Senin, 22 September 2008

Sediono MP Tjondronegoro - Ilmuwan "Plus" - Kompas 21-Sep-08

Ilmuwan "Plus"
Minggu, 21 September 2008 | 03:00 WIB

Sejak sang istri, Dr Puspa Dewi Tjondronegoro—biasa disapa Bu Pin oleh para mahasiswa—meninggal dunia delapan tahun lalu pada usia 56 tahun, Sediono Tjondronegoro hidup sendiri di rumahnya.

”Tadinya saya kira saya yang duluan karena saya lebih tua,” ujar Pak Tjondro.

Dua anak laki-lakinya sudah menikah dan tinggal di kota lain. Meski demikian, Pak Tjondro tak pernah kesepian. Ia masih terus bekerja, pergi ke lapangan, membantu organisasi nonpemerintah yang fokusnya pada masalah agraria dan kemiskinan, serta mengajar dan terus menulis.

Di kalangan ilmuwan dan aktivis muda, Pak Tjondro dikenal sebagai guru dan ilmuwan yang konsisten dengan prinsip kerakyatan. Tak heran apabila ulang tahunnya yang ke-80 dirayakan meriah oleh anak didiknya. Tiga buku tentang pemikiran Pak Tjondro dan biografinya diluncurkan pada perayaan itu. ”Saya cuma diminta hadir,” kata dia.

Noer Fauzi, aktivis masalah agraria, kandidat PhD dari Universitas Berkeley, Amerika Serikat, mendefinisikan Pak Tjondro sebagai ”ilmuwan plus”.

Pak Tjondro matang oleh berbagai bentuk perjuangan. Pada perang kemerdekaan, ia berjuang di garis depan, sampai jari tangan kirinya cacat kena pecahan mortir. Ia ”militan” memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat melalui kerja keilmuan, merumuskan kebijakan, dan pendampingan masyarakat.

Ia menolak masuknya politik dalam kerja keilmuan, karena ilmu harus memberi sumbangan bagi perbaikan siapa pun, tanpa sekat ras, golongan, agama, kelompok, atau jender.

Saling terkait

Pak Tjondro dilahirkan sebagai anak ketiga dari empat bersaudara anak pasangan Sutiyoso Sosrobusono—setelah menjadi Bupati Semarang tahun 1949 namanya menjadi Sutiyoso Tjondronegoro—dan Sumilah. Keluarga Tjondronegoro memiliki hubungan keluarga dekat dengan RA Kartini.

Sebagai ilmuwan, Pak Tjondro memahami tradisi ilmu di Eropa dan Amerika Serikat. Ketika di Belanda, ia dipilih menjadi asisten sosiolog terkemuka Belanda, Prof Wertheim. Di Wisconsin, Amerika Serikat, ia tidak aktif dalam organisasi mahasiswa, tetapi ikut demonstrasi menentang alumni dari universitas itu yang melamar kerja di Dow Jones, perusahaan kimia pembuat bom napalm untuk perang Vietnam. Padahal beasiswanya saat itu didapat dari bantuan Amerika Serikat (USAID).

Ia berpandangan ilmu sosial hanya relevan dan berkembang bila mampu memahami masalah di masyarakat, harapan rakyat, adat istiadat, dan kebahagiaan mereka. Oleh karena itu, diperlukan pengalaman langsung untuk terjun ke tengah masyarakat.

Ia juga teguh pada pendapat bahwa ilmu-ilmu sosial harus didudukkan dengan ilmu alam, karena interaksi manusia erat berkaitan dengan lingkungan alam. Pemikiran lintas dan multidisiplin ini dijiwai teori kesalingterkaitan (interconnectedness). Dalam buku biografinya, ia menyatakan terkesan pada pandangan ilmuwan fisika, Fritjof Capra, dalam buku The Turning Point: Science, Society and the Rising Culture (1982).

Sumbangan pemikirannya sangat berarti agar negeri ini tak terjajah untuk kedua kalinya. Kita berutang kalau tidak melanjutkannya! (MH/NMP)


mh;nmp

Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/09/21/01095420/ilmuwan.plus

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda