik balik hidupnya berawal. Titik balik itu pula yang melibatkannya dalam gerakan reformasi 1998.

Syafiq Alielha, begitu ia menuliskan namanya. Namun, kadang tertulis dengan Syafi’ atau Savic. Sejak dilahirkan pada 1974 hingga tahun 1993, ia tak pernah merasa miskin. Keluarga orangtuanya dengan lima anak bisa dikatakan berkecukupan.

Ayahnya, almarhum Ali Hamdan, adalah guru madrasah dengan usaha sampingan warung kelontong, sedangkan Karsi, sang ibu, guru sekolah dasar. Mereka mampu mengirim Savic belajar ke Yogyakarta.

Savic yang sejak kecil nyantri di Madrasah Mathali’ul Falah asuhan KH Sahal Mahfudz, Rais Aam Nahdlatul Ulama (NU), pada 1993 memutuskan kuliah di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga. Ia pun menjadi pemuda pertama dari kampung halamannya, Tayu, yang kuliah.

Di kota inilah ”ketenangan” hatinya terusik. ”Tahun 1993 saya mendapat uang saku Rp 40.000 sebulan, sementara teman-teman ada yang mendapat kiriman Rp 150.000 per bulan,” ujarnya.

”Secara ekonomi mereka diberi kelebihan, tetapi tidak berbuat apa-apa,” lanjutnya.

”Sejak itu, saya baru merasa berasal dari keluarga miskin dan kampung saya berada di bawah garis kemiskinan,” sambungnya.

Kondisi itu mendorongnya terus mencari jawaban. Pergumulannya dengan berbagai buku dan majalah Prisma membuat dia menemukan jawaban mengapa kampung halamannya miskin. Pemiskinan bukan semata-mata karena ketidakmampuan atau kemalasan individu, melainkan secara struktural, oleh negara.

Dalam arti, negara menjauhkan masyarakat dari akses dan sarana yang memungkinkan mereka terbebas dari kemiskinan. Ia mencontohkan sulitnya akses pendidikan.

”Jadi, kalau ada orang yang bodoh, itu bukan semata-mata karena bodoh, melainkan bodoh secara struktural,” katanya.

Titik balik

Pergaulannya di IAIN membawa titik balik dalam hidup Savic. Realitas itu menjadi motivasi terbesar yang membuatnya keluar dari bayang-bayang santri tradisional. Ia bermetamorfosa menjadi bagian dari generasi yang ia istilahkan sebagai ”hibrida”.

”Di IAIN pula frame saya tentang agama lain berubah. Dari sebelumnya cenderung paranoia terhadap agama lain, saya menjadi lebih terbuka. Di sini pengaruh Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) sangat signifikan. Gagasan pribumisasi Islam yang diwartakan Gus Dur membuka mata kami, bagaimana semestinya Islam diterapkan di Indonesia. Tanpa sosok Gus Dur, sulit membayangkan saya dan generasi muda NU umumnya bisa memiliki frame pluralistik seperti sekarang,” tuturnya.

Pemahaman tentang pluralisme itu membuatnya keluar dari lingkaran santri tradisional. Ia tak lagi hanya berkeinginan memperdalam pemahaman agama, melainkan tertarik pada sosiologi, filsafat, dan studi kultural. Tahun 1996 ia meninggalkan IAIN dan hijrah ke Jakarta. Dia memilih Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara.

”Di STF saya menemukan suasana yang terbuka, tanpa memandang agama. Saya merasa agama tidak menjadi dinding pemisah buat mereka,” jelasnya.

Ia mengaku, pilihannya itu sempat membuat sang ibu khawatir pada kemungkinan Savic pindah agama.

”Tetapi belakangan, setiap kali pulang kampung, beliau selalu ngingetin untuk nyelesain kuliah, tanpa peduli lagi anaknya kuliah di sekolah calon pastor. Beliau percaya dan menyadari bahwa kekhawatirannya selama ini lebih merupakan paranoia semata. Namun, paranoia seperti itulah yang tampaknya menghinggapi sebagian besar masyarakat kita sehingga cenderung curiga terhadap masyarakat agama lain,” lanjutnya.

Pemahaman itu membuat Savic semakin berasyik-masyuk dengan pluralisme. Hal itu semakin kental kala ia bergabung dengan Forkot maupun Famred. Di matanya, Forkot maupun Famred adalah contoh ideal bagi Indonesia karena bisa menjadi tempat bersatunya anak muda tanpa membedakan suku maupun agama.

Alasan itu pula yang membuat dia melibatkan diri secara penuh pada gerakan reformasi 1998. Namun, keasyikan itu kembali membuatnya tak mampu menyelesaikan kuliah di Driyarkara.

Keberagaman

Ia mengakui, gerakan 1998 yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa itu belum menuai hasil. Lebih dari itu, upaya itu bahkan berkembang jauh dari yang dibayangkan. Ia tidak menampik kenyataan, reformasi justru melahirkan oligarki baru.

Mungkin bukan mengada-ada jika ia berharap Indonesia mampu berbuat seperti Rusia. Tepatnya, tindakan Presiden Rusia Vladimir Putin menangkap oligarch Mikhael Khodorkovsky, bos perusahaan minyak kedua terbesar di Rusia, Yukos. Di mata Savic, langkah itu merupakan usaha Putin menasionalisasi aset pengusaha korup.

”Indonesia tentu bisa melakukan ini,” ujarnya.

Terlepas dari harapan itu, ia kini benar-benar berusaha mendorong lahirnya blok sosial-politik baru di Indonesia. Satu kekuatan sosial-politik yang disandarkan pada nilai-nilai kebangsaan, keberagaman atau kebhinnekaan, dan keadilan.

”Saya prihatin dengan tendensi fundamentalis yang berkembang beberapa tahun belakangan ini. Menurut saya, itu akan menghancurkan ikatan tali kita sebagai bangsa,” tegasnya.

Ia mengaku tidak akan meninggalkan NU. Terbukti ia tetap aktif memajukan masyarakat NU. Tahun 1996-1997 ia menjadi reporter tabloid Warta NU, membantu Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan saat ini ia adalah Wakil Ketua Lajnah Ta’lif wan Nashr atau Lembaga Pengkajian dan Penelitian NU.

”Saya ingin teman-teman tidak meninggalkan intensitas di kelompok asalnya. Saya ingin mereka tetap di sana (NU, Muhammadiyah, Katolik, maupun abangan), kemudian saling menyambungkan sehingga terajut hubungan antarkelompok yang lebih kuat,” ujar Savic.

Dia kini membuka usaha penerbitan buku bertajuk Fresh Book. Ia juga bercita-cita menjadikan toko buku on-line miliknya, Khatulistiwa.net, semacam Amazon-nya Indonesia.

Diakui, pilihan hidupnya sering membuat jantung Ibunda tercinta berdebar-debar. ”Tetapi, untung semua baik-baik saja,” ujarnya sambil tertawa.

Namun, satu yang terus ia ingat. Nasihat sang Ibu. Urip ning rantau sing ati-ati. Golek mangan ora usah aneh-aneh. Urip sing ora mbarokahi ora usah dilakoni.” (Hidup di rantau berhati-hatilah. Tidak usah aneh-aneh ketika mencari makan, dan hidup yang tak membawa berkah tidak perlu dijalani).

Ia yakin, mengejar mimpi tentang keberagaman, membangun kembali Indonesia dalam semangat dan nilai-nilai kebangsaan serta keadilan, adalah hidup yang membawa berkah.

Senin, 12 Mei 2008

Kompas 12-Mei-08: Suatu Bangsa Unggul karena SDM, Bukan SDA

Suatu Bangsa Unggul karena SDM, Bukan SDA
Senin, 12 Mei 2008 | 01:32 WIB

Jakarta, Kompas - Kemajuan suatu bangsa tidak ditentukan dari seberapa kaya sumber daya alamnya, tetapi mutu sumber daya manusianya. Pengembangan mutu sumber daya manusia tidak lain melalui pendidikan.

Demikian, antara lain, disebut mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad pada wisuda sarjana Universitas Pancasila di Jakarta, Sabtu (10/5).

Atas kesadaran akan pendidikan, Malaysia, yang pada tahun 1960-an banyak mengirim guru dan pelajarnya ke Indonesia untuk belajar, mengalokasikan 25 persen anggaran belanja negara bagi sektor pendidikan. ”Mereka yang sadar peranan pendidikan dan fokus pada bidang-bidang penting bagi kemajuan bangsa lambat laun akan menjadi bangsa maju,” kata Mahathir yang ditemani istrinya, Siti Hasmah binti Haji Mohamad Ali, dan didampingi Siswono Yudo Husodo, Ketua Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila.

Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh suatu bangsa menentukan keunggulan budaya dan masa depan negara. Pengabaian pendidikan berbuah kemunduran dan kegagalan.

Menjelang berakhirnya pemerintahan Mahathir, Malaysia mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam dan Matematika dalam bahasa Inggris sebab kedua ilmu itu lebih efektif bila dipelajari dalam bahasa tersebut.

Beberapa negara Asia, yaitu Jepang, Korea, dan China, tumbuh menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan dunia produknya ditiru. Menurut dia, bangsa mana pun berpeluang maju berdasarkan mutu pendidikan. ”Banyak cerdik pandai Malaysia dan Indonesia sumbang kejayaan negara-negara maju,” ujarnya. (GSA)

Kompas 9-Mei-08: Panggilan Kebersahajaan Huzna Zahir

Panggilan Kebersahajaan Huzna Zahir
KOMPAS/EDDY HASBY / Kompas Images
Jumat, 9 Mei 2008 | 00:33 WIB

Agnes Aristiarini

”Pilihlah pekerjaan yang engkau suka, maka engkau takkan pernah bekerja sehari pun sepanjang hidupmu.” Konfusius (551-479 SM), filsuf China

Tidak banyak yang berubah dalam keseharian Huzna Gustiana Zahir. Dua puluh tahun di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia—dari menguji sampel hingga menjadi Ketua Pengurus Harian YLKI sekarang—ia masih suka berangkat dan pulang kerja dengan angkutan umum kopaja.

Memang ritual itu tak lagi persis sama setahun terakhir setelah YLKI mendapat pinjaman mobil operasional. ”Karena takut hilang, mobil dititip di rumah. Jadilah aku ke kantor dan pulang dengan mobil itu,” kata Huzna.

Angkutan umum tetap jadi pilihan manakala ia ada acara atau menjadi pembicara di tempat yang terkena three in one. ”Aku tak mau cari joki karena menurutku itu melanggar aturan.”

Hari-harinya pekan ini disibukkan dengan artikel untuk menyambut ulang tahun ke-35 YLKI, diperingati setiap 11 Mei. Di luar itu, pekerjaan di YLKI kurang lebih sama: menerima pengaduan konsumen, survei, meneliti, advokasi, dan memberdayakan masyarakat.

Pekerjaan perjuangan

YLKI memang identik dengan perjuangan hak konsumen. Namun, menjalankan YLKI adalah perjuangan lain. Keterbatasan dana—dari lembaga donor dan proyek kerja sama—membuat tak leluasa beraktivitas. ”Kami sangat selektif memilih kegiatan,” papar Huzna.

Akibatnya YLKI terkesan hanya merespons persoalan. Padahal, ada banyak hasil advokasi yang dinikmati publik meski sebagai inisiator nama YLKI jarang terdengar, seperti kompensasi listrik. Ketika pemerintah rutin menaikkan tarif dasar listrik, YLKI menggugat ketidakadilan terhadap konsumen yang terus membayar. Mana kewajiban produsen pada konsumen?

Lewat perjuangan panjang, keputusan presiden (2002) mengenai tarif dasar listrik akhirnya memuat pasal standar mutu pelayanan. Kalau tak bisa memenuhi, PLN harus membayar kompensasi kepada konsumen. Implementasinya antara lain jumlah maksimal kesalahan pencatatan meter, lama pemadaman, dan frekuensi pemadaman.

YLKI sebenarnya belum puas karena biaya kompensasi kecil. ”Tetapi, dalam kasus listrik, yang dirugikan biasanya komunitas, bukan individu, jadi total kompensasi tetap besar. Itu kan hukuman juga,” kata Huzna.

Di kantor-kantor pelayanan listrik yang baik, standar ini ditempel. ”PLN pernah membayar kompensasi kepada penduduk desa kecil di Jawa Tengah senilai Rp 197 juta,” papar Indah Suksmaningsih, Ketua Pengurus Harian YLKI periode sebelumnya, yang menemani berbincang, bersama Daryatmo, pengurus harian YLKI.

Keberhasilan lain adalah adanya pusat layanan di bandara seperti di Denpasar dan sebentar lagi di Surabaya. ”Paling tidak kami bisa ’mendidik’ pelaku usaha bertanggung jawab terhadap produknya. Perkara tak puas dan kembali ke YLKI, itu soal lain,” ujar Huzna.

Perjalanan karier

Jalan hidup menuntun karier Huzna. Masuk Teknologi Pangan IPB karena sang bapak ingin ia menjadi ahli pangan, garis nasibnya berbelok menjelang praktik kerja saat bertemu Zaim Saidi, kakak kelasnya di IPB yang sudah di YLKI. Iming-iming ada banyak uji produk membuat Huzna magang di YLKI. Setelah lulus pun ia sering diminta bantu-bantu, akhirnya para pengurus bilang ”sudah kerja di sini saja”.

Mengawali karier sebagai staf peneliti, ia sempat menangani Warta Konsumen sebelum mendapat beasiswa Overseas Training Office ke Amerika Serikat. ”TOEFL-nya 630 lho,” kata Indah.

Setelah menyelesaikan S-2 studi komunikasi dan pembangunan, Huzna diangkat menjadi sekretaris eksekutif pengurus harian. ”Sempat sih terpikir, ah kalau pulang mau coba ke televisi swasta. Tetapi ya itu, begitu kembali ke YLKI tak kepikiran lagi untuk pindah,” katanya.

Padahal, sudah menjadi ketua dengan masa kerja 20 tahun, gajinya Rp 2.150.000. Itu gaji kedua tertinggi di YLKI setelah Indah, dengan selisih Rp 20.000. ”Aku dibesarkan dalam keluarga yang biasa-biasa saja, jadi tak ada tuntutan untuk mencari lebih,” tuturnya.

Ayahnya, dokter penyakit dalam yang meninggal pada 1995, mewariskan rumah di Jalan Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta. Huzna dan kedua adiknya menemani sang ibu tinggal di situ. Setiap tahun ia mengajukan surat permohonan keringanan membayar pajak bumi dan bangunan, yang tak terjangkau oleh janda pensiunan.

”Di rumah tak ada pembantu, jadi aku juga menyapu dan mengepel. Kalau baju, nyuci dan setrika sendiri-sendiri.”

Di YLKI ia harus memikirkan 25 karyawan dengan gaji pokok terendah Rp 400.000 dan uang transpor Rp 30.000 sehari. Tak jarang ia mendapat ”surat cinta” minta kenaikan gaji. ”Tetapi teman-teman juga tak bisa marah lama-lama, ketuanya saja naik kopaja,” komentar Daryatmo.

Huzna tak berani menaikkan gaji karena pasokan dana tak pasti. ”Yang bisa aku lakukan adalah membagi rata sisa uang setiap pertengahan tahun. Mau sopir, staf, ketua, jumlahnya sama besar,” katanya. Tunjangan hari raya juga sama besar.

Demi pemerataan pula, staf YLKI yang jadi pembicara, diwawancarai stasiun televisi, atau dimuat tulisannya di media menyetor 20-45 persen honornya ke kas YLKI. Upaya lain adalah program jaminan pemeliharaan kesehatan sejak 2002, disusul asuransi jaminan hari tua.

Selalu ada jalan

Keperluan jaminan kesehatan terasa ketika Huzna dideteksi menderita kanker payudara, tahun 1998. ”Aku masih beruntung, dioperasi murid bapakku yang membebaskan biaya ini-itu. Waktu kemoterapi, dokternya juga tanya dulu, diganti kantor tidak biayanya? Begitu tahu asuransi pun tak punya, aku diberi obat kemoterapi yang murah,” katanya.

Sekarang ia masih menjalani pemeriksaan rutin, termasuk uji laboratorium. ”Mahal sih, bisa Rp 400.000-Rp 600.000 sekali periksa. Tetapi ya jalani saja.”

Tak muncul keinginan untuk bekerja di tempat yang lebih menjanjikan. ”Mana tega pindah ke industri pangan, yang sering aku bongkar kejahatannya....”

YLKI adalah hidupnya. Meski kadang jengkel melihat keadaan, perasaan itu luluh ketika datang pikiran, ”Kalau bukan kita, lalu siapa?”

Rasa frustrasi biasanya terobati bila perjuangan berhasil. Tak ada tanda jasa, tetapi selalu ada perasaan, ”Itu dulu karena kita.”

Kebahagiaan kecil-kecil lain membuat Huzna betah di YLKI: bersama para dosennya di IPB membahas produk dengan posisi setara, diundang seminar ke luar negeri, atau saat reuni.

Kalau masih ada mimpi, ”Idealnya YLKI hidup karena dukungan konsumen. Perlu dipikirkan cara masyarakat konsumen berkontribusi dan bagaimana sebaliknya YLKI menunjukkan tanggung jawabnya.”

Begitulah pilihannya, termasuk tetap menulis Huzna dengan huruf z. Banyak saran mengganti dengan s, karena artinya dalam bahasa Arab beda sekali. Huzna berarti kesedihan, Husna berarti yang terbaik. ”Nama itu dari orangtua. Kalau pakai s rasanya bukan aku,” jawabnya.

Menjalani kebersahajaan dengan kesukaan membuat Huzna—juga Daryatmo dan Indah—bertahan. Kata Konfusius, mereka memang tidak bekerja.

Minggu, 11 Mei 2008

Provinsi Louser Antara - NKRI Terpecah sesuai Garis Etnis?

Provinsi Louser Antara - NKRI Terpecah sesuai Garis Etnis?

Imam Soeseno dari Takengon

Ngobrol-ngobrol sambil nyeruput kopi di Takengon, saya sempat nyerempet membahas umbul-umbul (banner?) yang banyak terlihat di pagar jalan atau di atas jalan di kota Takengon. Beberapa sempat saya jepret, yang ada di Jl Sengeda, sepotong jalan protokol di Takengon. Semua hampir sama, 'Provinsi Louser Antara - Adalah Jiwa, Raga dan Darah Kami'.

Menurut nara sumber, yang kebetulan orang asli Takengon, mereka merasa:

  1. Mereka orang Gayo, yang berbeda atau bukan orang Aceh (maksudnya orang-orang di sekitar/di luar Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah, pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah).
  2. Orang Gayo sejak dulu selalu (merasa) didiskriminasi oleh orang Aceh (terutama elit politik di Banda Aceh), apalagi mereka termasuk minoritas di Aceh.
  3. Aceh Tengah selalu tidak terurus karena rentang kendali yang terlalu jauh dari Banda Aceh.
Yang jadi pikiran saya, dan ini juga dirasakan beberapa suku di Sumatera Selatan, dimana saya dibesarkan, apakah nantinya provinsi-provinsi atau kabupaten-kabupaten akhirnya akan didirikan berdasar garis etnis? Contoh-contoh lain, beberapa kabupaten di Sumatera Selatan, di Sulawesi Utara, dan di Maluku (termasuk provinsi-provinsi baru di Maluku dan di Jawa Barat). Apakah ketika otonomi semakin jauh, perpecahan NKRI tidak lagi terhindar? Eropah sudah mengikuti pola ini, walau pada akhirnya, mulai menyatu kembali dalam bentuk European Union?

Selamat pagi, Republik!

Kamis, 01 Mei 2008

Kompas 2-Mei-08: Nelly Nurila, Bangkit dari Keterpurukan


Nelly Nurila, Bangkit dari Keterpurukan
Jumat, 2 Mei 2008 | 00:40 WIB

MAHDI MUHAMMAD



Gempa dan tsunami di Aceh, Desember 2004, tak hanya membuat banyak orang kehilangan jiwa dan harta benda. Banyak korban yang juga kehilangan semangat untuk meneruskan kehidupan. Nelly, salah satu di antaranya. Tsunami membuat usahanya, pabrik Nusa Roti, musnah.

Semangat untuk memulai kembali kehidupan dari nol didapat Nelly Nurila dari orang-orang tercinta. Semua itu membuatnya mampu bangkit kembali dari keterpurukan.

”Berbekal berbagai dokumen yang menyatakan usaha saya sehat, tetap saja saya tidak mendapat bantuan modal dari bank. Saya tidak akan pergi ke sana (bank) lagi,” kata Nelly (33), penggerak pabrik roti Nusa Indah di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, beberapa waktu lalu.

Dia lalu berkisah, tsunami membuat loyang usaha keluarganya tersebar di mana-mana. ”Mixer yang dulu kami pakai ditemukan sekitar 500 meter dari rumah, di kaki bukit,” katanya.

Keluarga besarnya terpaksa mengungsi di penampungan yang dibangun lembaga donor internasional di sekitar tempat tinggal mereka. Sampai sekitar tiga bulan setelah tsunami, Nelly tak banyak bergerak dari barak pengungsi. Ayah dan adiknya bahkan harus menjalani perawatan di Pulau Jawa.

”Dia (ayahnya) stres, beberapa penyakit kambuh selama sesudah tsunami,” katanya.

Keluarganya bisa dikatakan tak punya uang pascabencana itu. Selama beberapa bulan, untuk biaya hidup, sebuah lembaga swadaya internasional memberikan uang gaji sebesar Rp 35.000 per hari bagi warga yang membantu membersihkan puing-puing rumah dan barang lain.

Selama itu pula, dia bersama suaminya, Mukhlis Ismail, serta dua anaknya pergi-pulang antara rumah dan barak pengungsian untuk membersihkan puing di sekitar rumah mereka.

”Uang itu (gaji mereka membersihkan puing) nantinya menjadi modal usaha,” katanya.

Meski awalnya dia sempat enggan membangun kembali usaha roti milik keluarga, dorongan dari suami dan keluarga membuatnya berubah pikiran. ”Suami saya tak henti-henti mengingatkan untuk mulai berusaha lagi,” katanya.

Dibantu Mukhlis, Nelly lalu memulai usaha dengan berjualan nasi bungkus. Makanan itu laris dibeli para pekerja kemanusiaan di sekitar wilayah Lhok Nga. Melihat respons yang bagus, ia lalu menambah dagangannya dengan penganan kecil.

”Kami juga memasarkan makanan di sekolah-sekolah yang sudah beroperasi. Dari sini modal pun semakin terkumpul sedikit demi sedikit,” ujar Mukhlis.

Membangkitkan semangat

Melihat tabungan mulai berisi, Nelly dan Mukhlis lalu berusaha kembali mengumpulkan peralatan untuk membuat roti. Sisa lumpur yang masih menempel dibersihkan. Alat elektronik yang rusak pun diperbaiki.

”Saya kembali memulai usaha seperti pertama dulu membuat roti, pertengahan 2001. Bedanya, kalau dulu resep itu tercatat, sekarang saya harus bisa mengingat-ingat saja dan harus rajin mencoba,” katanya.

”Ternyata sambutannya cukup baik, banyak orang suka roti buatan kami,” tuturnya. Apalagi ketika sebuah perusahaan tepung terigu membuat program pengembangan usaha bagi para korban tsunami, Nelly kembali belajar membuat roti.

Terkumpulnya modal dan pengetahuan yang dia dapatkan dalam kursus menguatkan tak hanya semangat hidupnya, tetapi juga jiwa usaha Nelly. Ia lalu membeli peralatan dan bahan pembuat roti.

”Bulan September 2005 usaha membuat roti saya mulai lagi, kecil-kecilan saja. Hari pertama saya hanya membuat 60 bungkus roti,” ceritanya. Beberapa lembaga donor melihat semangatnya dan mereka membantu Nelly dalam bentuk barang.

”Saya makin percaya diri. Saya minta warga desa membantu membuat roti. Biar usaha ini berkembang dan mereka juga terbantu (secara ekonomi),” katanya. Ayahnya yang sakit pun kembali bersemangat melihat usaha Nelly. Tanpa diminta, sang ayah, Baharuddin Ganda (59), ikut mengantarkan roti ke warung-warung di sekitar kota Banda Aceh.

Sekitar 18 bulan kemudian, usahanya mulai menunjukkan hasil signifikan. Kalau awalnya dia hanya mampu membuat 60 bungkus, pada 2008 ini usaha Nelly yang diberi nama Nusa Indah itu bisa menghasilkan 15.000 bungkus roti per hari.

Menonton televisi

Sekarang usaha Nelly bisa dikatakan sudah berjalan. Sebelum tsunami datang, pabrik Nusa Roti milik keluarganya menghasilkan 3.000 bungkus roti yang dipasarkan di Banda Aceh.

”Saya sebenarnya tak pernah kursus membuat roti. Dari dulu pun saya membuat roti dengan cara mencoba-coba. Keluarga dulu yang mencoba, kalau enak, baru dibagikan kepada tetangga,” katanya.

Mengapa memilih usaha roti? Sebab, Baharuddin bekerja sebagai tukang mengantar roti milik sebuah perusahaan. Melihat peluang itu, Nelly awalnya mencoba membuat kue basah. Dia menitipkan kue basah buatannya kepada Baharuddin untuk dipasarkan juga.

”Tetapi, kue basah seperti donat, risoles, dan tahu isi itu tak tahan lama. Jadilah roti menjadi pilihan utama untuk menggantikan kue basah,” katanya.

Nelly tak ingat lagi berapa lama dia ”jatuh bangun” mencoba membuat roti hanya berdasarkan resep yang pernah dicatatnya di buku tulis. Resep itu dia dapatkan dari acara masak-memasak di TVRI.

Sekitar pertengahan 2001 barulah Nelly berani menjual roti buatannya. ”Saya mulai membuat dan mengedarkan sekitar 80 bungkus roti dengan tiga rasa. Bapak membantu mengedarkan ke warung-warung bersama roti produksi perusahaan lain yang memang sudah menjadi barang bawaannya,” kenangnya.

Lama-kelamaan justru roti buatan Nelly yang lebih disukai orang. Maka, Baharuddin lalu tak lagi membawa roti produk perusahaan lain. Ia hanya memasarkan produk anaknya yang diberi nama Nusa Roti.

”Untuk membuat 3.000 bungkus roti, saya dibantu empat orang (karyawan),” katanya menceritakan kondisi usahanya sebelum tsunami datang.

Namun, gempa dan tsunami telah merenggut semua usaha yang sudah dia rintis dengan susah payah. Bisa dikatakan seluruh modal dan harta milik keluarga Nelly musnah dalam sekejap.

Sekarang Nelly memang telah berhasil bangkit dan bisa kembali mengelola usaha roti yang selama bertahun-tahun telah menjadi tumpuan hidup keluarganya. Akan tetapi, bagaimanapun, peristiwa 26 Desember 2004 itu sebenarnya tak seluruhnya bisa lepas dari ingatan....