Minggu, 28 September 2008

Siap Tak Dipandang (Biografi Pater Beek) - Kompas 29-Sep-08 p39

Siap Tak Dipandang (Biografi Pater Beek)
Senin, 29 September 2008 | 03:00 WIB

B JOSIE SUSILO HARDIANTO

Educatio puerorum reformatio mundi.

Mendidik kaum muda adalah mereformasi dunia.

Taman Getsemani pada waktu malam adalah keheningan yang dalam. Perhentian akhir dari peziarahan dan sekaligus tempat istirahat abadi para Yesuit di Indonesia itu, bagi para frater novis Serikat Yesus sering pula menjadi perhentian saat mereka menunaikan tugas jaga malam.

Di depan nisan-nisan para Yesuit yang telah berpulang para muda Serikat Yesus Indonesia itu kerap melewatkan keheningan dini hari dalam doa-doa dan kenangan atas karya para pendahulu. Dalam kenangan dan doa atas mereka yang telah beristirahat kekal tersebut, para pemuda yang baru menapaki jalan panggilan imamat menimba kobaran semangat karya yang berbasis pada Latihan Rohani Santo Ignasius Loyola.

Pada deretan nisan-nisan putih sederhana itu ada nama Nicolaus Driyarkara SJ, seorang filsuf yang saat ini namanya diabadikan sebagaimana nama sekolah tinggi filsafat. Lalu ada nama Josephus Gerardus Beek SJ, biasa dipanggil Pater Beek, tokoh yang tak jarang disebut dengan diam-diam oleh para novis. Mengapa? Salah satu karyanya saat membina anak-anak muda melalui khalwat sebulan (khasebul) kerap dinilai sebagai proses kaderisasi elite, serba rahasia, dan terkesan sembunyi-sembunyi. Selain itu, proses kaderisasi yang digarap dengan menggabungkan latihan fisik yang keras, serba spartan dan latihan doa yang intensif, sempat mengundang banyak reaksi.

Tak jarang yang menolak cara pendekatannya itu mengatakan, Beek adalah penganut Machiavelli. Tentang itu, kadang kebanyakan orang lantas hanya berhenti pada karyanya di khasebul dan menempatkannya sebagai sosok yang keras, tegas, kadang sedikit kasar karena melibatkan hukuman fisik, seperti tamparan.

Karena itu, dengan mudah ia diposisikan pada pribadi yang kontroversial. Tentu saja, bagi yang mengenal atau pernah menjadi anak didiknya, Beek bukanlah seperti itu. Ia mungkin kontroversial justru karena prinsipnya yang tegas, tidak terbawa arus, percaya diri, dan tidak setengah-setengah.

Bagi orang sekelas Beek, ia memang tidak mau menampakkan diri. Keugaharian (asketis) dipegangnya teguh sehingga ia tidak hanyut dalam popularitas. Namanya dikenal, tetapi orang jarang melihat sosoknya. ”Di dunia ini jangan bikin monumen, nanti kamu akan kesulitan kalau mau mati!,” kata Pater Beek.

Jiwanya yang dikobarkan oleh semangat Latihan Rohani Santo Ignasius Loyola telah menempatkannya sebagai garam dalam setiap karya yang ditekuninya. Ketekunan itu membuahkan hasil-hasil unggul, tercetak pada kader-kader binaannya atau melalui pengaruh pemikiran yang dapat mengubah dunia. Setiap orang yang terlibat merasakan, tetapi tak melihat sosoknya dan memang begitulah garam, ada sekaligus juga tidak ada.

Pribadi kritis

Dalam buku biografi yang ditulis oleh JB Soedamanta dan diterbitkan oleh Obor ini, hal-hal yang sebelumnya disebut remang dan penuh kontroversi itu dikupas. Dalam buku setebal 272 halaman itu, Soedarmanto juga memasukkan surat terbuka Pater Beek untuk Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi Indonesia.

Surat itu penuh kritik tajam terhadap kebijakan Presiden Soekarno yang dinilai memberi ruang besar bagi Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan menggunakan nama samaran Dadap Waru, dalam surat bertanggal 5 November 1965 itu ia mendorong agar Bung Karno bersikap tegas terhadap PKI.

Selain pernah berkarya sebagai Kepala Asrama Realino, Pater Beek juga pernah berkarya dan turut mengawali Biro Dokumentasi. Biro Dokumentasi adalah sebuah biro yang didirikan oleh Serikat Yesus Provinsi Indonesia pada tahun 1961 semasa Pater Georgius Kester menjadi Provinsial. Biro itu menyediakan bahan-bahan studi dan analisis keadaan berdasarkan tolok ukur ajaran dan moralitas Katolik agar dapat dipergunakan bagi para aktivis.

Dalam kegiatannya, biro itu menyiarkan dokumen mengenai kebijakan pemerintah dan evaluasi atas berbagai kejadian penting di Indonesia. Apa yang dilakukan Biro Dokumentasi itu kemudian menjadi asupan bagi masyarakat, khususnya umat Katolik di Indonesia, untuk menghadapi perkembangan sosial, politik masyarakat, serta bersikap kritis terhadap pemerintah.

Hal itu ditunjukkan dengan kedekatan Gereja Katolik dengan Bung Karno, tetapi sekaligus berjarak. Partai Katolik, misalnya, berani membentuk Liga Demokrasi dan tidak mendukung Nasakom serta menolak Konsepsi Presiden yang membuka pintu masuk bagi kaum komunis.

Menurut Beek, Gereja Katolik tidak hanya menjadi sumbangan bagi masyarakat, tetapi ia juga berkeyakinan, Gereja juga memiliki prinsip-prinsip yang tepat untuk menghadapi masalah. Menurut dia, kerasulan intelektual sangat penting dan diperlukan saat itu.

Analisis yang dihasilkan Biro Dokumentasi kemudian diedarkan kepada aktivis yang terlibat dalam Front Pancasila dan Sekber Golkar. Biro itu, antara lain, menghasilkan kajian tentang sosialisme yang kemudian mempertemukannya dengan intepretasi gagasan sosialisme yang disodorkan PKI. Dalam buku tentang Pater Beek ini, gagasan dan kajian lain yang dihasilkan Biro Dokumentasi dimasukkan dengan lengkap oleh Soedarmanta.

Namun di sisi lain, dituliskan juga gagasan Pater Beek tentang Katolisitas. Ia berpendapat, keagamaan, dalam hal ini kekatolikan, bukan hanya sebatas agama dan institusi.

Soedarmanta menuliskan, Pater Beek berpendapat bahwa dalam perkara-perkara sosial atau kemasyarakatan sebetulnya ”bendera” Katolik tidak diperlukan lagi karena dalam konteks keindonesiaan, hal itu justru bisa menjadi penghalang kebersamaan.

Disebut penghalang karena dapat membangkitkan ikatan primordialisme, semangat sektarian, dan ideologisasi agama. Akibatnya, orang Katolik tidak harus hanya ”duduk” di partai Katolik (hal 202).

Untuk itu, Pater Beek membebaskan anak didiknya dan kader yang dibinanya untuk memilih partai yang mau menerima dan sesuai dengan aspirasi mereka dan dapat memberi kontribusi terbaik.

Sebelum Golkar muncul, Pater Beek, tulis Soedarmanta, menganjurkan orang-orang Katolik masuk PNI sehingga pada masa itu ada istilah Markatul (Marhaen Katolik). Namun, di bagian lain disebutkan, ketika seorang anak didiknya bertanya pada partai manakah ia harus masuk, Pater Beek menjawab, ”Terserah kamu, pilih sesuai dengan suara hatimu! Itu tugasmu dan bukan tugasku,” kata Beek.

Dalam buku itu juga dituliskan tentang sikap Pater Beek yang amat antikomunisme dan anti-PKI. Sebagai rohaniwan, sikap itu didasari dari ketegasannya pada prinsip bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar kebersamaan sebagai bangsa yang paling masuk akal dan rasional.

Kaderisasi

Namun, sebagai rohaniwan dan pendidik, Pater Beek lebih tertarik dalam pembinaan anak-anak muda. Pada akhir tahun 1966 ia memulai program Khasebul. Pendidikan selama satu bulan itu pada dasarnya adalah pendidikan kerohanian dengan menitikberatkan pada doa dan meditasi, pengenalan situasi konkret masyarakat, dan diperkaya dengan Ajaran Sosial Gereja Katolik (hal 180).

Menurut dia, kader adalah orang yang mampu menggetarkan dunia; merombak keadaan masyarakat dengan kelompok kecil; menjadi tulang punggung masyarakat; atau menjadi inti dalam suatu lingkungan masyarakat. Menjadi kader, berarti menjadi sesuatu yang lain dari yang lain; keranjingan dalam menjalankan apa yang dipikirkan dalam batas-batas yang ditentukan moral dan etika.

Ada militansi, ada sikap mau berbuat lebih, berani merasuk dalam sejarah manusia dan menghadirkan harapan. Landasan iman atas upaya itu adalah jika seseorang merasa menjunjung tinggi cinta kasih sebagai kebajikan tertinggi, tetapi tidak bertindak apa pun di hadapan kekerasan politik dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap sesama warga negara, de facto telah melanggar cinta kasih yang dimuliakannya itu (hal 183).

Untuk mencapai titik tersebut, dalam proses mendidik kader, cara yang digunakan Pater Beek kerap kali mendatangkan kritik. Caranya dan prinsipnya kerap disalahmengerti, bahkan oleh anak didiknya sendiri.

Pater Beek berpendapat, manusia bukan jiwa dan raga, rohani dan jasmani. Manusia adalah penuh jiwa-raga atau roh jasmani.

Dalam ilmu psikologi, tulis Soedarmanto, Pater Beek dekat sekali dengan teori identitas yang dirumuskan oleh JCC Smart. Smart menyatakan bahwa ketangguhan badan itu juga ketahanan jiwa. Orang yang tidak tahan sakit pasti juga akan mudah menyerah bila disakiti.

Tidak mengherankan jika dalam khalwat sebulan, selain latihan rohani, para mahasiswa yang dididik juga memperoleh penggemblengan fisik yang ketat lagi spartan. Ditampar, direndam dalam air dingin, dikerubuti nyamuk dengan tangan dan kaki terikat pada kursi adalah latihan-latihan yang diterapkan Pater Beek terhadap anak didiknya.

Bagi mahasiswa yang mudah marah atau kurang sabar, dilatih sabar dengan mengikat tangan dan kakinya di kursi pada malam hari dan diminta menahan gigitan nyamuk. Setelah satu atau dua jam latihan, si mahasiswa kemudian diajak berefleksi bersama. Namun, ia tetaplah pendidik yang sesungguhnya tidak tahan melihat anak didiknya takut kena hukuman.

Pada prinsipnya, upaya itu merupakan sarana agar setiap mahasiswa yang dilatih mengenal diri dan terbentuk karakter unggulnya. Keunggulan itu bukan semata-mata tahan deraan fisik, lebih dari itu, keunggulan itu ditandai dengan doa dan sikap bakti, asketis serta berdisiplin tinggi, memiliki sikap dan berani, tetapi sekaligus penuh empati. Seolah ia memang sengaja ingin menandai anak didiknya sebagaimana ia ingin menandai namanya big dalam bahasa Inggris yang berarti besar, tidak tanggung-tanggung dan bukan beek dalam bahasa Belanda yang berarti anak sungai.

”Menjadi kader berarti menjadi sesuatu yang lain dari yang lain; Keranjingan dalam menjalankan apa yang dipikirkan dalam batas-batas yang ditentukan moral dan etika,” kata Pater Beek.

Anak Amsterdam

Josephus Gerardus Beek lahir di Amsterdam, Negeri Belanda, pada tanggal 12 Maret 1917. Ciri khas orang Amsterdam yang blakblakan, suka terus terang dan ekspresif, sedikit terkesan arogan menjadi ciri khas Beek pula.

Beek lahir sebagai bungsu dari empat bersaudara. Ia lahir ketika Perang Dunia I meletus. Setelah masuk ke Serikat Yesus dan menjadi novis tahun kedua, ia dikirim ke Indonesia.

Sejak anak-anak ia dididik di Kolese yang dikelola oleh Imam-imam Yesuit. Sejak anak-anak pula itu dididik untuk tidak bersikap setengah-setengah. Beek muda sejak awal tergembleng dalam lingkungan pendidikan Yesuit yang memadukan antara humanisme dan religiositas.

Ketika menjadi novis, semangat mudanya dikobarkan dengan gairah pergi ke tanah misi, Hindia Belanda, yang sekaligus secara politis adalah tanah jajahan di bawah Pemerintah Kerajaan Belanda, negerinya. Ketika Jepang menduduki Indonesia, Pater Beek pernah menghuni kamp interniran.

Dalam buku ini, kisah di kamp itu juga menjadi ilustrasi pembentukan diri Beek yang spartan. Setidaknya, pengalaman itu menguatkan gagasannya dalam menggembleng mahasiswanya. Dan karena itu buku ini layak dibaca bukan karena semata-mata tokohnya yang masih kerap dianggap kontroversial dan penuh misteri, tetapi buah-buah rohani dari Latihan Rohani yang adalah dasar dari sikap dan pilihan perbuatan yang mengobarkan jiwa Pater Beek serta anak didiknya.

Menjadi garam adalah asin dan siap untuk melebur hilang dan tak dipandang, tetapi selalu terasa.


B JOSIE SUSILO HARDIANTO

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/09/29/01283290/siap.tak.dipandang

Senin, 22 September 2008

Kemandirian Sediono MP Tjondronegoro - Kompas 21-Sep-08

Kemandirian Sediono MP Tjondronegoro
Minggu, 21 September 2008 | 03:00 WIB

Ninuk Mardiana Pambudy & Maria Hartiningsih

Indonesia adalah negeri penuh ironi. Negeri ini sering dipuji sebagai kaya raya, tetapi rakyatnya lapar tanah, terlihat dari sengketa tanah di berbagai daerah antara rakyat dengan usaha pertambangan, hak pengusahaan hutan, atau perkebunan.

Model pembangunan kita tidak dimulai dengan membereskan modal yang paling pokok, yaitu bumi, air, dan angkasa, seperti diamanatkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,” kata Prof Dr Sediono MP Tjondronegoro (80) di kediamannya di Bogor, Jumat (12/9) pagi.

Sepanjang karier akademisnya di Institut Pertanian Bogor dan setelah pensiun, Sediono selalu konsisten menyumbangkan pikirannya pada ilmu sosiologi, terutama menyangkut pertanian dan perdesaan.

Usia tidak menyurutkan langkahnya terus menyumbangkan pikiran, antara lain melalui lembaga nonpemerintah Akatiga dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Sediono menekankan, kemiskinan sebagian rakyat disebabkan pengabaian pada sektor pertanian dan perdesaan yang masih menjadi tumpuan lebih separuh penduduk Indonesia. Pembangunan lebih memberi tekanan pada produksi, tetapi melupakan pelakunya, yaitu petani kecil.

”Padi Super Toy HL2 contoh usaha mencari produksi lebih tinggi, tetapi tidak mengurus siapa yang menanam, siapa yang punya tanah, atau apakah yang menanam punya tanah atau tidak,” kata Sediono.

Begitu juga urbanisasi. Meskipun urbanisasi proses alamiah, tetapi sebagian besar orang pergi dari desa mencari kerja ke kota tanpa bekal ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan memadai sehingga di kota menimbulkan masalah sosial.

”Urbanisasi jadi begitu karena mereka ke kota bukan ditarik oleh industri atau teknologi maju,” tambah Sediono.

Setali tiga uang adalah perginya perempuan-perempuan desa menjadi buruh migran. ”Saya kok merasa tidak etis keinginan pemerintah menaikkan pengiriman tenaga kerja kita ke luar negeri. Bagaimana akibat sosialnya? Ini berbeda dengan India yang mengirimkan orang ke luar negeri karena kepandaiannya; mereka berpendidikan, menguasai teknologi,” tandas Sediono.

Kemandirian

Sebagai orang yang ikut berperan dalam pembentukan Indonesia, termasuk dalam perjuangan kemerdekaan 1945, Sediono merisaukan semakin rendahnya kemandirian Indonesia dalam mengelola sumber daya alam.

Hal itu bukan hanya merugikan rakyat petani, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik yang dapat menjadi anarki. Sediono meyakini, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) harus dilaksanakan untuk kesejahteraan dan keselamatan Indonesia.

”Pendidikan tambah maju, orang bertambah pintar, orang akan lebih sadar dan berorganisasi. Jiwa globalisasi adalah maju, kemerdekaan, hak yang sama, sangat demokratis. Kalau itu tidak terjadi, saya tidak bisa bayangkan akibatnya,” Sediono mengingatkan.

Pertanian masih penting?

Menurut saya, ya. Pertanian masih dasar dari pembangunan. Sekarang pertanian semakin penting karena pemanasan global. Eropa beralih ke biofuel (bahan bakar nabati). Untuk itu perlu tanah dan mungkin juga dari laut. Akhirnya tanah dijadikan perkebunan untuk biofuel karena hasilnya lebih tinggi. Di situ kita tergiur. Oke, tanam sawit saja. Akan tetapi, maaf, dengan modal sebagian besar dari luar.

Bagaimana ini? Kita mau tergantung kepada orang lain atau mau mandiri? Sumber daya alam dijual begitu saja. Tidak diproses di Indonesia. Penyulingan minyak bumi di Singapura. Di Freeport, dan saya sudah sampai di sana, tembaga dan emas mentah yang dinaikkan ke kapal. Yang tersisa tailing yang meskipun sudah ditangani tetap ada yang masuk ke sungai, mematikan ikan dan pohon di hutan.

Dulu Bung Hatta membikin komisi untuk inisiasi UUPA karena mau mandiri. Kita sudah mengalami eksploitasi oleh perkebunan Belanda, terutama di Jawa Barat.

Artinya, dijajah lagi?

Jangan-jangan kita memang lebih senang cari gampangnya karena tanah kita terlalu subur.

Termasuk menggampangkan dengan impor saja pangan?

Persis. Dan kalau itu terjadi di tingkat pimpinan, masya Allah….

Tahun 1945 saya sudah terlibat dalam suasana mau mandiri. Bung Karno, Hatta, dan Syahrir mau mandiri karena kita kaya.

Sekarang kekayaan itu diberikan dengan gampang sehingga nanti kalau kekurangan beras harus impor. Meskipun kita juga mengekspor, tetapi mengimpor dengan harga lebih mahal.

Petani dirugikan?

Jelas. Saya pernah menulis untuk ISEAS Singapura tahun 1978. Bukan saya anti kepada Revolusi Hijau. Waktu itu kita kekurangan pangan, jadi memilih produk yang dapat menumbuhkan padi dengan cepat dan banyak. Ir Siregar, ahli padi kita, menemukan banyak jenis padi, tetapi yang diproduksi padi dari International Rice Research International (IRRI) di Filipina.

Kita memang swasembada pangan, tetapi akibatnya pemilik tanah yang luas dapat menghasilkan padi dan memperoleh pendapatan lebih banyak. Bantuan dari pemerintah juga ada untuk membeli pupuk. Namun, yang semakin banyak adalah yang tanahnya mengecil dan usaha tani tidak lagi menguntungkan mereka. Akibatnya, petani dengan lahan kurang dari 0,5 hektar (ha) tidak ikut kemakmuran Revolusi Hijau, malah kadang-kadang utang.

Konsisten

Tanggal 24 September diperingati sebagai Hari Agraria dan itu mengingatkan kembali pentingnya mendengarkan tuntutan petani atas tanah, terutama bila dikaitkan dengan krisis pangan global, masalah lingkungan, dan perintah UUD 1945 untuk memanfaatkan bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

”Kalau mau merata betul, kembali pada UUPA. Petani diberi luasan tanah cukup, minimal 2 ha dan maksimal 5 ha untuk Jawa. Tidak cukup hanya dengan Panca Usaha Tani. Kalau mayoritas penduduk sudah kecukupan pangan dan kita bikin industri, yang tidak kerasan di pertanian silakan pindah,” kata Sediono.

Dia mengkritik pembangunan pertanian yang seperti abai pada kenyataan lebih banyak orang yang menggantungkan diri pada sektor itu daripada lahan yang tersedia. Kesannya, pemerintah lebih peduli pada peningkatan produksi hasil pertanian daripada kesejahteraan petaninya.

Sejak tahun 1960 pemerintah telah membuat kajian dan peraturan untuk pelaksanaan UUPA karena menyadari masalah tanah yang semakin kompleks dan dapat menghambat pembangunan. Pada tahun 1977, Presiden Soeharto meminta Prof Sumitro Djojohadikusumo dan Widjojo Nitisastro mengevaluasi situasi pertanahan.

”Kebetulan saya menjadi sekretaris eksekutif Pak Mitro dan Pak Widjojo,” kata Sediono. ”Hasil evaluasi dipakai Menteri Pertanian Soedarsono Hadisapoetro untuk menjelaskan posisi Indonesia dalam World Conference on Agrarian Reform and World Development di Roma tahun 1979 yang masih mendasarkan pada UUPA dan akan memperbaiki. Dalam praktik, tidak terjadi apa-apa.”

Tahun 2001 lahir Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang menugaskan pelaksanaan reformasi agraria. Tahun 2006 lahir Perpres Nomor 10 yang menetapkan UUPA tidak diamandemen dulu dan awal 2007 Presiden berjanji memulai reforma agraria (land reform) dengan membagikan 8,15 juta ha tanah kepada masyarakat dengan kriteria khusus.

”Akan dimulai dengan percobaan 400.000 ha, kebanyakan di luar Jawa supaya tidak timbul konflik karena penduduk di Jawa padat. Sampai sekarang tidak terjadi apa-apa,” kata Sediono seraya mengingatkan pada janji kampanye Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004 untuk melaksanakan reformasi agraria.

”Mungkin counter forces-nya terlalu besar,” tambah Sediono. ”Menjelang (Pemilu) 2009 saya duga tidak akan terjadi apa-apa. Saya juga lihat tidak satu pun calon presiden bicara mengenai reforma agraria.

”Lalu, pilihan kita tinggal menjadi tidak mandiri, menjual SDM dalam bentuk TKI, apa itu? Kalaupun tidak terjajah seperti dulu, kita jadi bangsa yang tergantung, tidak mandiri.”

”Kalau mau langkah konkret, Presiden dan presiden yang akan datang melaksanakan usulan Program Pembaruan Agraria Nasional tahun 2007, yaitu pembagian tanah 8,15 juta ha itu. Harus ada pemetaan untuk menentukan di mana, kapan, berapa luas, dan bagaimana tata guna tanahnya.


Ninuk Mardiana Pambudy dan Maria Hartiningsih

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/09/21/01103560/kemandirian.sediono.mp.tjondronegoro

Sediono MP Tjondronegoro - Ilmuwan "Plus" - Kompas 21-Sep-08

Ilmuwan "Plus"
Minggu, 21 September 2008 | 03:00 WIB

Sejak sang istri, Dr Puspa Dewi Tjondronegoro—biasa disapa Bu Pin oleh para mahasiswa—meninggal dunia delapan tahun lalu pada usia 56 tahun, Sediono Tjondronegoro hidup sendiri di rumahnya.

”Tadinya saya kira saya yang duluan karena saya lebih tua,” ujar Pak Tjondro.

Dua anak laki-lakinya sudah menikah dan tinggal di kota lain. Meski demikian, Pak Tjondro tak pernah kesepian. Ia masih terus bekerja, pergi ke lapangan, membantu organisasi nonpemerintah yang fokusnya pada masalah agraria dan kemiskinan, serta mengajar dan terus menulis.

Di kalangan ilmuwan dan aktivis muda, Pak Tjondro dikenal sebagai guru dan ilmuwan yang konsisten dengan prinsip kerakyatan. Tak heran apabila ulang tahunnya yang ke-80 dirayakan meriah oleh anak didiknya. Tiga buku tentang pemikiran Pak Tjondro dan biografinya diluncurkan pada perayaan itu. ”Saya cuma diminta hadir,” kata dia.

Noer Fauzi, aktivis masalah agraria, kandidat PhD dari Universitas Berkeley, Amerika Serikat, mendefinisikan Pak Tjondro sebagai ”ilmuwan plus”.

Pak Tjondro matang oleh berbagai bentuk perjuangan. Pada perang kemerdekaan, ia berjuang di garis depan, sampai jari tangan kirinya cacat kena pecahan mortir. Ia ”militan” memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat melalui kerja keilmuan, merumuskan kebijakan, dan pendampingan masyarakat.

Ia menolak masuknya politik dalam kerja keilmuan, karena ilmu harus memberi sumbangan bagi perbaikan siapa pun, tanpa sekat ras, golongan, agama, kelompok, atau jender.

Saling terkait

Pak Tjondro dilahirkan sebagai anak ketiga dari empat bersaudara anak pasangan Sutiyoso Sosrobusono—setelah menjadi Bupati Semarang tahun 1949 namanya menjadi Sutiyoso Tjondronegoro—dan Sumilah. Keluarga Tjondronegoro memiliki hubungan keluarga dekat dengan RA Kartini.

Sebagai ilmuwan, Pak Tjondro memahami tradisi ilmu di Eropa dan Amerika Serikat. Ketika di Belanda, ia dipilih menjadi asisten sosiolog terkemuka Belanda, Prof Wertheim. Di Wisconsin, Amerika Serikat, ia tidak aktif dalam organisasi mahasiswa, tetapi ikut demonstrasi menentang alumni dari universitas itu yang melamar kerja di Dow Jones, perusahaan kimia pembuat bom napalm untuk perang Vietnam. Padahal beasiswanya saat itu didapat dari bantuan Amerika Serikat (USAID).

Ia berpandangan ilmu sosial hanya relevan dan berkembang bila mampu memahami masalah di masyarakat, harapan rakyat, adat istiadat, dan kebahagiaan mereka. Oleh karena itu, diperlukan pengalaman langsung untuk terjun ke tengah masyarakat.

Ia juga teguh pada pendapat bahwa ilmu-ilmu sosial harus didudukkan dengan ilmu alam, karena interaksi manusia erat berkaitan dengan lingkungan alam. Pemikiran lintas dan multidisiplin ini dijiwai teori kesalingterkaitan (interconnectedness). Dalam buku biografinya, ia menyatakan terkesan pada pandangan ilmuwan fisika, Fritjof Capra, dalam buku The Turning Point: Science, Society and the Rising Culture (1982).

Sumbangan pemikirannya sangat berarti agar negeri ini tak terjajah untuk kedua kalinya. Kita berutang kalau tidak melanjutkannya! (MH/NMP)


mh;nmp

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/09/21/01095420/ilmuwan.plus

Jumat, 19 September 2008

"Devide Et Impera" atas Hubungan China-Jawa - Kompas 19-Sep-08 p46

"Devide Et Impera" atas Hubungan China-Jawa

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pengusaha batik Lasem Sigit Witjaksono berdiri di beranda depan rumahnya.
Jumat, 19 September 2008 | 03:00 WIB

Jika ingin melihat akulturasi budaya menyejukkan yang bertahan hingga kini, tengoklah Lasem, sebuah kota kecil di Jawa Tengah dan juga Cirebon di Jawa Barat. Percampuran antarsuku, ras, hingga budaya memberi warna lain pada dua kota di pesisir pantai utara Jawa ini.

Batik dan bangunan khas yang dipengaruhi budaya Tionghoa masih bisa ditelusuri di kedua kota tersebut. Batik asal Cirebon terkenal dengan motif megamendung yang diyakini diperkenalkan oleh Ong Tian Nio, istri Sunan Gunung Jati yang berasal dari Negeri Campa (China). Di Lasem, batik tradisional dengan warna khas merah merupakan perpaduan unsur budaya Jawa, Tionghoa, dan Belanda.

Bahkan di Lasem, hubungan Tionghoa-Jawa teramat cair. Penandanya adalah munculnya kongco (subyek pemujaan diposisikan sejajar dengan orang yang dihormati, leluhur, dan dewa-dewa di klenteng) Jawa, yaitu Panji Margono yang dihormati warga Tionghoa sampai saat ini.

Jeremy Wijaya, pengamat sejarah Tionghoa di Cirebon sekaligus penulis buku Budaya Etnis Tionghoa Cirebon, mengatakan, hubungan etnis China dengan pribumi Jawa sejak ratusan tahun lampau sebenarnya terjalin harmonis.

Menurut Jeremy, bangsa Tionghoa masuk ke Cirebon diperkirakan pada abad ke-8 dengan ditandai berdirinya Klenteng Tiao Kak Sie di dekat Pelabuhan Cirebon saat ini. Gelombang kedatangan warga Tionghoa kedua terjadi pada abad ke-15, ditandai dengan terbentuknya kampung pecinan pada tahun 1415 yang didirikan oleh anak buah Laksamana Cheng Ho yang singgah di pelabuhan Muara Jati, Cirebon.

”Sejak itu, percampuran budaya sudah ada dan berkembang karena terjadi perkawinan silang maupun hubungan sosial lainnya. Salah seorang panglima anak buah Laksamana Cheng Ho adalah Muslim Tionghoa, yang dikenal dengan nama Wai Ping atau Kung Wu Ping. Beliau diyakini giat dalam kegiatan syiar agama Islam di Cirebon,” kata Jeremy.

Bibit pecah-belah

Namun, bibit perpecahan dan perseteruan muncul ketika Belanda meniupkan politik pecah belah (devide et impera) dengan tujuan agar tidak ada persatuan di antara kedua etnis yang diyakini bakal membahayakan kedudukan imperialis Belanda kala itu di Nusantara.

”Adu domba ini terlihat sekali dari pembagian tugas. Pekerjaan yang enak-enak diserahkan kepada orang Tionghoa, sedangkan orang-orang Jawa dapat tugas berat,” kata Njo Tjoen Hian (79), tokoh Tionghoa Lasem yang memiliki nama Indonesia Sigit Witjaksono.

Penelusuran Peter Carey, yang dituangkan dalam bukunya berjudul Orang China, Bandar Candu Tol, Candu, dan Perang Jawa (2008), memberi penekanan memburuknya hubungan Tionghoa-Jawa didorong pula posisi Tionghoa yang memegang cukai (pacht) candu dan jalan tol. Pacht jalan tol yang diserahkan VOC kepada sejumlah warga Tionghoa menyengsarakan rakyat karena membuat biaya perjalanan dan pengangkutan menggelembung.

Pajak gerbang tol, pajak pasar, dan biaya pengangkutan sudah menambah harga satu muatan beras 240 kati (148 kilogram) sebesar 50 persen untuk perjalanan sejauh 60 kilometer. VOC hanya menyerahkan kuasa, sedangkan pembangunan gerbang tol dilakukan orang Tionghoa yang memegang pacht itu. Pajak jalan tol ini disetorkan kepada VOC.

Stigma negatif terhadap komunitas Tionghoa oleh orang-orang Jawa juga muncul dari persepsi Pangeran Diponegoro pada masa Perang Jawa (1825-1830). Wanita Tionghoa dicap sebagai penyebab sejumlah kekalahan pasukan Diponegoro dan iparnya, Sasradilaga. Hal ini tertulis dalam Serat Babad Diponegoro Maskumambang XXXIII, ”China ing Lasem sedaya, mapan sampun sumeja manjing agami, Den Sasradilaga dadya supe weling aji anjamahi Nyonyah China pan punika ingkang dadi marganeki apes juritira” (Carey: 2008).

Jeremy menambahkan, secara lebih lugas, Belanda dengan politik devide et impera-nya membagi strata sosial di wilayah jajahannya mirip pembagian kasta. Strata tersebut dibagi menjadi strata atas terdiri dari kaum Eropa, strata dua warga Tionghoa, Arab, dan warga pendatang. Warga pribumi digolongkan dalam strata ketiga atau kasta terendah.

”Warga Tionghoa tidak diperkenankan masuk ke dunia politik dan pemerintahan, tetapi mereka dipercaya mengelola perdagangan. Tetapi perlakuan penjajah pun tak jauh beda. Mereka memungut pajak 20 gulden dari setiap kegiatan perdagangan,” kata Jeremy.

Perbedaan strata itu memicu kecemburuan sosial yang berujung pada konflik terbuka. Perang pecah pada tahun 1808. Saat itu, Pangeran Raja Kanoman melancarkan pemberontakan kepada Belanda. Pemberontakan itu pun dapat diredam karena bocornya informasi penyerangan terhadap Belanda. Akan tetapi, kejadian ini diyakini sempat menghambat program Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels kala itu yang sedang membangun Jalan Raya Anyer-Panarukan.

”Belanda menggunakan kesempatan itu untuk mengadu domba warga Tionghoa dan Jawa guna melemahkan kekuatan keduanya. Maka disebutlah orang Tionghoa yang membocorkan rahasia, padahal tidak,” kata Jeremy.

Kini, setelah 200 tahun berlalu, perbedaan suku sebenarnya sudah tidak lagi bisa dilacak. Warga yang disebut penduduk asli mungkin adalah warga keturunan Tionghoa yang datang pada gelombang pertama. Adapun gelombang berikutnya pun sudah menyatu dengan penduduk asli lewat ikatan perkawinan. Jika ada yang masih membedakan suku, tentunya masih terpengaruh politik Belanda yang sudah dilekatkan berabad-abad lamanya.(aci/gal/nit/naw/nel)


aci;gal;nit;naw;nel

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/09/19/01442252/devide.et.impera.atas.hubungan.china-jawa

Kamis, 18 September 2008

Panji Margono, Potret Harmonisasi Cina-Jawa - Kompas 19-Sep-08 p45

Panji Margono, Potret Harmonisasi China-Jawa
KOMPAS/ANTONY LEE
Karangturi, yang termasuk salah satu pecinan di Lasem, terlihat sepi. Hal ini didorong pula oleh kelesuan ekonomi masyarakat Tionghoa yang dahulu mayoritas bergerak di bidang pembuatan batik Lasem.
Jumat, 19 September 2008 | 03:00 WIB

Lasem merupakan kota kecil yang menjadi bagian dari Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kota kecamatan dengan posisi strategis di pesisir pantai utara Pulau Jawa ini diyakini menjadi salah satu pintu masuk migrasi awal orang Tionghoa ke Jawa. Seperti halnya kota-kota lain, sebelum muncul politik adu domba oleh Belanda, hubungan kedua suku ini harmonis.

Salah satu bukti nyata yang hingga saat ini masih ada di Lasem ialah penghormatan komunitas Tionghoa setempat terhadap Panji Margono, seorang Adipati Lasem pada masa Kerajaan Mataram awal abad ke-18. Penghargaan warga Tionghoa terhadap Panji Margono dilakukan dengan menaruh patung atau kimsin Panji Margono di altar pemujaan di Kelenteng Babagan (Gie Yong Bio), Lasem.

Di sisi kanan kelenteng disediakan ruang khusus beserta altar dan patung Panji Margono. Panji Margono digambarkan menduduki kursi kebesaran dan berpakaian Jawa lengkap beserta belangkon. Pada hari-hari besar dalam penanggalan Tionghoa, tidak jarang kimsin Panji Margono turut diarak bersama kimsin lainnya.

Penghormatan ini sangat luar biasa karena masyarakat Tionghoa umumnya hanya memberi posisi terhormat ini kepada leluhur yang berjasa dan dewa-dewa. Panji Margono seorang Jawa, tetapi oleh warga Tionghoa Lasem sudah dianggap menjadi bagian dari komunitas mereka.

Hubungan erat

Dalam sejarah tutur warga setempat, seperti yang diceritakan Njo Tjoen Hian (79), tokoh Tionghoa Lasem yang sudah mengganti namanya menjadi Sigit Witjaksono, Panji Margono digambarkan memiliki hubungan sangat erat dengan komunitas Tionghoa setempat. Panji Margono bahkan mengangkat saudara dengan dua tokoh Tionghoa, Oey Ing Kiat dan Tan Kee Wie.

Bahkan, Panji Margono diyakini juga memiliki nama Tionghoa Tan Pan Djiang. Hubungan baik ini terbukti dengan bergabungnya tiga saudara angkat ini untuk melawan VOC setelah terjadi pembantaian besar-besaran warga Tionghoa di Batavia (Jakarta) tahun 1740.

Saat itu, puluhan ribu warga Tionghoa dibantai dan sebagian lainnya melarikan diri sambil menyulut pemberontakan melawan Belanda di sejumlah wilayah di Jawa Tengah ataupun Jawa Timur. Sejumlah penguasa setempat ada yang bersimpati dan turut mendeklarasikan perang terhadap VOC, termasuk Panji Margono.

Dalam salah satu pertempuran, Panji Margono, Oey Ing Kiat, dan Tan Kee Wie terbunuh. Pasukan VOC yang dibantu oleh Tjakraningrat dari Madura berhasil memukul kekuatan pemberontak Tionghoa-Jawa. Perjuangan yang tidak mengenal batasan etnis ini yang membuat Panji Margono dan kedua saudara angkatnya dihormati warga Tionghoa.

Tanpa gejolak

Ong Hok Ham dalam Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa menyatakan, pada abad ke-19 hubungan erat antara orang Jawa dan Tionghoa mulai dibelokkan, golongan bangsa dipisah-pisah dengan garis tajam. Belanda tidak suka menyaksikan kecenderungan laten amalgameren atau bercampurnya bangsa Timur Asing, Tionghoa, Bugis, Jawa. Mereka ingin bangsa ini tetap terpisah.

Meski begitu, hubungan Tionghoa dan Jawa di Lasem tidak sampai menimbulkan gejolak besar. Menurut Njo Tjoen Hian, pembauran pendatang Tionghoa sudah berlangsung ratusan tahun sebelumnya. Ketika generasi pertama Tionghoa datang, mereka berbekal ajaran Konfusius (Konghucu) bahwa semua manusia di empat penjuru adalah saudara.

Mereka akhirnya bisa membaur, menikah dengan warga setempat, dan mempelajari budaya Jawa. Orang-orang Tionghoa belakangan juga mulai mendirikan industri batik Lasem dan merekrut orang-orang Jawa sehingga tercipta hubungan saling membutuhkan.

”Makanya di Lasem hubungan Tionghoa-Jawa tidak pernah ada persoalan rasial seperti kota-kota lain. Mau dipecah belah, tapi kalau sudah jadi darah daging bagaimana. Bojoku yo wong Jowo, apa ya masih terpecah belah,” kata Njo Tjoen Hian.

Arsitek dan pemerhati budaya Tionghoa peranakan Widya Widjayanti mengemukakan, asimilasi melalui pernikahan memang bisa menjadi salah satu pemerkuat hubungan kedua komunitas ini. Apalagi, kedatangan orang Tionghoa di Lasem sudah berlangsung lama. Saat pertama kali datang ke tanah Jawa, orang-orang Tionghoa hanya laki-laki karena masih terikat tradisi dan teknologi transportasi yang terbatas.

Lanjut Widya, hubungan harmonis Tionghoa-Jawa di Lasem juga didukung kondisi perkotaan yang relatif kecil. Populasi penduduknya sedikit, mendorong hubungan sentripetal yang intensif. Hal ini mencegah munculnya sikap eksklusif.

”Ini juga bisa dijelaskan oleh psikologi lingkungan. Selain Lasem, juga ada kota-kota kecil lain yang hubungan Tionghoa-Jawa bisa harmonis seperti di Parakan. Hal ini yang agak sulit ditemukan di kota-kota besar,” kata Widya.

Indahnya keharmonisan di Lasem bukan tidak mungkin bisa berkembang di daerah lain bila ada keikhlasan hati untuk saling menerima.(Antony Lee/Adi Sucipto/Neli Triana)


antony lee;adi sucipto;neli triana

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/09/19/01425511/panji.margono.potret.harmonisasi.china-jawa

Selasa, 16 September 2008

Perlawanan Petani Pemulia Indramayu - Kompas 17-Sep-08 p1

Perlawanan Petani Pemulia Indramayu

KOMPAS/HARYO DAMARDONO
Joharipin (kiri) dan Muhamad Suryaman, keduanya petani dari Desa Jengkok, Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Kamis (11/9), memperlihatkan benih padi hasil persilangan yang mereka buat. Kedua petani ini sudah berhasil memuliakan benih walaupun baru dipakai sendiri dan tidak dikomersialkan.
Rabu, 17 September 2008 | 03:00 WIB


Oleh Haryo Damardono dan Hermas E Prabowo

Tatkala sebagian besar petani Indonesia terjebak dalam perangkap produsen benih maupun distributor sarana produksi pertanian, sekelompok petani di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, ”melawan”.

Esensi perlawanan mereka dalam bentuk pembuktian diri bahwa mereka mampu meminimalisasi ketergantungan.

”Ada kenikmatan tersendiri melihat hasil penyilangan yang bagus. Petani jadi tambah semangat tiap kali mau ke sawah,” ujar Muhamad Suryaman (27) dengan mata berbinar-binar.

Petani Desa Jengkok, Kecamatan Kertasemaya, itu bersama beberapa petani dari Kelompok Karya Peduli Tani sudah beberapa musim tanam ini tidak lagi membeli benih padi.

Mereka memproduksi benih sendiri. ”Ketika panen, kami memilih padi terbaik lalu menyimpan di lumbung untuk ditanam kembali,” ujar Muhamad.

Di Indramayu, selain Kelompok Karya Peduli Tani, ada 13 kelompok lain yang tersebar di 14 kecamatan. Mereka berkelompok mempelajari ilmu pemuliaan, morfologi tanaman dan bunga lengkap dengan perhitungan usaha taninya untuk mengembalikan dan melestarikan kekayaan keragaman genetik tanaman padi.

Introduksi varietas padi ”unggul” di negeri ini memang telanjur mengikis varietas lokal.

Padahal, ada nilai unggul dari varietas lokal, yang boleh jadi diidamkan petani, terlebih, varietas lokal telah beradaptasi dengan lahan pertanian setempat sehingga ketika disilangkan, diharapkan memproduksi lebih banyak gabah atau buah padi. Lebih banyak gabah artinya petani lebih sejahtera.

Adalah Yayasan Farmers’ Initiative for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD) Indonesia, yang menginisiasi petani Indramayu sejak tahun 2002.

”Tidak mudah mengajak petani mengembangkan diri. Sejak zaman Orde Baru, petani selalu dijadikan obyek. Tidak pernah diarahkan untuk mandiri,” ujar Wiwik Sriyanti, staf FIELD di Indramayu. Pertanyaan yang kerap dilontarkan petani adalah ”Mau kasih bantuan apa?”

Untuk membangkitkan petani, diadopsi metode ”sekolah lapangan”. Petani dikumpulkan sekali seminggu selama satu musim tanam (12 minggu) untuk mengamati dan mendiskusikan padi. ”Dalam waktu singkat, mereka memimpin. Ternyata, petani lebih ahli daripada kami. Kapan wereng bertelur saja, mereka tahu,” ujar Rendra Kusuma W, staf FIELD.

Joharipin (33), petani Desa Jengkok, kini telah berhasil mengembangkan galur benih yang diidamkannya. Dinamai Bongong, benih itu hasil persilangan varietas Kebo dan Longong.

Karakteristik produksi dari padi Bongong adalah kerontokan sedang, tahan kerebahan, pulen, warna beras lebih benih, tahan hama wereng dan kresek, dengan potensi hasil 12,8 ton gabah kering panen per hektar.

Padi Bongong telah ditanam di lahan seluas hampir 80 hektar. Produktivitas tinggi menarik perhatian sesama petani. Padahal, awalnya Joharipin dicemooh. Dituduh gila hanya karena menanam padi persilangan sendiri yang pada awalnya sifat tanaman belum stabil. Ia juga menyalahi ”prinsip umum pertanian”, yakni menanam padi harus menyemprotkan pestisida.

Menolak penangkaran

Cemoohan petani lain di Desa Jengkok kini berbuah pujian bagi Joharipin. Padi Bongong F7 hasil pemuliaan Joharipin tidak hancur saat tanaman padi varietas Ciherang di Indramayu diterjang hama penyakit pada musim tanam lalu. Dengan demikian, bukan hanya petani yang tertarik, tetapi pamong desa pun tertarik.

Joharipin mengisahkan, seorang camat pernah menawarkan penangkaran benih. ”Camat itu minta agar saya tanda tangan di atas kertas segel. Tetapi, saya tolak karena benih itu belum tentu cocok di lokasi lain,” katanya.

Menurut Joharipin, penangkaran lalu penjualan benih sama artinya mengingkari kesepakatan awal dari keikutsertaannya dalam program ini. Salah satu tujuan pemuliaan benih, kata Joharipin, adalah menghilangkan ketergantungan benih dari pihak lain. Ia tidak ingin berperilaku layaknya produsen benih.

Saat ini Pemerintah Kabupaten Indramayu, yang awalnya antipati terhadap petani pemulia benih, perlahan menunjukkan keberpihakannya. Dana pun dikucurkan untuk membiayai sekolah lapangan, dengan materi dan kurikulum yang disediakan Yayasan FIELD Indonesia. Tidak kurang enam kelompok sedang menempuh pendidikan di enam sekolah lapangan.


dan hermas e prabowo

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/09/17/01522177/perlawanan.petani.pemulia.indramayu

Sjamsoe oed Sadjad: Publikasi atau Mati! - Kompas 17-Sep-08 p16

Sjamsoe oed Sadjad: Publikasi atau Mati!
Rabu, 17 September 2008 | 03:00 WIB

Oleh ST SULARTO

Membuat publikasi atau mati! Itulah tekad Prof Dr Sjamsoe’oed Sadjad, pakar ilmu benih generasi pertama Indonesia. Ilmuwan harus dikenal, baik ilmu maupun dirinya. ”Kalau tidak, ia akan mati,” katanya. Moto hidupnya: berjuang, belajar, bersyukur.

Tekad hidup itu yang membuat Sjamsoe’oed Sadjad atau Pak Sjam senantiasa tabah. Dalam musibah gempa dan tsunami Aceh, 26 Desember 2004, dua cucu dan salah satu anaknya, Roza, termasuk di antara lebih dari 119.000 korban.

”Hari Kamis, Roza dan suaminya, Mahdi, datang ke rumah ini. Roza ada urusan proposal di IPB untuk tahap kedua rencana penelitiannya. Sabtu pagi, mereka saya antar ke stasiun bus di Baranangsiang untuk lanjut ke Cengkareng. Mahdi mampir di Medan, Roza langsung ke Aceh. Pagi hari Roza dan kedua cucu saya terempas dan hilang.”

Terbata-bata Pak Sjam dengan air mata menggenang di pelupuk, mengisahkan musibah itu. ”Senin pagi saya telepon Kompas. Menanyakan informasi tentang Roza dan cucu saya, Maurin (6) dan Tazki (2). Mengapa Kompas? Karena Kompas punya aset sumber informasi. Ternyata Kompas pun kehilangan wartawannya di Banda Aceh (Nadjmuddin Oemar),” kata Pak Sjam di rumah dinasnya, Kampus Darmaga, Bogor, Jumat (12/9).

”Saya terima musibah sebagai cobaan agar tetap tabah. Banyak orang lain lebih menderita. Saya ikhlas.”

Di rumah dinas yang diarsiteki Bung Karno, ukurannya lebih besar dari ukuran standar rumah dinas dosen IPB. Di keheningan dan kesejukan kampus yang luasnya lebih dari 250 hektar, keluarga Pak Sjam menetap sejak 1964. Di rumah itu, ia bersama Retno Winarni, istrinya yang meninggal tahun 2000, membesarkan keempat anaknya.

”Mereka semua sudah tinggal bersama keluarga masing-masing. Saya tinggal bersama salah satu cucu di sini.”

Lagi-lagi air mata kakek 10 cucu ini mau jatuh. Kepergian Roza dan kedua anaknya ia rasakan menyentak. Sementara sang istri ”pergi”, setelah didahului cuci darah selama setahun, dan terbaring sakit tiga tahun.

”Anggap saja itu kisah, dan menjadi bagian dari otobiografi saya. Insya Allah buku segera selesai. Dalam buku itu saya tidak sebut nama satu orang pun agar tak ada yang sakit hati. Saya menulis refleksi pengalaman, judulnya Perjalanan Hidup. Antara Narcisism and Inferiority Complex.

”Judul itu semoga bisa mewakili karakter saya,” tambahnya sambil menyorongkan naskah setebal 100 halaman. ”Sebelum saya berumur 78 tahun, Juni tahun depan, buku ini sudah terbit. Ini merupakan buku ke-19 atau ke-20.”

Publish atau perish membuat Pak Sjam tertantang terus menulis. Di saat menunggu istrinya cuci darah atau dirawat di RS Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta, pun ia menulis. Baginya, menulis artikel, makalah atau buku adalah totalitas hidup. Ia merasa berbagi pengetahuan dengan orang lain.

Sejak istrinya meninggal, semua naskah ditulis tangan. ”Jari manis tangan kiri saya tak bisa diperintah otak. Otak meminta ketik huruf s atau d, jari tengah mengetuk huruf f atau g. Tapi itu tak soal, pegawai saya sudah hafal tulisan tangan saya. Hasil ketikannya nyaris tak ada yang meleset. Saya tinggal koreksi kecil saja,” katanya.

Menulis dan melukis

Menulis artikel pertama di majalah Gema Islam sampai 1964, hingga pertengahan September 2008, sudah 289 artikel Pak Sjam dimuat di media massa. Periode paling produktif dirasakannya pada 1981-1982, rata-rata satu artikel dimuat media setiap 1,5 bulan. Hasil karya berbentuk buku sebanyak 17 judul, tak termasuk novel berbahasa Inggris, Mama is an Angel, ode untuk istri tercinta.

Pak Sjam juga melukis. ”Melukis dan menulis itu sama,” ucapnya.

Bedanya, menulis bisa diteruskan selagi belum selesai, sedangkan melukis tak bisa ditunda atau dihentikan untuk diteruskan pada kesempatan lain.

”Melukis harus sekali jadi. Saya melukis sekadar meluapkan gagasan dan keinginan yang menggebu untuk ditorehkan di kanvas,” katanya. Beberapa tahun lalu, di samping garasi rumah, ia membangun sanggar. Ketika tenaga dimakan usia, hobi melukis terhenti.

”Baik dan buruk itu soal selera,” katanya sambil menunjukkan beberapa lukisan dengan media cat minyak di ruang tamu.

”Ketika istri saya di rumah sakit, saya berikan beberapa lukisan ukuran besar untuk dipasang. Mereka setuju. Beberapa bulan lalu saya ke RSPAD, dan lukisan itu masih tergantung,” tambahnya.

Menulis dan melukis bagi Pak Sjam, ahli ilmu benih, adalah bagian dari upaya terus memperkenalkan diri agar tak hilang dari peredaran. Lewat menulis di media massa dan buku, ia memperoleh legitimasi sebagai ilmuwan.

Kegiatan yang nyaris sebagai ”kompensasi cerdas” itu pula kiatnya saat dicopot dari jabatan Dekan Fakultas Pertanian IPB. Saat dipojokkan oleh mereka yang ia sebut pressure group, saat ia merasa mengalami pembunuhan karakter, ketika ia tak bisa menerima adanya ”pelacuran fakta sejarah”.

Hal yang terakhir itu membuatnya marah. ”Saya tahu persis Presiden Soekarno tidak menanam pohon cemara, tetapi meletakkan batu pertama pembangunan Kampus Darmaga tahun 1961. Kok ditulis pohon cemara ini ditanam Presiden RI Ir Soekarno. Saya menjadi MC acara tersebut,” katanya. Pohon cemara dibiarkan hidup, tetapi papan nama berupa prasasti dengan tulisan asal-asalan itu akhirnya dicopot.

Benih di mata Prof Sjamsoe’oed Sadjad berarti sumber kehidupan. Dari benih dilakukan pemuliaan tanaman. Benih dijadikan kampanye politik tak hanya sekarang. Petani dan masyarakat sebenarnya pemulia benih yang utama. Sebesar 60 persen benih dihasilkan petani.

Sebagai ahli sosiologi pertanian, Pak Sjam mengimpikan desa dan industri itu univalen, bukan ekuivalen. Untuk itu, butuh dekonstruksi paradigma kebijakan tentang pembangunan, sebuah paradigma agropolitik. Dalam istilah sesama kolega di IPB, sebagai negara agraria yang tak boleh mengingkari pertanian (Sediono MP Tjondronegoro) atau tercukupinya pangan lewat usaha pertanian (Sayogyo).




Netty Sianturi, dari Pramugari Menjadi Petani - Kompas 16-Sep-08 p16

Netty Sianturi, dari Pramugari Menjadi Petani
Selasa, 16 September 2008 | 03:00 WIB

Oleh KHAERUDIN

Tahun 1996 Netty Sianturi menyewa lahan di Saribu Dolok, Simalungun, Sumatera Utara. Ia lalu bertanam tanaman usia pendek, seperti kentang hingga ubi taiwan. Aktivitas bertani dilakukannya sendiri, mulai dari mencangkul, menyiangi lahan, memupuk tanaman, hingga memanen hasilnya.

Padahal, sebelumnya tak pernah terlintas di benaknya bakal menjalani hidup dengan bertani. Mantan pramugari Garuda Indonesia ini mengaku ”hanya” meneruskan semangat suaminya, almarhum Djahormat Sumbayak, yang gemar melihat aktivitas pertanian, tetapi tak mau langsung bertani.

Tak lagi bertugas sebagai pramugari Garuda Indonesia pada 1983, Netty menjadi ibu rumah tangga. Ia ikut ke mana sang suami bertugas, mulai dari Manado, Malang, Kudus, Ambon, hingga pensiun di Pematang Siantar.

”Saya sempat ingin membuka butik, salon, hingga sanggar senam, tapi suami tak mengizinkan. Waktu saya bilang pengin bertani, suami langsung setuju dan langsung menyewakan lahan di Siborongborong,” ceritanya.

Awalnya Netty memilih bertani karena ingin menyalurkan semangat sang suami. Namun, justru aktivitas bertani yang membuat dia berkenalan dengan salah satu distributor pupuk kimia di Sumatera Utara. Salah satu strategi pemasaran distributor tersebut adalah mengajak petani ”studi banding” ke daerah pertanian lain. Netty sempat ikut ”studi banding”. Ia belajar bertanam jeruk siam madu (disebut juga jeruk medan) di Karo.

Lahan seluas 12 hektar yang disewanya dari penduduk di Desa Lobu Tua, Kecamatan Siborongborong, Tapanuli Utara, selain palawija dan sayuran, juga ditanami jeruk. Awalnya ia menanam jeruk di areal seluas 2 hektar. Pada tahun 2000 lahan yang dia sewa itu setahap demi setahap dibelinya.

Tak ada masalah berarti yang dihadapinya. Sampai suatu ketika Netty, seperti juga nasib para petani Indonesia lain, merasa tidak berdaya dengan tingginya harga sarana produksi seperti pupuk. Pada saat bersamaan, harga jual produk pertanian sulit menutup ongkos produksi yang dia keluarkan.

Dalam dua tahun terakhir, pupuk kimia menjadi momok menakutkan bagi petani. Harga pupuk kimia non-subsidi melambung tinggi, sementara pupuk kimia bersubsidi hilang di pasaran. Kondisi ini membuat Netty harus memutar otak.

Koperasi kredit

Beruntung, ia menjadi anggota koperasi kredit atau credit union (CU) Satolop Siborongborong. Salah satu kewajiban anggota CU Satolop yang membedakan dengan CU lain di Sumut adalah banyaknya frekuensi pelatihan yang mesti diikuti. Netty, misalnya, pernah mengikuti pelatihan pembuatan kompos bokasi atau bahan kompos yang difermentasikan dengan perlakuan bakteri.

Ia teringat pada hasil pelatihan tersebut. Apalagi pada saat yang sama, harga pupuk kimia non-subsidi, kata Netty, tak mungkin memberi untung meski saat panen jeruk sekalipun. Dia lalu mencoba mempraktikkan pelajaran dari pelatihan itu. Sebuah gudang kosong dekat kebun jeruknya dijadikan tempat mengolah kompos.

Netty mencampur bahan-bahan kompos, seperti kotoran sapi, humus, hingga bekas sisik ikan yang telah dibersihkan. ”Saya sebut itu ikan busuk karena memang baunya menyengat hidung.”

Untuk membuat bokasi, ia mencampur kotoran sapi, humus, ikan busuk, dedak, hingga sekam padi. Semua bahan tersebut diaduknya menjadi satu.

”Adonan itu harus diaduk setiap hari, selama minimal delapan hari. Setelah semua bahan kompos ini tercampur baru ditambahkan satu botol zat pengurai, berupa mikro organisme khusus,” katanya.

Selama masa pencampuran delapan hari, suhu kompos mencapai titik paling panas. Netty Lalu mengaduk tumpukan kompos itu dengan cangkul. ”Dari bertani seperti ini, saya bisa membiayai kuliah anak-anak,” ujarnya bangga.

Pupuk organik

Sejak mulai menggunakan pupuk organik, dua kali Netty sudah memanen hasil jeruknya. Menurut dia, menggunakan pupuk organik ternyata jauh lebih menguntungkan petani daripada menggunakan pupuk kimia.

Dari sisi ongkos atau biaya operasional yang mesti dikeluarkan, misalnya, menurut Netty, petani bisa sangat berhemat. Meski untuk itu petani harus mau bersusah payah mengolah bahan organik menjadi pupuk.

”Untuk mendapat 1,5 ton pupuk organik, paling-paling saya mengeluarkan biaya sekitar Rp 2,4 juta. Itu sudah termasuk ongkos untuk pekerja yang membantu mengolah kompos, sedangkan kalau saya beli 1,5 ton pupuk NPK dengan harga sekarang, biayanya bisa mencapai Rp 15 juta,” ujarnya.

Selain itu, dengan pupuk organik, hasil panen pun menunjukkan peningkatan. ”Kalau dulu dengan pupuk kimia, satu hektar kebun jeruk hasil panennya 50 ton, kini dengan pupuk organik hasilnya meningkat menjadi 60 ton.”

Berbagai keuntungan itu membuat ibu lima anak perempuan ini makin giat membagi pengalamannya kepada petani lain. Netty menjadi pionir petani pengguna pupuk organik di Tapanuli Utara. Ia tak hanya menggunakan pupuk organik di kebun jeruk, tetapi juga di ladang jagung. Ia pun dengan halus menolak ajakan ”studi banding” dari distributor pupuk kimia.

Pelaksana Manager Pusat Koperasi Kredit Sumut Robinson Bakara mengungkapkan, keberhasilan Netty menjadi semacam pemicu bagi petani anggota CU di Sumut untuk lepas dari jerat masalah pupuk kimia, baik yang bersubsidi maupun non-subsidi. Pusat Koperasi Kredit Sumut pun memfasilitasi ribuan anggota yang ingin belajar memakai pupuk organik seperti di ladang Netty. Ladang tempat Netty bertanam jeruk dan jagung juga dijadikan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara sebagai kompleks pengembangan agropolitan.

Berbeda dengan ladang milik Netty, lahan milik pemerintah daerah malah dibiarkan terbengkalai. Sebuah bangunan baru yang rencananya dijadikan pusat penjualan sayur-mayur hasil panen kompleks agropolitan Tapanuli Utara pun tak terawat. Rumput liar tumbuh di sekelilingnya.

Netty berujar, jika tempat itu tak dimanfaatkan pemerintah, ia ingin memanfaatkannya untuk berbagi dengan petani lain. Tempat tersebut akan dijadikannya sebagai pusat pelatihan petani organik. ”Salah satu bangunannya bisa dijadikan tempat membuat bokasi,” kata perempuan energik ini.



Senin, 08 September 2008

Kontes Ketangkasan Domba - Kompas 8-Sep-08 p40

Kontes Ketangkasan Domba
Senin, 8 September 2008 | 03:00 WIB

Di Jepang kita mengenal kontes keindahan ikan koi dan di Spanyol kita mengenal pertunjukan ketangkasan matador bertarung dengan banteng. Adapun di Indonesia, yaitu di Jawa Barat, kita mengenal kontes ketangkasan domba. Suatu kebudayaan rakyat yang telah mengakar secara turun-temurun.

Perbedaannya adalah matador Spanyol dan ikan koi Jepang telah dikenal luas turis mancanegara dan bahkan menyumbangkan devisa yang sangat besar dari sektor pariwisata

Sedangkan ketangkasan domba di Jawa Barat masih belum dikenal sebagai sebuah atraksi yang menarik bagi wisatawan mancanegara.

Bagi masyarakat Jawa Barat, ketangkasan domba merupakan warisan budaya nenek moyang yang telah mendarah daging dan menjadi atraksi yang selalu mengundang daya tarik yang besar dari segala lapisan masyarakat. Terakhir digelar di Lapangan Arcamanik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 24 Agustus 2008.

Memelihara domba merupakan sebuah kegemaran turun-temurun dan menjadi sebuah kebanggaan jika domba yang dipelihara berhasil menjadi juara dalam sebuah kontes ketangkasan. Domba-domba yang berhasil menjadi juara memiliki harga yang sangat tinggi, yaitu berkisar Rp 50 juta hingga Rp 100 juta per ekor.

Karena itu, tidak heran jika setiap kontes ketangkasan domba selalu diikuti oleh para tokoh masyarakat (inohong) dan para jawara dari seantero Jawa Barat.

Yang menarik dari kontes ketangkasan domba tersebut, semua peserta, baik pemilik maupun domba yang bertarung, memiliki sportivitas yang tinggi. Mereka patuh kepada wasit dan keputusan tim juri.

Selain itu, ketangkasan domba tersebut tidak dianggap sebagai kegiatan perjudian karena dalam kontes ketangkasan domba yang dinilai oleh tim juri adalah keindahan, kekuatan, dan keberanian dari domba-domba peserta kontes yang dapat dilihat melalui sebuah pertarungan sehingga para juri dapat memberikan penilaian secara obyektif.

Ketangkasan domba di Jawa Barat seharusnya dapat dijadikan daya tarik bagi turis mancanegara. Sayangnya, kegiatan tersebut masih belum dipromosikan secara profesional. Padahal, kontes ketangkasan domba dapat memberikan stimulus ekonomi di sektor pariwisata dan peternakan sehingga dapat menjadi salah satu sumber rezeki bagi rakyat, khususnya masyarakat Jawa Barat. Kontes itu juga sekaligus dapat melestarikan budaya warisan nenek moyang kita.

Laksamana Sukardi Politikus, Penggemar Fotografi


Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/09/08/01155931/kontes.ketangkasan.domba

Senin, 01 September 2008

Alimun, Penjaga Hutan Palolo - Sosok - KOMPAS 2-Sep-08

Alimun, Penjaga Hutan Palolo
Selasa, 2 September 2008 | 03:00 WIB

Reny Sri Ayu Taslim

Siang hari itu Alimun memperlihatkan buah-buah kakao dari kebunnya di Desa Bobo, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Dengan bangga ia menunjukkan buah-buah kakao yang rata-rata sebesar buah pepaya lokal.

Buah kakao itu ada yang berwarna kuning, ada yang merah tua. Semuanya tampak segar. Ini jauh berbeda dibandingkan dengan buah kakao biasa yang kecil dan kulit buahnya mengerut. Perbandingannya, bila 1 kilogram kakao lokal berisi 25 buah, kakao dari kebun Alimun 10-16 buah.

Buah-buah kakao di kebunnya adalah hasil sambung samping dan persilangan antara bibit kakao lokal dan bibit asal Jember dan dari beberapa daerah lain. Persilangan dan sambung samping dilakukan sendiri oleh Alimun.

Ada dua alasan mengapa ia bersemangat menerapkan sistem sambung samping pada tanamannya. Pertama, akibat serangan hama penggerek buah yang sudah bertahun-tahun menyerang tanaman kakao petani setempat dan hampir semua petani kakao di Sulteng. Hasilnya, selain mendapat batang dan buah baru dari pohon yang sama, hama penggerek buah juga sedikit demi sedikit teratasi.

Hal yang lebih penting, nilai jual kakao berkualitas bagus jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kakao biasa. Kalau kakao hasil sambung samping Alimun bisa menembus harga Rp 17.000 per kg, kakao biasa umumnya dihargai Rp 10.000 per kg.

Alasan lain, mengajak petani kakao dan warga setempat untuk bercocok tanam komoditas yang lebih menjanjikan. Alimun berharap petani atau warga setempat lebih berminat bercocok tanam dan tak lagi menebang pohon. Ia juga mengajak peladang berpindah yang kerap membabat hutan untuk kebun agar beralih menanam kakao.

Upayanya tak sia-sia karena banyak peladang berpindah yang lalu bercocok tanam secara menetap dan tak lagi masuk-keluar hutan, membabat pohon untuk kebun. Untuk usahanya ini, Alimun mendapat penghargaan dari Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan.

”Memang yang membabat hutan itu orang luar, tetapi kadang mereka memanfaatkan warga sini atau orang lain. Ya, namanya dijanjikan uang dalam jumlah banyak dan waktu yang tak lama, tentu banyak yang berminat. Ini tanpa memperhitungkan akibat dari kerusakan hutan. Nah, kalau tanaman kakao tumbuhnya bagus, harganya bagus, semoga mereka berminat menanam kakao dan meninggalkan pekerjaan membabat hutan,” ujarnya.

Tak hanya bercocok tanam kakao kualitas bagus, Alimun juga memelihara lebah hutan. Untuk ini, Alimun punya alasan sederhana. Sebab, lebah membutuhkan makanan dari hutan, mau tidak mau hutan harus dijaga. Selain itu, lebah berfungsi mengawinkan tanaman bunga, tanpa perlu tangan manusia.

Tentu saja madu hasil dari lebah hutan ini bernilai jual tinggi. Pasarnya jelas ada, bahkan kerap Alimun kewalahan memenuhi pesanan. Lebah pun bisa dimanfaatkan untuk pengobatan.

Apa yang ia lakukan, kendati pada awalnya tak digubris warga setempat, perlahan-lahan mulai diikuti orang. Warga mulai belajar sambung samping dan memelihara lebah hutan. Alimun juga membantu pemasarannya kendati dengan cara konvensional, promosi dari mulut ke mulut dan menitipkan barang kepada pedagang.

Menjaga hutan

Apa yang dilakukan Alimun adalah urusan menjaga hutan. Berada di kawasan sekitar Taman Nasional Lore Lindu, ia merasa bertanggung jawab ikut menjaga. Tanggung jawabnya tak sekadar karena ia menjadi Ketua Lembaga Adat Pitunggota Nagata Kaili di Desa Bobo, Kecamatan Palolo. Tanggung jawabnya juga karena kesadaran betapa penting menjaga hutan demi menyelamatkan lingkungan.

Sebagian hutan di sekitar Kecamatan Palolo yang juga tanah adat adalah bagian dari Taman Nasional Lore Lindu. Luasnya sekitar 48,5 hektar. Jadi, penjagaannya pun diserahkan kepada masyarakat dan lembaga adat setempat bersama petugas taman nasional.

Di Desa Bobo, Kecamatan Palolo, Alimun—melalui lembaga adat setempat—membentuk Badan Konservasi dan Penyelamat Hutan yang beranggotakan pemuda setempat. Dengan pemahaman pentingnya menjaga hutan, mereka rela bekerja masuk-keluar hutan tanpa bayaran.

Warga dengan senang hati melaporkan bila tahu ada aktivitas mencurigakan di hutan, semisal suara mesin gergaji. Melalui badan konservasi ini, informasi tentang aktivitas penebangan liar di hutan bisa cepat diketahui.

”Dalam perjalanan kami memantau hutan, sering kami dapati bagian di dalam hutan yang gundul. Saya sering berjalan-jalan di hutan dan melihat bagian dalam hutan itu sudah sangat rusak. Kadang kami bertemu dengan mereka yang menebang pohon. Kami lakukan pendekatan dan memberi mereka pemahaman,” ujarnya.

Pendekatan yang dilakukan Alimun, kendati membuat ia sampai harus menginap berhari-hari di hutan, menampakkan hasil. Setidaknya penebangan liar di sekitar desanya makin berkurang.

Sebagai Ketua Lembaga Adat Desa Bobo, Kecamatan Palolo, Alimun tetap menghidupkan petuah pendahulu tentang menjaga mata air dan hutan. ”Sejak tahun 1950-an kami punya aturan, apabila mata air dirusak, hutan diganggu, akan dihukum denda. Dendanya bisa berupa kambing, sapi, kerbau, dan lainnya. Kayu tebangan disita. Sampai sekarang ini masih dipatuhi,” tuturnya.

Bencana banjir

Kesadaran Alimun menjaga hutan bukan tanpa sebab. Bencana banjir yang melanda desanya pada 2003 dan 2004 membuka matanya betapa hutan mulai rusak.

”Kalau hutan di sini rusak, bukan hanya desa ini yang menerima dampaknya, melainkan juga Kota Palu. Banyak sungai dari daerah Donggala yang melewati Kota Palu dan bermuara di Teluk Palu. Kalau hutan di Donggala rusak, Palu yang letaknya di dataran rendah, paling parah terkena dampaknya,” katanya.

Alimun tak salah. Sejak beberapa tahun lalu sejumlah wilayah di Palu menjadi langganan banjir atau genangan air. Setiap kali hujan di wilayah Donggala, terutama di hulu sungai, sungai-sungai yang melewati jalan dan permukiman penduduk di Palu meluap.

Kenyataan ini pula yang membuat Alimun terus mencari cara untuk menggugah kesadaran warga atau penebang liar untuk menghentikan aktivitas menebang pohon. Bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat, ia aktif mengikuti berbagai pertemuan tentang lingkungan.

Alimun, Penjaga Hutan Palolo - Sosok - KOMPAS 2-Sep-08

Alimun, Penjaga Hutan Palolo
Selasa, 2 September 2008 | 03:00 WIB

Reny Sri Ayu Taslim

Siang hari itu Alimun memperlihatkan buah-buah kakao dari kebunnya di Desa Bobo, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Dengan bangga ia menunjukkan buah-buah kakao yang rata-rata sebesar buah pepaya lokal.

Buah kakao itu ada yang berwarna kuning, ada yang merah tua. Semuanya tampak segar. Ini jauh berbeda dibandingkan dengan buah kakao biasa yang kecil dan kulit buahnya mengerut. Perbandingannya, bila 1 kilogram kakao lokal berisi 25 buah, kakao dari kebun Alimun 10-16 buah.

Buah-buah kakao di kebunnya adalah hasil sambung samping dan persilangan antara bibit kakao lokal dan bibit asal Jember dan dari beberapa daerah lain. Persilangan dan sambung samping dilakukan sendiri oleh Alimun.

Ada dua alasan mengapa ia bersemangat menerapkan sistem sambung samping pada tanamannya. Pertama, akibat serangan hama penggerek buah yang sudah bertahun-tahun menyerang tanaman kakao petani setempat dan hampir semua petani kakao di Sulteng. Hasilnya, selain mendapat batang dan buah baru dari pohon yang sama, hama penggerek buah juga sedikit demi sedikit teratasi.

Hal yang lebih penting, nilai jual kakao berkualitas bagus jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kakao biasa. Kalau kakao hasil sambung samping Alimun bisa menembus harga Rp 17.000 per kg, kakao biasa umumnya dihargai Rp 10.000 per kg.

Alasan lain, mengajak petani kakao dan warga setempat untuk bercocok tanam komoditas yang lebih menjanjikan. Alimun berharap petani atau warga setempat lebih berminat bercocok tanam dan tak lagi menebang pohon. Ia juga mengajak peladang berpindah yang kerap membabat hutan untuk kebun agar beralih menanam kakao.

Upayanya tak sia-sia karena banyak peladang berpindah yang lalu bercocok tanam secara menetap dan tak lagi masuk-keluar hutan, membabat pohon untuk kebun. Untuk usahanya ini, Alimun mendapat penghargaan dari Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan.

”Memang yang membabat hutan itu orang luar, tetapi kadang mereka memanfaatkan warga sini atau orang lain. Ya, namanya dijanjikan uang dalam jumlah banyak dan waktu yang tak lama, tentu banyak yang berminat. Ini tanpa memperhitungkan akibat dari kerusakan hutan. Nah, kalau tanaman kakao tumbuhnya bagus, harganya bagus, semoga mereka berminat menanam kakao dan meninggalkan pekerjaan membabat hutan,” ujarnya.

Tak hanya bercocok tanam kakao kualitas bagus, Alimun juga memelihara lebah hutan. Untuk ini, Alimun punya alasan sederhana. Sebab, lebah membutuhkan makanan dari hutan, mau tidak mau hutan harus dijaga. Selain itu, lebah berfungsi mengawinkan tanaman bunga, tanpa perlu tangan manusia.

Tentu saja madu hasil dari lebah hutan ini bernilai jual tinggi. Pasarnya jelas ada, bahkan kerap Alimun kewalahan memenuhi pesanan. Lebah pun bisa dimanfaatkan untuk pengobatan.

Apa yang ia lakukan, kendati pada awalnya tak digubris warga setempat, perlahan-lahan mulai diikuti orang. Warga mulai belajar sambung samping dan memelihara lebah hutan. Alimun juga membantu pemasarannya kendati dengan cara konvensional, promosi dari mulut ke mulut dan menitipkan barang kepada pedagang.

Menjaga hutan

Apa yang dilakukan Alimun adalah urusan menjaga hutan. Berada di kawasan sekitar Taman Nasional Lore Lindu, ia merasa bertanggung jawab ikut menjaga. Tanggung jawabnya tak sekadar karena ia menjadi Ketua Lembaga Adat Pitunggota Nagata Kaili di Desa Bobo, Kecamatan Palolo. Tanggung jawabnya juga karena kesadaran betapa penting menjaga hutan demi menyelamatkan lingkungan.

Sebagian hutan di sekitar Kecamatan Palolo yang juga tanah adat adalah bagian dari Taman Nasional Lore Lindu. Luasnya sekitar 48,5 hektar. Jadi, penjagaannya pun diserahkan kepada masyarakat dan lembaga adat setempat bersama petugas taman nasional.

Di Desa Bobo, Kecamatan Palolo, Alimun—melalui lembaga adat setempat—membentuk Badan Konservasi dan Penyelamat Hutan yang beranggotakan pemuda setempat. Dengan pemahaman pentingnya menjaga hutan, mereka rela bekerja masuk-keluar hutan tanpa bayaran.

Warga dengan senang hati melaporkan bila tahu ada aktivitas mencurigakan di hutan, semisal suara mesin gergaji. Melalui badan konservasi ini, informasi tentang aktivitas penebangan liar di hutan bisa cepat diketahui.

”Dalam perjalanan kami memantau hutan, sering kami dapati bagian di dalam hutan yang gundul. Saya sering berjalan-jalan di hutan dan melihat bagian dalam hutan itu sudah sangat rusak. Kadang kami bertemu dengan mereka yang menebang pohon. Kami lakukan pendekatan dan memberi mereka pemahaman,” ujarnya.

Pendekatan yang dilakukan Alimun, kendati membuat ia sampai harus menginap berhari-hari di hutan, menampakkan hasil. Setidaknya penebangan liar di sekitar desanya makin berkurang.

Sebagai Ketua Lembaga Adat Desa Bobo, Kecamatan Palolo, Alimun tetap menghidupkan petuah pendahulu tentang menjaga mata air dan hutan. ”Sejak tahun 1950-an kami punya aturan, apabila mata air dirusak, hutan diganggu, akan dihukum denda. Dendanya bisa berupa kambing, sapi, kerbau, dan lainnya. Kayu tebangan disita. Sampai sekarang ini masih dipatuhi,” tuturnya.

Bencana banjir

Kesadaran Alimun menjaga hutan bukan tanpa sebab. Bencana banjir yang melanda desanya pada 2003 dan 2004 membuka matanya betapa hutan mulai rusak.

”Kalau hutan di sini rusak, bukan hanya desa ini yang menerima dampaknya, melainkan juga Kota Palu. Banyak sungai dari daerah Donggala yang melewati Kota Palu dan bermuara di Teluk Palu. Kalau hutan di Donggala rusak, Palu yang letaknya di dataran rendah, paling parah terkena dampaknya,” katanya.

Alimun tak salah. Sejak beberapa tahun lalu sejumlah wilayah di Palu menjadi langganan banjir atau genangan air. Setiap kali hujan di wilayah Donggala, terutama di hulu sungai, sungai-sungai yang melewati jalan dan permukiman penduduk di Palu meluap.

Kenyataan ini pula yang membuat Alimun terus mencari cara untuk menggugah kesadaran warga atau penebang liar untuk menghentikan aktivitas menebang pohon. Bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat, ia aktif mengikuti berbagai pertemuan tentang lingkungan.