Jumat, 19 September 2008

"Devide Et Impera" atas Hubungan China-Jawa - Kompas 19-Sep-08 p46

"Devide Et Impera" atas Hubungan China-Jawa

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pengusaha batik Lasem Sigit Witjaksono berdiri di beranda depan rumahnya.
Jumat, 19 September 2008 | 03:00 WIB

Jika ingin melihat akulturasi budaya menyejukkan yang bertahan hingga kini, tengoklah Lasem, sebuah kota kecil di Jawa Tengah dan juga Cirebon di Jawa Barat. Percampuran antarsuku, ras, hingga budaya memberi warna lain pada dua kota di pesisir pantai utara Jawa ini.

Batik dan bangunan khas yang dipengaruhi budaya Tionghoa masih bisa ditelusuri di kedua kota tersebut. Batik asal Cirebon terkenal dengan motif megamendung yang diyakini diperkenalkan oleh Ong Tian Nio, istri Sunan Gunung Jati yang berasal dari Negeri Campa (China). Di Lasem, batik tradisional dengan warna khas merah merupakan perpaduan unsur budaya Jawa, Tionghoa, dan Belanda.

Bahkan di Lasem, hubungan Tionghoa-Jawa teramat cair. Penandanya adalah munculnya kongco (subyek pemujaan diposisikan sejajar dengan orang yang dihormati, leluhur, dan dewa-dewa di klenteng) Jawa, yaitu Panji Margono yang dihormati warga Tionghoa sampai saat ini.

Jeremy Wijaya, pengamat sejarah Tionghoa di Cirebon sekaligus penulis buku Budaya Etnis Tionghoa Cirebon, mengatakan, hubungan etnis China dengan pribumi Jawa sejak ratusan tahun lampau sebenarnya terjalin harmonis.

Menurut Jeremy, bangsa Tionghoa masuk ke Cirebon diperkirakan pada abad ke-8 dengan ditandai berdirinya Klenteng Tiao Kak Sie di dekat Pelabuhan Cirebon saat ini. Gelombang kedatangan warga Tionghoa kedua terjadi pada abad ke-15, ditandai dengan terbentuknya kampung pecinan pada tahun 1415 yang didirikan oleh anak buah Laksamana Cheng Ho yang singgah di pelabuhan Muara Jati, Cirebon.

”Sejak itu, percampuran budaya sudah ada dan berkembang karena terjadi perkawinan silang maupun hubungan sosial lainnya. Salah seorang panglima anak buah Laksamana Cheng Ho adalah Muslim Tionghoa, yang dikenal dengan nama Wai Ping atau Kung Wu Ping. Beliau diyakini giat dalam kegiatan syiar agama Islam di Cirebon,” kata Jeremy.

Bibit pecah-belah

Namun, bibit perpecahan dan perseteruan muncul ketika Belanda meniupkan politik pecah belah (devide et impera) dengan tujuan agar tidak ada persatuan di antara kedua etnis yang diyakini bakal membahayakan kedudukan imperialis Belanda kala itu di Nusantara.

”Adu domba ini terlihat sekali dari pembagian tugas. Pekerjaan yang enak-enak diserahkan kepada orang Tionghoa, sedangkan orang-orang Jawa dapat tugas berat,” kata Njo Tjoen Hian (79), tokoh Tionghoa Lasem yang memiliki nama Indonesia Sigit Witjaksono.

Penelusuran Peter Carey, yang dituangkan dalam bukunya berjudul Orang China, Bandar Candu Tol, Candu, dan Perang Jawa (2008), memberi penekanan memburuknya hubungan Tionghoa-Jawa didorong pula posisi Tionghoa yang memegang cukai (pacht) candu dan jalan tol. Pacht jalan tol yang diserahkan VOC kepada sejumlah warga Tionghoa menyengsarakan rakyat karena membuat biaya perjalanan dan pengangkutan menggelembung.

Pajak gerbang tol, pajak pasar, dan biaya pengangkutan sudah menambah harga satu muatan beras 240 kati (148 kilogram) sebesar 50 persen untuk perjalanan sejauh 60 kilometer. VOC hanya menyerahkan kuasa, sedangkan pembangunan gerbang tol dilakukan orang Tionghoa yang memegang pacht itu. Pajak jalan tol ini disetorkan kepada VOC.

Stigma negatif terhadap komunitas Tionghoa oleh orang-orang Jawa juga muncul dari persepsi Pangeran Diponegoro pada masa Perang Jawa (1825-1830). Wanita Tionghoa dicap sebagai penyebab sejumlah kekalahan pasukan Diponegoro dan iparnya, Sasradilaga. Hal ini tertulis dalam Serat Babad Diponegoro Maskumambang XXXIII, ”China ing Lasem sedaya, mapan sampun sumeja manjing agami, Den Sasradilaga dadya supe weling aji anjamahi Nyonyah China pan punika ingkang dadi marganeki apes juritira” (Carey: 2008).

Jeremy menambahkan, secara lebih lugas, Belanda dengan politik devide et impera-nya membagi strata sosial di wilayah jajahannya mirip pembagian kasta. Strata tersebut dibagi menjadi strata atas terdiri dari kaum Eropa, strata dua warga Tionghoa, Arab, dan warga pendatang. Warga pribumi digolongkan dalam strata ketiga atau kasta terendah.

”Warga Tionghoa tidak diperkenankan masuk ke dunia politik dan pemerintahan, tetapi mereka dipercaya mengelola perdagangan. Tetapi perlakuan penjajah pun tak jauh beda. Mereka memungut pajak 20 gulden dari setiap kegiatan perdagangan,” kata Jeremy.

Perbedaan strata itu memicu kecemburuan sosial yang berujung pada konflik terbuka. Perang pecah pada tahun 1808. Saat itu, Pangeran Raja Kanoman melancarkan pemberontakan kepada Belanda. Pemberontakan itu pun dapat diredam karena bocornya informasi penyerangan terhadap Belanda. Akan tetapi, kejadian ini diyakini sempat menghambat program Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels kala itu yang sedang membangun Jalan Raya Anyer-Panarukan.

”Belanda menggunakan kesempatan itu untuk mengadu domba warga Tionghoa dan Jawa guna melemahkan kekuatan keduanya. Maka disebutlah orang Tionghoa yang membocorkan rahasia, padahal tidak,” kata Jeremy.

Kini, setelah 200 tahun berlalu, perbedaan suku sebenarnya sudah tidak lagi bisa dilacak. Warga yang disebut penduduk asli mungkin adalah warga keturunan Tionghoa yang datang pada gelombang pertama. Adapun gelombang berikutnya pun sudah menyatu dengan penduduk asli lewat ikatan perkawinan. Jika ada yang masih membedakan suku, tentunya masih terpengaruh politik Belanda yang sudah dilekatkan berabad-abad lamanya.(aci/gal/nit/naw/nel)


aci;gal;nit;naw;nel

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/09/19/01442252/devide.et.impera.atas.hubungan.china-jawa

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda