Rabu, 27 Agustus 2008

Ada Intervensi Asing di Penyusunan UU Migas - Kompas 28 Agustus 2008 p3

Ada Intervensi Asing di Penyusunan UU Migas
USAID Alirkan 21,1 Juta Dollar AS atau Rp 200 Miliar
KOMPAS/SUTTA DHARMASAPUTRA / Kompas Images
Pengamat perminyakan, Kurtubi (kanan) dan Wahyudin Yudiana Ardiwinata, mengucapkan sumpah sebagai saksi ahli sebelum menyampaikan keterangan kepada Panitia Angket Dewan Perwakilan Rakyat tentang kenaikan harga bahan bakar minyak. Pengambilan sumpah dilakukan rohaniwan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Abdul Gafur di Gedung Nusantara III DPR, Rabu (27/8).
Kamis, 28 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Panitia Angket Bahan Bakar Minyak Dewan Perwakilan Rakyat menemukan fakta baru. Saksi ahli yang dihadirkan menduga ada intervensi asing dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas.

Pengamat perminyakan Kurtubi menyampaikan keyakinannya itu pada sidang Panitia Angket yang berlangsung tertutup di Gedung Nusantara II DPR, Rabu (27/8).

Sidang menghadirkan dua saksi ahli. Selain Kurtubi, pengamat perminyakan Wahyudin Yudiana Ardiwinata juga memberi keterangan. Sebelum memberikan keterangan, keduanya disumpah lebih dulu. Sidang dipimpin Ketua Panitia Angket Zulkifli Hasan dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).

Keyakinan Kurtubi itu dikuatkan panitia angket dari PAN, Dradjad Wibowo. Seusai mendengarkan pandangan Kurtubi, Dradjad yang juga seorang ekonom menyerahkan sejumlah dokumen yang dimilikinya.

Dokumen yang diserahkan itu adalah Program Reformasi Sektor Energi yang diambil dari situs USAID. Di sana disebutkan bahwa USAID membiayai perbantuan teknis dan pelatihan (technical assistance and training) dalam mengimplementasikan UU Migas, Kelistrikan, dan Energi Geotermal.

Dalam dokumen itu juga tertulis, ”These laws were drafted with USAID assistance (UU ini dirancang dengan bantuan USAID).”

Dana yang dialirkan USAID untuk pembahasan UU Migas dan turunannya, selama kurun waktu 2001-2004, adalah 21,1 juta dollar AS atau sekitar Rp 200 miliar.

Namun, ke mana saja dana itu mengalir, menurut Zulkifli, Panitia Angket belum bisa memastikannya. ”Dana itu dikeluarkan ke mana-mana. Kami belum dapat,” ujarnya kepada pers.

Konseptor harus dipanggil

Seusai sidang, Kurtubi juga menegaskan kembali keyakinannya itu saat ditemui pers. Menurut dia, inefisiensi tata kelola minyak saat ini adalah dampak dari UU Migas No 22/2001. ”Inisiator UU Migas itu dari International Monetary Fund lewat letter of intent. IMF mengharuskan Indonesia mengubah UU Migas-nya. IMF menyodorkan UU Migas. Jadi, pasti ada intervensi asing,” ujarnya.

Atas dasar itu, Kurtubi juga merekomendasikan Panitia Angket segera merombak UU Migas No 22/2001 dan memanggil semua pejabat yang terlibat dalam penyusunan UU itu.

”UU Migas itu konseptornya pasti orang Indonesia juga. Mungkin, beliau-beliau itu masih ada di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Pertamina, atau tempat lain,” ungkapnya.

Pejabat yang harus dipanggil itu adalah Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, Kepala BP Migas sejak Rachmat Sudibyo sampai sekarang, Direksi Pertamina, serta Tim Konseptor UU Migas dan Tim Penjualan LNG Tangguh.

Mafia perminyakan juga harus diberantas karena mereka ini yang menyebabkan inefisiensi BBM nasional, terutama dalam manajemen impor.

Menurut Zulkifli, saksi ahli juga menyebutkan bahwa pihak yang paling diuntungkan dari adanya UU Migas No 22/2001 ini adalah para trader minyak. (sut)

Sabtu, 09 Agustus 2008

Bukan untuk Cari Uang (Prof Margono Slamet) - Kompas 10-Aug-08 p1

Bukan untuk Cari Uang
Minggu, 10 Agustus 2008 | 01:38 WIB

Prof Dr Margono Slamet lulus dari Institut Pertanian Bogor—waktu itu masih bernaung di bawah Universitas Indonesia—tahun 1961 sebagai dokter hewan. Akan tetapi, pendidikan S-2 dan S-3 serta kemudian guru besarnya di bidang penyuluhan pembangunan.

Dalam buku Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan, dia menulis, banting setir yang dia lakukan tidak tanggung-tanggung. Dari ilmu eksakta kedokteran hewan yang ditekuni tujuh tahun ke bidang baru yang tergolong ilmu sosial. Namun, kegiatan sehari-hari mengajar ilmu penyuluhan dan kegiatan pengabdian masyarakat membuat Margono akrab dengan ilmu baru tersebut.

Sampai kini pun, meski telah pensiun, dia masih mengajar dan membimbing mahasiswa program S-3 di Institut Pertanian Bogor (IPB).

”Kalau tidak mengajar nanti saya malah cepat mati,” guraunya di rumahnya di kompleks perumahan Bogor Baru, Bogor, Jawa Barat. ”Honornya tergantung jumlah mahasiswa. Kalau jumlah mahasiswa ada 15 orang dalam satu kelas, honornya bisa Rp 1,5 juta per semester, 16 kali mengajar. Saya bukan orang yang bisa cari uang dengan mengajar sehingga mengajar bukan untuk mencari uang.”

Sesekali mantan Dekan Fakultas Peternakan IPB dan kemudian Rektor Universitas Lampung tersebut masih diminta menjadi pembicara dalam seminar di luar kota. Namun, waktu luangnya selalu diisi dengan membaca buku berbagai topik, tetapi bukan novel.

”Sudah lewat masa saya membaca novel,” kata Margono yang namanya kerap ditulis HR Margono Slamet. ”Orang sering menuliskan nama saya dengan HR, itu singkatan dari haji dan raden karena nama saya di akta kelahiran memakai kata raden. Tetapi, saya sendiri tidak pernah menggunakan HR itu.”

Di antara berbagai bacaan, yang dia usahakan untuk tidak absen membaca setelah salat magrib adalah hadis Nabi Muhammad. ”Isi hadis lebih membumi karena menyangkut apa yang dilakukan Nabi dalam kehidupan sehari-hari,” jelas Margono.

Dalam menjalani kehidupan, termasuk kehidupan beragama, Margono mengaku menerima keberagaman dan tidak menghendaki keseragaman. Agama, demikian kakek sembilan cucu dari empat putrinya itu, adalah urusan kepercayaan yang merupakan hak individu.

”Kalau membaca sejarah Islam, ada bermacam aliran dan mazhab. Yang justru saya pertanyakan, kenapa ada kelompok yang tidak mau menerima keberagaman. Tetapi, memang di mana-mana perbedaan agama potensial menimbulkan konflik,” kata suami Rumsari yang orang Bogor. (NMP)

Margono Slamet dan Pembangunan Manusia - Kompas 10-Aug-08 p12

Margono Slamet dan Pembangunan Manusia
Minggu, 10 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Ninuk Mardiana Pambudy

Setahun terakhir Indonesia dihadapkan pada tingginya harga hampir semua bahan pangan, sesuatu yang belum pernah terjadi. Meskipun pemerintah mengadakan benih gratis, pupuk bersubsidi, dan kredit, tetap saja terdengar keluhan di sana-sini.

Benih palsu beredar, pupuk tak sampai sasaran, kegagalan panen karena hama dan penyakit atau kekeringan, hingga yang paling menyedihkan, saat panen petani tidak mendapat harga jual produknya seperti dijanjikan pemerintah.

Belum lagi masalah kesehatan dan pendidikan yang menentukan kualitas manusia. Laporan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Program Pembangunan Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun 2007/2008 memperlihatkan Indonesia berada pada posisi ke-107 dari 177 negara, di bawah Sri Lanka (99) dan Filipina (90), dan menempatkan Indonesia pada kelompok negara dengan pembangunan manusia menengah.

Membangun manusia tak semudah membangun infrastruktur fisik. Hasilnya tidak instan seperti yang seolah dapat dicapai melalui bantuan langsung tunai. Padahal hakikat pembangunan nasional adalah membangun manusia Indonesia untuk keuntungan manusia Indonesia.

Membangun manusia dengan meningkatkan partisipasinya dalam pembangunan pula yang membuat Prof Dr Margono Slamet (74) menghabiskan lebih dari separuh usianya untuk pengembangan dan penerapan ilmu penyuluhan pembangunan.

Ketika dia memulai karier sebagai pengajar di Institut Pertanian Bogor (IPB), penyuluhan merupakan ilmu baru. Penyuluhan adalah upaya mengubah perilaku masyarakat yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap ke arah yang diinginkan dan lebih baik.

”Hampir semua bidang kehidupan kita bisa maju karena penyuluhan kepada masyarakat. Pertanian sudah jelas, tetapi juga kesehatan, pendidikan, sampai politik.,” papar Margono Slamet.

Dia menggagas lahirnya Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB pada tahun 1975, salah satu program studi pascasarjana tertua di Indonesia. Pada tahun 1980 dia menjadi guru besar ilmu penyuluhan pembangunan dan sebagai Ketua Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional (2003-2008) ikut melahirkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.

Pilihan cerdas

Margono Slamet menyebutkan, pembangunan pada dasarnya adalah meningkatkan kualitas masyarakat. Dalam pengertian kualitas, bukan hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi membangun manusianya untuk ikut menyumbangkan masukan (input) dan sekaligus membangun manusia yang dapat memanfaatkan dan menikmati hasil pembangunan.

”Masyarakat harus dibangun untuk memanfaatkan, mencari, dan menuntut pembangunan,” kata Margono. ”Jangan hanya dibuatkan jalan, tetapi juga dibangun kesadaran untuk memanfaatkan jalan tersebut dengan benar. Begitu juga dengan jamban, sekolah, atau puskesmas. Sarana itu dibangun di mana-mana, tetapi banyak sekolah tidak punya murid, puskesmas tidak dimanfaatkan, dan jamban tidak dipakai. Itu antara lain karena masyarakat tidak dibangunkan kesadarannya tentang manfaat sarana yang dibangun itu.”

Kebutuhan masyarakat dalam dunia yang berubah saat ini juga semakin kompleks. Dalam kehidupan sehari-hari mereka kerap memerlukan bimbingan yang mereka tidak tahu harus mencari ke mana.

”Mahasiswa (S-3) saya penelitian di daerah pantai di Jawa Tengah. Di sebuah desa, kepala desa minta dibantu cara pengelolaan keuangan keluarga. Nelayan tidak selalu kekurangan uang. Saat musim ikan, penghasilan ada yang dapat Rp 1 juta sekali mendarat. Tetapi, karena tidak tahu bagaimana mengelola, penghasilan yang susah payah didapat itu dihabiskan untuk hal-hal tidak produktif,” jelas Margono.

Ketidakmampuan mengelola keuangan menyebabkan kebanyakan nelayan tidak mampu memupuk modal, bahkan tetap terjerat kemiskinan dan utang. Ketika tak bisa melaut karena musim, mereka berutang. Begitu juga pada petani ketika musim tanam.

”Intinya, memberdayakan masyarakat untuk bisa memilih secara cerdas apa yang dibutuhkan dengan memberi alternatif pilihan. Membantu memperlihatkan ada cara lain untuk mencapai apa yang diinginkan sehingga masyarakat bisa mengambil pilihan yang dianggap paling tepat. Jadi, masyarakat bukan tidak mau berubah, tetapi berubah menjadi seperti apa. Perubahan itu tidak bisa dipaksakan dan dibiarkan berjalan sendiri.”

Partisipasi masyarakat

Dalam tulisannya di buku Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan (2003), Margono menyebutkan, syarat agar masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan adalah ada kesempatan ikut dalam pembangunan, ada kemampuan memanfaatkan kesempatan itu, dan ada kemauan berpartisipasi.

Bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat yang dikecewakan janji-janji pemimpin dan wakil mereka di legislatif dari dari pusat hingga daerah?

Beri kesempatan masyarakat terlibat dalam proses itu, tetapi itu tidak bisa dilakukan secara massal melainkan dibangun dengan pengelompokan.

Harus ada stimulasi dan kesempatan bagi masyarakat membentuk kelompok sesuai kesamaan kebutuhan dan tidak dipaksakan. Dulu kesempatan itu memang tidak terlalu diberikan. Untuk berkumpul saja perlu izin.

Juga kesannya sekarang kebanyakan program seakan didikte pemerintah untuk kepentingan pemerintah. Yang benar, kelompok sendiri mengekspresikan kebutuhan mereka, lalu dari luar ada yang menyediakan narasumber atau tutor untuk kelompok itu. Yang menyediakan bisa siapa saja, pemerintah atau masyarakat sendiri melalui organisasi profesi atau lembaga swadaya masyarakat, misalnya.

Kelompok-kelompok ini akhirnya dapat memecahkan masalah sosial seperti kemiskinan, narkoba, anak jalanan, atau yang lain.

Partisipasi bukan berarti masyarakat hanya memberi input, tetapi juga menikmati hasil pembangunan?

Dalam pembangunan memang terjadi hal-hal menyesatkan. Misalnya, pembangunan jalan. Untuk itu, perlu tanah milik masyarakat. Masyarakat memberi input pada pembangunan dengan memberi tanahnya dan diganti sejumlah uang. Tetapi, yang lebih penting lagi dalam menumbuhkan partisipasi pembangunan adalah apakah orang yang sudah berkorban tanah tersebut ikut menikmati jalan itu? Jangan-jangan mereka tergusur jauh sekali.

Di sisi lain, ada banyak orang tidak menyumbang pada pembangunan, baik yang langsung seperti contoh pembangunan jalan tadi atau tidak langsung dengan bayar pajak, tetapi memanfaatkan hasil pembangunan.

Apakah karena peran pemerintah masih dominan?

Menumbuhkan itu bukan hanya dari pemerintah, tetapi masyarakat sendiri harus tumbuh kebutuhannya untuk berpartisipasi. Memang peran pemerintah yang terlalu dominan, dan masih dominan sampai sekarang, mengakibatkan masyarakat menggantungkan diri kepada pemerintah.

Contohnya pemeliharaan jalan. Pada masa kolonial, masyarakat memelihara jalan lingkungan. Pemerintah hanya memelihara jalan sampai tingkat kabupaten. Tetapi, kemudian karena ada penyimpangan, misalnya karena ada rumah anggota DPR lalu jalan ke arah sana diperbaiki pemerintah, masyarakat kemudian mencontoh. Enggan memelihara. Karena ketidakkonsistenan pemerintah, masyarakat lalu menggantungkan diri kepada pemerintah.

Namun, juga terjadi sebaliknya. Jalan di depan rumah kami dipelihara bersama-sama oleh warga satu RT. Masyarakat harus bisa menyuarakan dan menuntut. DPR yang harus menyalurkan suara masyarakat, tetapi tidak berfungsi.

Bagaimana agar masyarakat dapat menyalurkan suara secara positif?

Bisa melalui organisasi masyarakat. Sayangnya banyak ormas yang tidak menaungi semua anggota masyarakat, seperti Muhammadiyah atau NU dianggap hanya mewakili kelompok Islam.

Terjadi ketidakpercayaan diri, ketidakberdayaan, dalam menyampaikan aspirasi karena kurang pengetahuan dan tidak diberi kesempatan atau tidak didengar sehingga masyarakat menggunakan massa untuk memaksa. Kenyataannya banyak pejabat tidak mau menemui dan mendengar masyarakat.

Kembali ke petani dan meningkatkan kesejahteraan mereka dengan naiknya harga pangan?

Tantangan ke depan makin berat. Penelitian mahasiswa saya memperlihatkan, hanya 16 persen pemuda desa berminat jadi petani karena pekerjaan pertanian didominasi teknologi tradisional, cangkul, tidak menarik. Masalahnya nanti bukan hanya kuantitas, tetapi juga kualitas.

Mekanisasi pertanian bisa menjawab kekurangan tenaga kerja pertanian selain membuka lapangan kerja baru di pedesaan, meskipun membuat masalah baru, yaitu energi untuk mekanisasi. Tetapi, itulah pembangunan. Kalau kita tidak siap menghadapi tantangan baru, tidak akan ada pembangunan.

Penting mendinamisasi pertanian dan petani dengan membentuk kelompok supaya mereka bisa mengambil keputusan dan menyuarakan apa yang menjadi haknya, misalnya pupuk dan benih tepat waktu serta kredit.

Pihak luar, pemerintah atau swasta, memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan petani. Tetapi, jangan petani jadi alat pihak luar untuk kepentingan pihak luar itu. Yang harus dimakmurkan petaninya. Bukan dengan diberi kesejahteraan, tetapi diberi fasilitas untuk mencari kemakmuran.

Selasa, 05 Agustus 2008

Takalapeta dan Gerakan Menanam di Alor - Kompas 6-Agu-08

Rabu, 6 Agustus 2008

Takalapeta dan Gerakan Menanam di Alor
Rabu, 6 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Oleh KORNELIS KEWA AMA

Pria berusia 54 tahun ini suka mengenakan songkok dengan aksesori khas Alor, Nusa Tenggara Timur. Tidak jarang pula ia memakai baju dari tenun tradisional. Kostumnya itu dimaksudkan sebagai ajakan bagi orang lain untuk mencintai produk lokal.

Pria itu adalah Ansgerius Takalapeta, Bupati Alor, NTT, periode 1999-2009. Ia termasuk salah seorang yang tak menikmati acara seremonial. Salah satu yang khas darinya adalah menyertakan penanaman pohon dalam setiap kegiatan.

”Jika ada program menanam 1.000.000 anakan pohon, setelah sampai 999.999 anakan yang ditanam, kami sisakan satu pohon untuk peresmian. Tetapi, sebelumnya kami kontrol, apakah semuanya telah ditanam secara benar atau tidak,” katanya di Kupang, pertengahan Juli 2008.

Ia mengemukakan, hal itu untuk menunjukkan betapa penting mengontrol pohon yang ditanam daripada ”sekadar” peresmian penanaman satu pohon sebagai simbol.

Ketika memulai tugas sebagai Bupati Alor pada 1999, sebagian besar daratan Alor masih gersang. Sejumlah sumber air di daerah ini terancam kering karena budaya tebas bakar dan tanam masih kuat di kalangan masyarakat setempat.

Takalapeta lalu mengeluarkan peraturan daerah (perda) yang isinya melarang masyarakat melakukan kegiatan tebas bakar dan tanam. Dalam perda itu juga disebutkan kewajiban masyarakat ikut menanam pohon di setiap lahan kritis.

Pada tahun 2002 Takalapeta mencanangkan Hutan Wisata Nostalgia di wilayah Kecamatan Kalabahi yang luasnya 10 hektar. Lahan ini disediakan pemerintah daerah, termasuk bibit tanamannya, seperti mangga, jambu mete, cengkih, cendana, gaharu, kelapa, jati, mangga, pisang, dan mahoni. Hutan ini sebagai contoh agar masyarakat pun rajin menanam.

”Semua tamu yang datang ke Alor kami beri kesempatan menanam pohon, memberi nama pohon, nama penanamnya, serta tanggal dan tahun tanamnya. Di antara para tamu itu adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono, Menteri Kehutanan, staf Unicef, sampai para turis asing,” ceritanya.

Lokasi hutan itu sengaja dipilih yang berdekatan dengan sejumlah sumber mata air. Dengan demikian, selama musim kemarau beberapa mata air di sekitarnya tidak lagi mengalami kekeringan.

Penangkaran rusa

Areal hutan itu tidak hanya dimanfaatkan untuk menanam aneka jenis pohon, tetapi juga digunakan sebagai tempat untuk penangkaran rusa (Cervus timorensis). Jenis hewan ini terancam punah karena maraknya perburuan dan pembukaan lahan pertanian.

Agar masyarakat tak lagi memburu hewan, ia berusaha meyakinkan mereka bahwa binatang peliharaan pun pada mulanya liar. Tetapi, setelah dipelihara, hewan menjadi jinak.

Masyarakat juga diajak menangkar rusa di lahan mereka sendiri, selain di areal Hutan Wisata Nostalgia. Sebagai imbalan, mereka yang berhasil menangkar lebih dari tiga ekor hewan diberi penghargaan Rp 250.000.

”Jika jumlah rusa sudah banyak, kami jual. Tanduknya bisa dipakai untuk bahan membuat aksesori,” kata Takalapeta.

Hutan Wisata Nostalgia juga disesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat Alor, yakni sebagai hutan pamali yang tidak boleh diganggu. Jika masyarakat menebang pohon di hutan itu, akan terjadi bencana alam atau arwah nenek moyang yang mendiami hutan tersebut marah dan mengganggu penghuni rumah.

Masyarakat Alor menyebut hutan itu mamar, artinya areal sekitar sumber mata air yang tak boleh diganggu. Bahkan, masyarakat berusaha menanam dan merawat hutan tersebut karena terbukti menghasilkan sumber air untuk kehidupan.

”Kami usulkan agar yang ditanam itu bernilai ekonomis, seperti kemiri, pinang, kopi, mangga, pisang, nangka, dan kenari. Tanaman seperti itu bernilai ganda, memelihara sumber air sekaligus memberi kesejahteraan ekonomi masyarakat,” katanya.

Cendana dan jati

Setiap kunjungannya ke kecamatan atau desa, selalu diwarnai kegiatan menanam meskipun itu ia lakukan pada musim kemarau. Setelah itu, petugas di kecamatan atau desa yang bersangkutanlah yang bertanggung jawab menyirami tanaman tersebut. Ia memberi contoh, dari 50 pohon yang ditanam pada musim kemarau, sebanyak 10-20 pohon bisa tumbuh sampai musim hujan tiba.

Di samping itu, ia juga membuat program penyediaan areal seluas 100 hektar untuk menanam cendana dan 200 hektar lahan jati di Alor. Kawasan ini menjadi proyek percontohan tanaman cendana dan jati di NTT.

Takalapeta yang putra Alor ini mengaku tak bisa menyembunyikan rasa senang bila pada kunjungan berikutnya ia melihat hasil tanaman itu. Ia sering datang ke suatu desa karena diundang warga untuk ikut memanen hasil perdana tanaman kopi, jambu mete, vanili, dan cengkih mereka.

Gerakan menanam ini merata di 17 kecamatan sehingga tidak ada kesenjangan kemiskinan yang tajam antara kecamatan satu dan lainnya. Kecamatan Pantai Barat di Pulau Pantar, misalnya, sampai tahun 1999 tak punya andalan sumber daya alam dan termasuk kecamatan termiskin. Tetapi, sejak 2005 daerah ini dijuluki ”kecamatan jambu mete”.

Setelah lima tahun Takalapeta memimpin Alor (1999-2004), kesejahteraan hidup masyarakat meningkat. Ini antara lain dilihat dari sebagian rumah warga yang semula berdinding bambu, berganti permanen. Siswa putus sekolah yang semula sekitar 4.000 orang per tahun, turun menjadi sekitar 1.400 orang.

Tak heran kalau ia terpilih lagi sebagai Bupati Alor periode 2004-2009. Selain itu, berbagai penghargaan dari pemerintah dan institusi lain pun jatuh ke tangannya.

Ia senang mendapat penghargaan, tetapi yang lebih membuatnya bahagia adalah melihat ribuan putra Alor bisa menjadi sarjana dari hasil perkebunan vanili, kopi, kelapa, kemiri, dan pinang, selain hasil laut.

”Penerbangan Kupang-Alor yang semula hanya satu kali dalam sepekan sudah menjadi enam kali. Banyak warga Alor yang tidak lagi menggunakan perjalanan laut, tetapi mampu menumpang pesawat ke Kupang,” katanya.

Atas semua jasanya itu, Takalapeta pada 5 Juni meraih penghargaan Kalpataru dalam bidang lingkungan hidup untuk kategori pembina. Panitia Kapaltaru 2008 mendata 136 nomine. Dari jumlah ini mengerucut menjadi 12 orang dengan empat kategori, yakni perintis lingkungan 5 orang, pengabdi dan penyelamat lingkungan masing-masing 3 orang, serta hanya seorang pembina lingkungan. Dialah Ansgerius Takalapeta.