Selasa, 29 April 2008

TEMPO 28-Apr/4-Mei-2008: Riset atau Spionase (Opini)

Edisi. 38/IX/28 April - 04 Mei 2008
Opini

Riset atau Spionase

Banyak hal membuat kegiatan laboratorium Namru-2 di Jakarta kerap mengundang kecurigaan. Yang utama adalah statusnya sebagai bagian dari organisasi Angkatan Laut Amerika Serikat. Setelah itu, aktivitas para anggotanya yang rajin memburu virus penyakit ke seluruh pelosok Indonesia, termasuk daerah rawan dan terpencil. Ditambah lagi, personel militer AS yang bertugas ternyata memiliki paspor diplomat dan kadang mengirim atau menerima paket berisi virus dari dan ke berbagai kawasan dunia melalui jalur pos diplomatik. Laboratorium ini juga terkesan tertutup dan dijaga ketat. Walhasil, tak diperlukan daya imajinasi terlalu aktif bagi warga Indonesia untuk mencurigai lembaga ini sebagai bagian dari jaringan spionase Amerika Serikat di bidang senjata biologis.

Kecurigaan ini terbukti selalu muncul setiap kali terjadi perubahan pemerintahan atau pergantian pejabat tinggi di bidang keamanan atau kesehatan. Uniknya, kehebohan yang biasanya dimulai dengan perintah atau surat seorang pejabat baru untuk mengkaji ulang atau menutup Namru-2 selalu berujung pada kesenyapan. Kegiatan rutin institusi yang bekerja sama dengan badan penelitian dan pengembangan Departemen Kesehatan ini pun terus berlangsung, bahkan hingga kini.

Apa yang terjadi? Rupanya, setiap kali pengkajian dilakukan, termasuk yang baru saja dilakukan awak majalah ini, akhirnya disimpulkan bahwa berbagai kecurigaan itu ternyata berlebihan. Kendati berada di bawah Dinas Angkatan Laut Amerika Serikat, kegiatan utama Namru-2 adalah di bidang penelitian ilmu kesehatan. Personelnya pun hampir 90 persen warga Indonesia. Hasil penelitian mereka juga dilaporkan secara terbuka di jurnal ilmiah di bidang kedokteran.

Bahwa mereka pernah mengumpulkan sampel darah anggota TNI atau mengirim dan menerima virus, ternyata hal itu atas permintaan pihak berwenang nasional. Bahkan kehadiran Namru-2 pun karena permintaan Menteri Kesehatan Indonesia, yang meminta bantuan pemerintah Amerika Serikat mengatasi mewabahnya penyakit campak dan malaria, empat puluh tahun silam. Hasil kerja lembaga ini pun rupanya dikenal luas di dunia medis internasional. Buktinya, Organisasi Kesehatan Dunia, lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengakui Namru-2 sebagai referensi dalam memantau perkembangan virus penyakit menular seperti malaria dan flu burung.

Kinclongnya citra Namru-2 di kalangan medis internasional ini, sayangnya, tak selalu selaras dengan kepentingan nasional. Itu sebabnya kehadiran laboratorium ini di Indonesia memang perlu dikaji secara berkala. Kehadiran personel kesehatan dari Dinas Angkatan Laut Amerika mungkin bukan masalah pada saat Perang Dingin masih berlangsung dan kemampuan Organisasi Kesehatan Dunia belum memadai, empat dekade silam. Kini, ketika Perang Dingin telah usai dan kerja sama multilateral terus berkembang, fungsi Namru-2 mungkin lebih tepat diambil alih oleh lembaga yang mempunyai kemampuan sedikitnya sama di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pengambilalihan fungsi ini, jika dilakukan, tentu harus secara elegan. Pemerintah Indonesia dan Amerika perlu duduk bersama untuk menemukan cara yang paling optimal dalam mengembangkan kerja sama bilateral ini menjadi multilateral di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di antaranya adalah dalam mencari solusi agar negara berkembang memiliki akses untuk mendapatkan vaksin pencegah wabah penyakit dengan harga yang terjangkau.

Ini soal penting karena cukup sering terjadi perusahaan farmasi dari negara maju mengambil manfaat dari hasil riset lembaga internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia atau Namru-2 untuk membuat vaksin yang harganya tak terjangkau negara miskin. Padahal, penelitian yang menjadi sumber vaksin itu dilakukan di negara berkembang. Sungguh ironis, misalnya, jika rakyat Indonesia tak mampu membeli obat penangkal flu burung padahal vaksin itu dikembangkan dari virus yang berasal dari Indonesia.

Ironi ini dapat dicegah jika kesepakatan baru di antara lembaga riset dan industri farmasi internasional dapat disusun. Formula yang diterapkan sepatutnya mengacu pada kesepakatan bagi hasil kekayaan laut dalam perjanjian hukum laut internasional. Yaitu kekayaan bumi di wilayah internasional dibagi rata antara perusahaan yang menemukan serta mengelolanya dan lembaga yang mewakili kepentingan penduduk dunia.

Alternatif lain adalah meniru apa yang dilakukan Microsoft di Indonesia. Perusahaan teknologi informasi terbesar di dunia ini menjual produk versi bahasa Indonesianya dengan harga jauh lebih murah ketimbang versi asli. Ini membuat jauh lebih banyak rakyat Indonesia yang mampu mengakses program buatan Microsoft tanpa merugikan perusahaan Amerika itu. Soalnya, mayoritas pemakai produk berbahasa Indonesia tak mampu membeli versi asli, dan produk ini tak diperkenankan dijual di luar Indonesia.

Semangat mencari solusi cerdas seperti inilah yang kini seharusnya menjadi landasan dalam mengkaji ulang kehadiran Namru-2 di Indonesia. Bila ini dilakukan, berbagai kecurigaan dan teori konspirasi yang meracuni hu-bungan antara Indonesia dan Amerika Serikat dalam kasus Namru-2 akan hilang. Sebagai penggantinya adalah persahabatan yang tulus dan saling menguntungkan.

Senin, 28 April 2008

Kompas 29-Apr-08: Heboh Soal Namru (Opini Kartono Mohamad)

Heboh Soal Namru
Selasa, 29 April 2008 | 00:19 WIB

Kartono Mohamad

Sejak Perang Dunia I, terutama setelah Perang Dunia II, garis pertahanan Amerika Serikat tidak berada di wilayahnya sendiri, tetapi jauh dari daratan AS. Dengan demikian, musuh tidak akan dapat menjamah daratan AS.

Caranya dengan membangun pangkalan-pangkalan militer dan menempatkan kekuatan militernya di wilayah-wilayah negara lain, terutama kekuatan laut dan marinir. Maka, dikenal ada Armada I (daerah Panama dulu), Armada VI (di Timur Tengah), dan Armada VII di Asia Pasifik. Karena itu, mars Marinir AS diawali dengan kalimat ”From the hall of Montezuma, to the shore of Tripoli”.

Membawa risiko

Penempatan kekuatan militer di negara-negara lain, terutama daerah tropis, membawa risiko tersendiri. Mereka akan terpapar dengan berbagai penyakit yang tidak ada di AS, yang mungkin dibawa pulang dan menyebar di AS.

Untuk itu, mereka mendirikan pusat- pusat penelitian kedokteran di wilayah-wilayah itu, diberi nama Naval Medical Research Unit (Namru). Kalau tidak salah, pada awalnya ada tiga Namru. Tetapi, kini tinggal dua, yaitu Namru 1, berkedudukan di Cairo untuk mempelajari berbagai penyakit di wilayah Afrika dan Timur Tengah, dan Namru 2 terletak di Jakarta sebagai pusat penelitian mereka mencakup wilayah Indonesia, Filipina, Malaysia, Vietnam, Thailand, Kamboja, Laos, bahkan mungkin sampai Sri Lanka atau Nepal.

Dalam panduan (manual) untuk perwira medis AL-AS (US Navy Medical Officer) ada bab tentang medical intelligence. Kata intelijen memberi konotasi mata-mata. Namun, panduan itu mengatakan, para perwira kesehatan AL harus mengenali berbagai penyakit di wilayah pasukan ditempatkan. Data-data itulah yang dikumpulkan oleh Namru. Jadi, tidak ada kaitannya dengan spionase atau mata-mata.

Naif

Yang mempunyai unit penelitian kesehatan di militer bukan hanya AS. Singapura mempunyai Defence Medical Research Unit, yang melakukan penelitian berbagai penyakit yang dapat ”menyerang” penduduk Singapura serta menyusun strategi penanggulangannya jika penyakit semacam itu masuk ke Singapura.

TNI juga mempunyai lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) yang di dalamnya ada unit penelitian kesehatan. Dulu litbang kesehatan TNI AL (dulu ALRI) melakukan penelitian tentang efek udara tertutup di kapal selam bagi kesehatan awak kapal serta mencari suhu optimal untuk bekerja di kapal selam.

Atas keadaan itu, ungkapan Menkes Siti Fadilah yang mengatakan, ”penelitian kesehatan, kok, di bawah militer” terasa naif. Sebagai peneliti, ia seharusnya memahami, militer pun boleh melakukan penelitian di bidang kesehatan sesuai dengan kepentingan mereka.

Mengingat Namru merupakan bagian AL AS, dulu mitra kerjanya yang terdekat adalah TNI AL. Penelitian yang dilakukan dalam kerja sama dengan TNI antara lain penelitian malaria di Papua yang bukan hanya dengan TNI AL (Lantamal V), melainkan juga dengan TNI AD, pada awal tahun 1990-an.

Dari penelitian itu diketahui seberapa besar parasit malaria di Papua yang sudah kebal terhadap obat-obat antimalaria yang konvensional. Kalau tidak salah, hasil penelitian ini juga dilakukan bersama Litbangkes dan P2MPLP Depkes yang menghasilkan perubahan kebijakan obat antimalaria Depkes dan diagnosis cepat untuk malaria (Rapid Test).

Maka, juga amat naif jika dikatakan, Namru 2 tidak bekerja sama dengan lembaga Pemerintah RI. Yang juga disayangkan adalah mengapa para pejabat Depkes yang terlibat kegiatan Namru, seperti Litbangkes dan P2MPLP, tak memberi masukan kepada Menkes sehingga beliau tidak mengambil kesimpulan terlalu cepat. Sebab, banyak kegiatan Namru lainnya yang dilakukan bersama Depkes, selain dengan berbagai perguruan tinggi.

Spionase

Cerita tentang spionase ini menarik dan penuh thrill. Bahwa Namru bisa dijadikan tameng kegiatan spionase, bisa-bisa saja. Yang aneh adalah beberapa pejabat yang dulu berkuasa di bidang intelijen baru sekarang melemparkan tuduhan atau dugaan, padahal Namru 2 sudah lebih dari 20 tahun ada di Indonesia.

Menjadi pertanyaan mengapa saat mereka menjabat tidak melakukan tindakan jika memang menemukan bukti bahwa Namru 2 melakukan kegiatan spionase.

Kegiatan spionase negara asing terhadap tuan rumah bukan hal baru dan dilakukan melalui berbagai cara. Tidak hanya dengan menggunakan lembaga resmi. Jepang dulu menggunakan tukang potret, penjual mainan, dan pedagang kecil untuk memata-matai Belanda di Indonesia. Bahkan, kini menggunakan teknologi canggih, seperti satelit dan lainnya. Bukan tidak mungkin Israel mempunyai spion di Indonesia. Pejabat intelijen Indonesia tentu mafhum dengan berbagai cara spionase itu. Menjadi tugas lembaga kontra spionase Indonesia untuk melakukan tindakan jika diketahui ada spion asing memata-matai Indonesia. Bukan hanya berbicara setelah lepas dari jabatan itu.

Mungkin ada baiknya, secara terbuka para pejabat tinggi negara berkomunikasi dengan Namru 2, menanyakan hasil penelitiannya, apa yang sudah mereka sumbangkan untuk Indonesia. Ada baiknya juga ditanyakan kepada peneliti Indonesia yang bekerja, atau pernah bekerja sama, atau dibantu Namru. Jangan lupa, Namru adalah lembaga penelitian, bukan penindakan. Jadi, jika saat KLB Demam Berdarah, yang ditanyakan kepada Namru adalah sumbangan apa yang mereka berikan kepada Depkes dalam mendeteksi atau mengantisipasinya. Sementara penindakan atau pencegahan KLB menjadi tanggung jawab Depkes. Jangan sampai ucapan pejabat tinggi itu bak menepuk air di dulang tepercik muka sendiri.

Sebelum mengambil keputusan tentang Namru, ada baiknya dibuat neraca plus- minus bagi dunia kesehatan dan kedokteran Indonesia tanpa diselimuti kebencian atau memanfaatkan demi popularitas. Kebencian terhadap AS, terutama pemerintahan di bawah Bush, dapat dipahami. Namun, kebencian jangan berlebihan karena bertentangan dengan ajaran agama.

Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia

Minggu, 27 April 2008

Kompas 28-Apr-08: Fred, Pengabdian Tanpa Henti

Fred, Pengabdian Tanpa Henti
Senin, 28 April 2008 | 01:56 WIB

Antony Lee

Ia merintis Seksi Pemadam Kebakaran di Kota Salatiga, Jawa Tengah, dan telah bergumul dengan air dan api lebih dari 20 tahun. Ia pensiun tahun 2002. Alih-alih berkumpul bersama anak dan istri di Kebumen, hingga sekarang Fred memilih tetap mengabdi dengan upah sekadarnya. Dia memaknainya sebagai pengabdian seorang abdi negara.

Ditemui di salah satu ruang Seksi Pemadam Kebakaran Kota Salatiga, laki-laki bernama lengkap Fred Patty Kareth (62) ini masih sibuk menanyakan jadwal jaga malam itu. Ketika mengetahui ada petugas yang tak hadir, ia mengungkapkan kekecewaan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak lantaran statusnya yang sekadar diperbantukan.

Tenaga Om Fred, begitu ia disapa, lebih untuk pelatihan terkait pemadaman api untuk instansi sipil maupun militer, termasuk peragaan kepada siswa sekolah. Akan tetapi, tak jarang pula dia harus ikut terjun ke lapangan bila kondisi mendesak dan personel kurang.

Dengan status diperbantukan sejak tahun 2006, setiap bulan Om Fred mendapat upah Rp 150.000. Sebelum itu, selama empat tahun sejak pensiun tahun 2002, Om Fred dikontrak dengan upah bulanan Rp 175.000, dan setiap tahun meningkat hingga pada akhir kontrak upahnya Rp 350.000 per bulan. Kadang ia mendapat uang insentif.

Dari sisi upah, yang diperolehnya relatif tak seberapa. Padahal, Om Fred bisa menolak diperbantukan dan memilih bersantai dengan uang pensiun sekitar Rp 900.000 per bulan.

”Saya justru merasa bersyukur karena masih dibutuhkan. Memang lebih baik berkumpul dengan keluarga, tetapi ini panggilan sebagai aparatur negara untuk melayani masyarakat,” tuturnya.

Istri dan kedua anak Om Fred berada di Gombong, Kebumen, tempat istrinya mengajar sebagai guru. Selama di Salatiga, ia tidur di ruang jaga Pemadam Kebakaran beralaskan kasur lipat, bersama beberapa petugas jaga. Ia cukup mengeluarkan uang Rp 3.000 untuk sekali makan dengan lauk seadanya.

Bila rindu keluarga, Om Fred pulang ke Kebumen, atas izin pimpinan. Dalam sebulan ia dituntut berjaga di Salatiga selama 10 hari, tetapi tak jarang sampai 20 hari bila dibutuhkan. Sisa waktu itulah yang dia habiskan bersama keluarga di Kebumen.

Sejak mahasiswa

Awal perkenalan Om Fred dengan dunia pemadam kebakaran terbilang unik. Pada Agustus 1977 Fred Patty Kareth adalah mahasiswa di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Suatu malam, sekitar pukul 23.00, dia berkeliling mencari makanan dan melewati Pasar Raya I. Tiba-tiba ia melihat ada bagian kios yang terbakar. Dia mencoba mencari sumber apinya. Karena tak bisa memadamkan api, dia menghubungi polisi.

Selang beberapa bulan kemudian, peristiwa serupa terjadi lagi. Ketika pulang dari gereja, di sekitar Blotongan, Sidorejo, ia melihat rumah terbakar. Waktu itu belum ada petugas pemadam kebakaran profesional dan hanya ada satu mobil pemadam kecil milik salah satu perusahaan. Fred berkoordinasi dengan warga, bergotong-royong memadamkan api.

”Saya belum tahu teknik memadamkan api. Saya hanya minta warga berjejer dan berantai air diserahkan. Kalau setiap orang langsung ambil air dan menyiram, lama sekali,” kenangnya.

Peristiwa ini terdengar Wali Kota Salatiga saat itu, Ragil Pudjono. Maka, tahun 1980 Fred diminta menjadi staf honorer Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Salatiga. Tiga tahun kemudian dia diminta mengikuti pelatihan petugas pemadam kebakaran di Jakarta, selama tiga bulan. Ia menduduki peringkat 10 besar dan Salatiga mendapat hadiah satu mobil pemadam kebakaran yang dikirimkan beberapa bulan seusai pelatihan.

Baru dua hari kembali dari pelatihan, kebakaran melanda toko roti terbesar di Salatiga, Wonderai. Berbekal mobil sumbangan perusahaan swasta dan seorang sopir, ia menuju lokasi. Dibantu warga setempat, Fred berhasil memadamkan api.

”Saya berpikir, apa ini jalan yang ditunjukkan Tuhan, inilah pekerjaan yang cocok untuk saya,” ujarnya.

Awal tahun 1984 Fred yang masih pegawai honorer menerima surat keputusan wali kota, ia diangkat sebagai Kepala Seksi Pemadam Kebakaran, jabatan yang diembannya hingga pensiun. Dia diangkat menjadi PNS tahun 1996.

Selama bertugas hingga kini, dia sangat disiplin. Meski selalu berhadapan dengan api dan bahaya, ia seakan tak takut. Laki-laki kelahiran Timinapua, Kabupaten Sorong, Papua, ini berkata, selama bertugas ia tak pernah lupa prinsip dasar: kehati-hatian, kecepatan, ketangkasan.

Namun, masih ada hal yang merisaukannya. Menurut Om Fred, lembaga ini seharusnya berstatus kantor. Status sebagai seksi yang menginduk kepada Dinas Pekerjaan Umum membuat standar minimum tak bisa terpenuhi.

Personel, misalnya, sesuai aturan standar, setiap hari ada tiga regu. Masing-masing regu beranggota minimal enam orang. Namun, total petugas hanya 13 orang, jauh dari ideal. Malah sebagian besar petugas pemadam kebakaran pun berusia di atas 40 tahun.

”Itu impian saya yang belum terwujud, melihat pemadam kebakaran minimal berstatus kantor,” ungkapnya.

Sabtu, 19 April 2008

Kompas 20-Apr-08: Dja'far Shiddieq Menolak Menggadaikan Ilmu

Dja'far Shiddieq Menolak Menggadaikan Ilmu
FOTO-FOTO: KOMPAS/AHMAD ARIF / Kompas Images
Minggu, 20 April 2008 | 12:32 WIB

Maria Hartiningsih/ Ahmad Arif/ Sri Hartati Samhadi

Perjalanan sebagai ilmuwan mengajari Dr Ir Dja’far Shiddieq, MSc (60) untuk selalu berhati-hati melangkah. Dua pertanyaan yang berdiam di ruang batinnya adalah, ”Kalau ilmuwan sudah menggadaikan ilmunya, apa lagi yang tersisa? Apa yang bisa dibanggakan kalau saya mengkhianati nurani saya?”

Perbincangan dengan ahli Ilmu Tanah dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada itu menjadi seperti oase yang menyegarkan. Udara petang terasa sejuk di rumahnya yang asri di sebuah perkampungan di bagian Utara kota Yogyakarta.

Semua pernyataan itu terkait dengan pembelaannya pada petani lahan pasir di pesisir Pantai Selatan Yogyakarta. Saat ini ribuan petani di wilayah itu berhadapan dengan kekuasaan yang menghendaki konversi lahan pertanian yang telah digarap selama belasan tahun, menjadi kawasan penambangan biji besi berskala besar.

Dja’far memulai penelitian di Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo sekitar tahun 1996-1997 karena tertarik pada pengembangan pertanian di kawasan yang gumuk pasirnya bergerak itu. Tiga tahun terakhir ini secara rutin ia membawa mahasiswanya ke desa itu untuk berguru langsung pada petani.

Ia juga mengundang Sukarman, petani yang merintis pertanian lahan pasir untuk menjadi menjadi ”dosen” di kelas, mengajar mata kuliah Pengelolaan Tanah.

”Biar mahasiswa tahu bahwa ilmu di kampus bukan segala-galanya. Ada ilmu di luar itu, seperti kearifan lokal yang bisa diangkat. Mahasiswa puas, Pak Karman pun merasa ada ilmunya yang bisa dibagikan,” ujar Dja’far.

Wilayah Bugel menjadi laboratorium hidup yang tak hanya berguna bagi pendidikan pertanian untuk para mahasiswa, tetapi terutama memperlihatkan kepada mereka realitas sosial yang berpunggungan dengan asumsi umum bahwa petani bodoh, picik dan malas; bahwa desa adalah wilayah yang tertinggal dan karena itu ditinggalkan; bahwa sektor pertanian tak lagi memberi harapan.

”Di Fakultas pertanian di mana pun jumlah mahasiswa turun,” lanjut Dja’far, ”Angkatan muda sekarang tak mau lagi melirik pertanian karena memang tak menjanjikan dan tak menjamin hidup, tetapi di Bugel, petani-petaninya mayoritas muda karena kegiatan bertani menjamin hidup mereka. Yang terjadi di situ adalah kehebatan gagasan anak-anak muda dikombinasikan dengan kearifan yang tua-tua.”

Kenyataan di Desa Bugel juga membalik seluruh asumsi yang merendahkan kapasitas dan perjuangan petani, serta membuktikan bahwa gerak ekonomi dari sektor pertanian di desa meniupkan napas kepada kehidupan dan penghidupan di kota.

Acungi jempol

Dja’far mengatakan, lahan pasir itu sangat marjinal, sangat tandus dan telantar sebelum petani datang. Mengubah lahan seperti itu menjadi lahan pertanian produktif dan berkelanjutan tak hanya ekstra sulit, tetapi butuh keuletan dan kesabaran yang luar biasa.

”Lahan pasir sulit mengikat air, penguapannya tinggi sehingga kalau disiram dengan air langsung ambles. Kandungan hara dan bahan organik rendah sekali. Nalar keilmuwan kita mengatakan, lahan seperti itu sulit dikelola,” ujarnya.

Tetapi keuletan petani menaklukkan semua kesulitan ya?

Petani dengan caranya sendiri mampu menyulap lahan tersebut menjadi lahan yang sangat produktif. Sebagai akademisi, kami acungi jempol pada mereka. Dari ilmu kesesuaian lahan, petani tahu bagaimana cara mengelola lahan seperti itu dan memilih jenis tanaman yang cocok, seperti cabai semangka, sayur-mayur, kentang, ubi, bawang, dan labu, bukan mangga, durian, kelapa. Mereka juga menemukan sistem sumur renteng untuk menyiram tanaman. Ini kan pengetahuan dari kearifan lokal yang bisa dijelaskan dengan ilmu fisika—termodinamika

Mereka memahami hubungan antara kelengasan (kadar air tanah), suhu tanah, perkembangan akar, struktur tanah, kaitannya dengan hara dan dampak pada produksi pada kondisi lingkungan yang panas sekali.

Lalu mereka mencoba mencampur tanah dengan bahan organik, terus dicoba, sampai berhasil. Mereka tak bisa menjelaskan secara ilmiah, tetapi hasilnya sangat hebat. Dari coba-coba itu, produksinya naik. Bawang merah, misalnya, meningkat dari 15 ton per hektar menjadi 26 ton per hektar setelah ada perlakuan khusus terhadap lahan.

Bersama petani, kami kemudian melakukan percobaan dengan aplikasi bentonit, pada berbagai kedalaman lapis kedap antara 15 sampai 45 cm yang bisa meningkatkan produksi antara 20-25 persen. Modal awalnya agak besar, sekitar Rp 750.000 setiap petani, tetapi efektif berfungsi selama lima sampai tujuh tahun. Modal itu kembali dalam setahun. Banyak percobaan kami lakukan, tak hanya penggunaan bentonit, tetapi juga lempung, pupuk kandang dan mulsa jerami.

Bagaimana perkembangan sosial ekonomi warga menurut penelitian Anda?

Dari survei sosial ekonomi diketahui, dari lahan 1.500 meter, rata-rata produktivitasnya 2,014 ton per satuan luas. Pendapatan bersih petani mencapai Rp 11,5 jutaan, waktu harga cabai masih Rp 7.000 per kilogram. Tanaman sawi yang diusahakan petani pada luasan antara 0,02-0,08 hektar, produktivitasnya 2,020 ton per satuan luas, dengan pendapatan bersih paling sedikit Rp 1 juta. Saya sempat tak percaya, tetapi petani bilang, ”kalau enggak percaya apa sepeda motor, rumah tembok, dan masjid yang kami bangun itu dari hasil mencuri?”

(Menurut Widodo, seorang petani di Bugel, hasil panen sawi yang merupakan tanaman sampingan cukup untuk membiayai seluruh proses produksi tanaman cabai dan sawi sekaligus. Sawi dipanen setiap satu sampai satu setengah bulan)

Itu artinya usaha tani di lahan pasir membuat mereka sejahtera, bisa menyekolahkan anak-anak ke luar desa. Ini jawaban bagi kita di negara agraris, kalau kita mau seperti petani Kulon Progo itu sebenarnya kita bisa sejahtera.

Pertanian berkelanjutan

Dja’far paham ada persoalan kepemilikan dalam kaitannya dengan lahan garapan petani. Lahan telantar itu, menurut Dja’far adalah tanah pasiran, tak ada yang memiliki.

”Pernah dicek ke kepala desa,” ujarnya, seraya melanjutkan, ”Dalam reforma agraria, kalau ada tanah telantar, tak digunakan dengan baik, lalu dimanfaatkan petani, ya boleh-boleh saja. Lahan itu lahan tak bertuan, tetapi sejak tahun 2004 tiba-tiba berubah menjadi tanah Pakualaman.”

Bagaimana Anda memandang petani Kulon Progo?

Petani lahan pasir Kulon Progo sudah melakukan apa yang diinginkan pemerintah. Pertama, menggunakan teknologi secara arif, yaitu teknologi ramah lingkungan untuk menjamin pertanian berkelanjutan. Contohnya, mereka tak mengubah gumuk- gumuk pasir itu dan tak menggali terlalu dalam. Kedua, mereka sudah menjalankan integrated farming system, dengan menggabungkan pertanian dan peternakan. Banyak dari mereka yang beternak sapi. Kotoran ternak dimanfaatkan untuk memperbaiki kesuburan tanah. Sekarang ini trennya orang ramai-ramai kembali ke yang serba organik. Petani lahan pasir Kulon Progo sudah melakukannya dengan baik.

Saya prihatin kalau seluruh upaya budidaya dimusnahkan karena pengalihfungsian lahan. Penggusuran akan membuat petani kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Kalau itu terjadi, saya khawatir akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka kan sudah sejahtera, tak perlu lahan banyak dan tidak merepotkan siapa pun. Sekarang ini doktor banyak, presiden juga S-3 pertanian, tetapi kita impor pangan dan kelaparan. Akhirnya, semua keputusan memang kembali ke hati nurani.

Bagaimana upaya petani di situ supaya harga komoditasnya tak dipermainkan?

Mereka sudah membentuk suatu lembaga yang mengatur supaya mereka tak dipermainkan tengkulak sehingga harga jual hasil pertanian mereka melampaui standar. Lembaga itu menyediakan sarana produksi pertanian. Kalau ada petani yang kekurangan, tinggal ambil di situ. Nanti dikembalikan setelah panen, tanpa bunga. Hanya, setiap berapa kali pinjam, petani diwajibkan memberi sumbangan untuk keperluan lembaga. Besarnya ditentukan secara bersama.

Bagaimana seharusnya petani diperlakukan?

Beri petani kesempatan untuk menggarap lahan-lahan kosong dan jangan mengonversi lahan pertanian ke nonpertanian. Kita harus berjuang untuk kedaulatan pangan, bukan ketahanan pangan saja, supaya tak mudah dipermainkan luar negeri. Kalau kedaulatan pangan, kita berdiri di atas kaki sendiri.

Pemerintah harus lebih memerhatikan petani. Waktu zaman revolusi fisik dulu, yang banyak membantu gerilyawan adalah petani. Waktu resesi ekonomi, banyak yang di-PHK, pulang kampung, petani yang menampung.

Ini bahasa sederhananya, dulu pertanian ibaratnya ”ibu tua”. Tetapi kemudian pemerintah lebih tertarik dengan industri. Jadilah industri sebagai ”ibu muda”, yang cantik, menarik. Tetapi ketika terjadi resesi, ”ibu muda” itu tak dapat bertanggung jawab pada rumah tangganya. Kembali ”ibu tua” yang harus menanggung semuanya. Sekarang ”ibu tua” tampaknya mau dilupakan lagi.

Rabu, 16 April 2008

Kompas 17-Apr-08: Partai Politik Besar Harus Berpikir Ulang (Sukardi Rinakit - Gusti Ora Sare)

BUDAYA TANDING
Partai Politik Besar Harus Berpikir Ulang
Kamis, 17 April 2008 | 00:58 WIB

Jakarta, Kompas - Partai politik besar perlu melakukan langkah penyesuaian strategi penggalangan massa dan perekrutan kader, terutama dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada. Fenomena budaya tanding di masyarakat memberikan sinyal bahaya, menyusul kemenangan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf dalam Pilkada Jawa Barat dan sebelumnya kemenangan pasangan Ismet Iskandar-Rano Karno dalam Pilkada Kabupaten Tangerang.

Masyarakat tidak bisa digiring dalam aliran mengikuti jejaring infrastruktur partai. Mereka condong melihat wajah baru, figur alternatif. Ini bukan berarti harus artis, tetapi siapa pun yang memenuhi kriteria calon alternatif.

Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate Sukardi Rinakit dalam orasi peluncuran bukunya, Tuhan Tidak Tidur (Gusti Ora Sare): Esai Kearifan Pemimpin (Penerbit Buku Kompas, 2008), di Jakarta, Rabu (16/4).

”Putaran mesin politik sementara ini sia-sia jika dihadapkan pada perilaku pemilih. Masyarakat sedang membangkitkan potensi budaya tanding yang ada pada diri mereka. Ini sekaligus membuktikan, karakter masyarakat Indonesia secara umum adalah melodramatik,” katanya.

Peluncuran buku yang berisikan esai politik Sukardi Rinakit itu mendapat perhatian sejumlah tokoh. Mereka antara lain Sultan Hamengku Buwono X, Sjahrir, Rosihan Anwar, Budiman Sudjatmiko, mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, Kiki Syahnakri, artis Rieke Dyah Pitaloka, Hariman Siregar, dan Ratna Sarumpaet. Mereka pun memberikan pandangan atas pemikiran Sukardi dalam buku itu.

Menurut Sukardi, masyarakat kita berkarakter melodramatik, yakni suka mengharu-biru, mempunyai ingatan pendek, mudah bosan, dan cenderung mengambil sikap diametral (berlawanan). Jika pemimpin yang menjabat (incumbent) tidak berbuat baik, masyarakat akan memilih figur baru seperti yang diimpikan. Masyarakat bosan dengan penampilan.

Sukardi, yang merampungkan program doktoral (PhD) di National University of Singapore, mengatakan, melihat kasus Pilkada Jabar dan Kabupaten Tangerang, Tuhan memang tak tidur. Dalam karakter yang melodramatik itu terselip potensi perlawanan yang luar biasa. Bahkan, karakter masyarakat itu ibarat dua mata pisau.

”Oleh karena itu, parpol besar juga harus melakukan lompatan radikal, baik dalam strategi maupun perekrutan kader. Tanpa langkah itu, konsolidasi demokrasi akan bergerak lambat, lebih bersifat artifisial daripada substantif,” ujar Sukardi. Ia juga mengingatkan, pemimpin harus bisa menginspirasi rakyat. (nal)

Jumat, 11 April 2008

Kompas 11-Apr-08: Berguru Hidup pada Gumuk Pasir (Kisah Katimin)

Berguru Hidup pada Gumuk Pasir
KOMPAS/AHMAD ARIF / Kompas Images
Sukarman
Jumat, 11 April 2008 | 00:38 WIB

Ladang itu awalnya padang pasir kering kerontang. Warnanya hitam mengilat, melepuhkan kaki di siang hari yang terik. Jaraknya sekitar 50 meter dari laut, di selatan Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kulon Progo, Yogyakarta. Suasananya sunyi yang mati. Kehidupan seperti raib.

Di gundukan pasir—istilah setempat gumuk pasir—itulah Sukarman muda yang resah membuang gundah. Sudah tiga tahun sejak menyelesaikan studinya pada Program D-3 Akademi Perindustrian Yogyakarta, dia belum juga mendapat pekerjaan. Sudah dicobanya merantau ke Jakarta, Bandung, hingga Palembang, tetapi hasilnya nol besar.

Suatu pagi pada pertengahan 1985, gerimis menemaninya duduk di atas gumuk pasir. Dalam suasana hati yang lelah dan hampir patah, pandangannya seperti disedot tiga batang tanaman cabai merah yang tumbuh di atas seonggok kotoran sapi kering di pasir. Tak luar biasa, sebenarnya. Tetapi, entah mengapa, pemandangan itu mulai mengusik benaknya.

”Mungkin ada orang yang tidak sengaja membuang cabai di situ,” pikir Sukarman.

Ketika pandangannya mengitari hamparan luas di depannya, Sukarman mulai mengamati beberapa jenis tanaman yang hidup di antara tumbuhan perdu. Ada semangka, ubi, dan lain-lain.

Ia terkesima. Sunyi tak lagi mati, tetapi menjanjikan kehidupan baru. Pagi itu ia menangkap pesan: alam bekerja dengan cara ajaib, dalam situasi yang paling mustahil untuk menyodori kehidupan.

”Kenapa saya tidak mencobanya?” kehendak itu memenuhi batinnya, ”Jika dirawat pasti cabai itu akan tumbuh subur. Kenapa tidak mencoba menanam cabai di lahan pasir? Andai bisa, kehidupan pasti berubah.”

Sukarman mulai menanam cabai di atas lahan pasir seluas 200 meter persegi. Tetangganya, para petani sepuh, mencibir. Bahkan, ayahnya meragukan apa yang dilakukan anak sulungnya yang masih lontang-lantung pada usia 27 tahun itu. Sukarman dianggap ngaya wara atau mengada-ada.

Namun, Sukarman bersikeras. Usaha menanam cabai di atas pasir hitam itu lantas menjadi seperti pertaruhan keyakinannya akan perubahan. Upaya itu tak mudah. Tingginya penguapan di lahan pasir yang panas membuat ia harus terus-terusan menyiram tanaman cabainya. Padahal, sumber air tawar berada jauh di desa.

Sekali lagi, alam menjawabnya. Namun, hanya mereka yang tahu bagaimana alam bekerja mampu menangkap jawaban itu. Sukarman mulai menggali. Ia yakin lahan pasir itu pasti mendapat pasokan air dari resapan Kali Progo dan Kali Bogowonto yang mengapit kawasan itu. Pada kedalaman kurang dari 3 meter, air tawar yang bersih, keluar, melimpah ruah.

Ia lalu mengalirkan air itu dalam bak-bak yang dibangun sejajar sepanjang tanaman cabainya dengan pipa bambu. Sistem ini merupakan cikal bakal bagi apa yang kemudian disebut ”sumur renteng”. Masalah kebutuhan air pun selesai.

Selang tiga bulan, kerja kerasnya menampakkan hasil. Panen pertama menghasilkan 17 kilogram cabai.

Mengubah hidup

Panen itu tak hanya mengubah hidup Sukarman, tetapi juga hidup belasan ribu petani di sepanjang pantai Kulon Progo. Petani-petani lain di desanya, yang kebanyakan hanya penggarap, mulai yakin bahwa pasir itu menyimpan berkah kehidupan.

Mereka mulai berbondong ke gumuk pasir, lahan telantar dengan status kepemilikan yang terbagi tiga, yakni tanah milik bersertifikat, tanah desa, dan tanah milik dinasti Pakualam (Pakualam Ground).

”Patok ini dulunya di sana,” ia menunjuk patok batas wilayah Pakualam Ground, yang katanya bergeser memasuki wilayah garapan warga.

Kini, di atas hamparan pasir yang luas itu—mulai dari Bugel hingga Glagah—aneka jenis tanaman tumbuh subur. Cabai, semangka, jeruk, sawi, terung, kentang, bahkan padi. Sistem sumur renteng berkembang dipadukan dengan genset dan selang plastik.

Warga menemukan kehidupannya di sini. Tak ada pengangguran. Nenek tua pun masih bisa mendapatkan penghidupan dari lahan itu.

”Tanaman kentang seperti ini,” Sukarman menunjuk sepetak lahan yang digarap Mbah Wiji, perempuan sepuh yang sudah bongkok, ”Tumbuh tanpa perawatan yang berarti, tapi panennya tiap tiga bulan. Cukup untuk hidup Mbah Wiji.”

Desa yang semula termiskin di Kulon Progo bermetamorfosa menjadi desa penuh harapan. Para pemuda yang merantau menjadi buruh migran berbondong pulang kampung, menjadi petani. Mereka menepuk dada dan berkata bangga, ”Saya petani!”

Sekarang tak ada lagi rumah gubuk di sini. Setiap rumah tangga memiliki kendaraan bermotor yang mempermudah aktivitas pertanian mereka.

Laboratorium hidup

Kegigihan petani Kulon Progo yang mampu menyulap gumuk pasir menjadi ladang pertanian yang subur itu mendapat apresiasi kalangan akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Pertanian gumuk pasir itu menjadi seperti laboratorium hidup dari berbagai penelitian mereka.

Wilayah itu merupakan daerah pertanian terpadu. Peternakan menghasilkan terutama pupuk kandang, yang digunakan pada lebih 90 persen pemupukan.

”Para petani menemukan teknik yang luar biasa. Kami sering mengirim mahasiswa ke sana untuk belajar dari mereka,” ujar Dr Ir Dja’far Shiddieq MSc, dosen pada Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM.

Dja’far juga mengundang Sukarman ke kampus untuk mengajari ilmu bertani yang riil pada mahasiswa. Sukarman pun sesekali ke kampus, mengajar mahasiswa.

Usia Sukarman kini 50 tahun. Ia menggarap lahan seluas 8.000 meter persegi, 3.000 meter persegi di antaranya untuk pembibitan. ”Waktu tahun 1998, saya panen dari penjualan bibit, sampai bisa beli mobil,” ia menunjuk mobil Suzuki Carry yang bertengger di samping rumah.

Meski dikenal sebagai petani yang lumayan berhasil—ia juga punya tujuh sapi dan dua sepeda motor—hidup Sukarman tetap bersahaja. Setiap hari ia ke ladang, mencangkul, menyiangi, menyirami tanamannya. Namun, yang membuatnya bangga adalah anak sulungnya yang kini kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta.

Sayangnya, ketenangan hidup Sukarman beserta belasan ribu warga kini terusik. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan Pemerintah Provinsi DIY kabarnya akan menggusur mereka. Ibu Bumi yang menghidupi itu akan dihancurkan oleh pertambangan pasir besi atas nama ”devisa” dan ”pendapatan asli daerah”.

Setiap hari pembicaraan warga hanya berkisar pada, ”Apa benar izinnya sudah keluar,” seperti yang juga ditanyakan Sukarman.

Entah, apakah nantinya wilayah ini akan segera menyusul banyak wilayah lain di Indonesia yang harus mendulang akibat dari industri ekstraksi: kegiatan ”pembangunan” yang memangsa rakyat sendiri. Sungguh ironis!

(Ahmad Arif/ Maria Hartiningsih/ Sri Hartati Samhadi)

Selasa, 08 April 2008

Bisnis 9-Apr-08: 'Komisi untuk pejabat dorong impor pangan'


Agribisnis
Rabu, 09/04/2008
'Komisi untuk pejabat dorong impor pangan'
JAKARTA: Indonesia lebih memilih mengimpor produk pertanian saat harga tinggi lantaran para pejabat pemerintah memperoleh komisi USS$10-US$20/ton.

Ketua Umum Komite Bangkit Indonesia Rizal Ramli mengatakan kondisi itu menyebabkan tidak ada kebijakan yang menguntungkan petani "Tingginya harga pangan dunia, saatnya pemerintah meningkatkan kesejahteraan petani," ujarnya seusai deklarasi Barisan Bangkit Indonesia, kemarin.

Namun karena kebijakan pemerintah tidak propetani, momentum itu hilang dan menyebabkan petani dan sebagian besar rakyat Indonesia menderita.

Di luar negeri, harga beras sudah US$800/ton atau sekitar Rp 7.200/kg, sementara HPP petani lokal hanya Rp2.000 per kg. Jauh lebih menguntungkan jika pemerintah membeli beras atau gabah dari petani. Namun, karena para pejabat lebih memikirkan komisi USS$10-US$20/ton, mereka berusaha impor sebanyak-banyaknya.

"Saya tahu benar ada praktik semacam ini. Sebaliknya, kalau membeli padi petani selalu dipersulit, dengan alasan kadar airnya terlalu tinggi, dan lainnya," papar Rizal Ramli yang juga mantan Kepala Bulog.

Dia menjelaskan waktu dia menjadi Kabulog, Menko Perekonomian, Menkeu, Indonesia tidak pernah mengimpor beras. Hal itu disebabkan oleh dia tidak mau menggunakan anggaran/uang rakyat untuk mensubsidi petani asing.

Indonesia mengimpor berbagai produk pangan dan pertanian dalam jumlah besar.

Setiap tahun negeri ini mengimpor 2 juta ton beras, 1,6 juta ton gula, 1,8 juta ton kedelai, 4,5 juta ton gandum, 1,2 juta ton jagung, 1 juta ton bungkil kedelai untuk makanan ternak, 1,5 juta ton garam, dan 850.000 ton singkong untuk makanan ternak.

"Ini sangat tidak masuk akal. Sebagai negara yang subur makmur, pejabat kita sibuk mengimpor bahan pangan dan berbagai produk pertanian lain. Akibatnya, petani dan sebagian besar rakyat Indonesia terpuruk nasibnya. Semuanya karena komisi," tuturnya.

Oleh Martin Sihombing
Bisnis Indonesia

© Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited.

Minggu, 06 April 2008

Kompas 7-Apr-08: Niwar, Menjaga Nyala Mercusuar

Niwar, Menjaga Nyala Mercusuar
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images
Niwar
Senin, 7 April 2008 | 01:23 WIB

Ahmad Arif

Masih pukul 06.00. Dingin menggigit di Nusa Barung. Suara Niwar (45) sayup terdengar dari atas menara di ketinggian sekitar 45 meter. Sepagi itu ia menelepon keluarganya, nun jauh di Situbondo, Jawa Timur, yang dipisahkan Samudra Hindia.

Ketika angin berembus kencang mencipta suara daun dan ranting bergesekan yang gaduh, Niwar setengah berteriak memperjelas suaranya. Satu tangannya memegang erat tiang menara dan sebelah tangannya menggenggam telepon.

Menelepon keluarga adalah obat kangen, sekaligus upaya Niwar tetap menjaga komunikasi dengan manusia lain. ”Di sini yang terdengar hanya suara monyet dan kicau burung,” katanya.

Namun, untuk menelepon, Niwar harus naik ke menara hingga mendekati puncaknya. Telepon genggamnya sudah tua, tak bagus lagi menangkap sinyal.

”Kalau handphone (telepon seluler) baru cukup di tingkat dua sudah dapat sinyal,” ujarnya.

Sudah satu bulan lebih Niwar bertugas di Nusa Barung, salah satu pulau terluar Indonesia yang jarak terdekatnya dengan Desa Puger, Kabupaten Jember, Jawa Timur, sekitar 12 kilometer. Tidak ada penduduk yang menetap di pulau seluas 6.100 hektar ini.

Kesunyian adalah dunia Niwar. Walaupun memiliki tiga anak buah, Niwar sering ditinggal sendirian hingga berminggu-minggu.

”Banyak anggota masih muda, tak tahan jauh dari keluarga. Kita yang sudah tua mengalah saja. Kalau sepi begini, malah kesempatan untuk banyak merenung dan beribadah,” tuturnya.

Niwar banyak menghabiskan waktu di Nusa Barung dengan bercocok tanam di sekitar menara. Mulai dari cabai, kangkung, bayam, ubi jalar, hingga pepaya ditanamnya di sini.

”Ini untuk jaga-jaga kalau kehabisan makanan,” katanya.

Mercusuar di Nusa Barung memang terasing. Untuk mencapainya, orang harus menyeberang dengan perahu selama dua jam dari Desa Puger. Kemudian kita mesti berjalan mendaki bukit yang diselimuti hutan lebat. Kita membutuhkan waktu dua jam lebih jalan kaki untuk mencapai menara itu.

Tak ada sumber air bersih di pulau ini. Petugas mercusuar bergantung pada berkah hujan dan kiriman air dari Desa Puger. Jika hujan tak turun, dan laut diamuk badai sehingga tak ada perahu yang berani menyeberang ke Nusa Barung, itu artinya para penjaga mercusuar dalam bahaya.

Semangat mengabdi

Walaupun berat bertugas di Nusa Barung, Niwar tak berniat meninggalkan tugas. Bahkan, ketika dia baru saja mendapat kabar dari atasannya tentang perpanjangan masa tugasnya di Nusa Barung selama satu putaran lagi, Niwar mengaku tetap akan bertahan. Itu artinya, paling cepat dia akan meninggalkan Nusa Barung hingga lima bulan ke depan.

”Tak ada masalah kalau diperpanjang di sini, asalkan fasilitas hidup di sini diperbaiki. Bak penampungan air bocor sehingga tidak bisa menampung air hujan. Hanya itu permintaan saya,” kata Niwar.

Selama 15 tahun menjadi penjaga mercusuar, Niwar mengaku tak pernah meninggalkan tugas tanpa izin. ”Tidak ada istilah tanggal merah buat penjaga mercusuar. Bahkan, sering saat Lebaran saya masih bertugas. Selama ini baru dua kali saya merayakan Lebaran di rumah bersama seluruh keluarga,” ujarnya.

Selain kemampuan bertahan hidup, yang lebih dibutuhkan untuk tetap bisa bertahan di pulau tanpa penghuni ini, menurut Niwar, adalah ketabahan dan semangat pengabdian.

Tak semua petugas sanggup bertahan seperti Niwar. Penjaga mercusuar di Nusa Barung sebelumnya dikenai sanksi karena ketahuan meninggalkan tugas. Niwar yang seharusnya mendapat giliran tugas menjaga mercusuar di Pulau Sekala, Kepulauan Kangean, sekitar Madura, kemudian dipindah ke Nusa Barung.

Petugas mercusuar di Distrik Surabaya bergiliran menjaga 19 menara suar di wilayah ini, masing-masing selama tiga bulan. Satu menara seharusnya dijaga empat petugas, termasuk kepala regu.

Pertengahan Februari 2008, Niwar meminta izin menengok keluarganya di Situbondo setelah bertugas di mercusuar Besuki selama tiga bulan. Waktu itu banjir melanda Situbondo, dan rumahnya terendam hingga 1 meter.

Belum tuntas mengurus rumah yang terendam banjir, anak keduanya jatuh sakit sehingga harus dirawat inap di rumah sakit. Malam itu Niwar tengah menunggui anaknya ketika atasannya di Departemen Perhubungan, Distrik Navigasi Kelas I Surabaya, meminta dia bergegas pergi ke mercusuar di Nusa Barung.

”Pada paginya saya langsung pergi. Itulah risiko dan tanggung jawab sebagai penjaga mercusuar,” katanya.

Ladang yang dijaga

Niwar menyikapi pekerjaannya sebagai penjaga mercusuar, seperti petani yang setia pada sawahnya. ”Ini ladang saya, harus saya kerjakan dengan sebaik-baiknya. Lagi pula, banyak nelayan dan nakhoda kapal nasibnya bergantung pada panduan lampu mercusuar ini,” tekad Niwar.

Tekad itu tak bisa dibilang sembarangan mengingat sulitnya bertugas di pulau-pulau kecil terluar. Niwar menuturkan, salah seorang temannya, penjaga mercusuar juga, meninggal saat bertugas di Pulau Sepanjang, salah satu pulau kecil antara Madura dan Sulawesi. Padahal, butuh waktu dua hari mengarungi laut dari Surabaya untuk mencapai pulau ini. Selama menunggu jemputan, mayat temannya itu pun harus dimasukkan kulkas agar tidak rusak dan tidak bau.

”Bagi penjaga mercusuar, tak hanya hidup yang susah, tetapi mati pun susah,” katanya.

Perjalanan hidup Niwar memang berat. Setamat sekolah teknik menengah (STM) jurusan mesin di Situbondo tahun 1982, Niwar menjadi karyawan harian di pabrik tebu. Gajinya waktu itu Rp 1.050 per hari. Setelah lima tahun tanpa masa depan karier, Niwar memutuskan keluar dan memilih menjadi makelar sapi. Namun, cita-cita Niwar sesungguhnya adalah pegawai negeri.

”Saya ingin gajian tetap per bulan, dan ada jaminan pensiun,” ujarnya.

Niwar pun terus mencoba melamar sebagai pegawai negeri. Dia masukkan lamaran pada puluhan instansi dinas di tingkat kabupaten hingga provinsi. Namun, tak satu lamarannya pun diterima, hingga pada 1992 Niwar diterima sebagai karyawan di Departemen Perhubungan, Distrik I Surabaya, sebagai penjaga mercusuar.

Setelah mendapat pelatihan selama lima bulan, Niwar ditugaskan ke Pulau Sekala, salah satu pulau terjauh di wilayah Distrik I Surabaya. Waktu itu dia membawa istri dan anak pertama yang masih berumur sembilan bulan ke Pulau Sekala.

”Saya pegawai kecil, harus siap ditugaskan di mana pun saja,” kata Niwar.

Dia memang pegawai negeri biasa, golongan IIIA. Gaji Niwar terasa kecil nilainya dibandingkan dengan pengabdian dia untuk meninggalkan keluarga berbulan-bulan dan hidup sepi sendiri di pulau terpencil.

Ah, andai saja pejabat-pejabat negeri ini memiliki semangat pengabdian seperti Niwar....

Jumat, 04 April 2008

Bisnis 4-Apr-08: Sepekan Indeks Melorot 9.67% - Bursa Kian Suram


Halaman Depan
Jumat, 04/04/2008
Sepekan indeks melorot 9,67%
Bursa kian suram
JAKARTA: Kekhawatiran terhadap tingginya laju inflasi dalam negeri dan prospek perekonomian global yang buram menyeret indeks harga saham gabungan (IHSG) turun 104,22 poin (4,45%) ke level 2.237,97.

Sepanjang pekan ini, IHSG longsor 9,67%, 239,61 poin dari level penutupan Jumat pekan lalu sebesar 2.477,59. Apabila dijumlah, penurunan indeks pekan ini merupakan yang terbesar sejak awal 2008, setelah penutupan pasar pada 22 Januari dengan IHSG tergerus 7,7%.

Hampir seluruh bursa saham Asia kemarin ditutup positif. Hingga pukul 20:54 tadi malam, indeks Dow Jones melemah 45.75 poin.

"Pembuat kebijakan terperangkap di antara dua keputusan sulit. BI tidak bisa mengambil risiko untuk meningkatkan suku bunga, karena akan memperlambat pertumbuhan ekonomi," kata Jason Chong, yang membantu mengelola dana senilai US$600 juta, sebagai Chief Investment Officer di UOB-OSK Asset Management, di Kuala Lumpur, seperti dikutip Bloomberg, kemarin.

"Meski inflasi terkonfirmasi, pasar masih butuh kepastian soal harga BBM. Kalau harga dinaikkan, berapa besar, sehingga investor pasar dan pelaku usaha di sektor riil bisa mengukur risiko," tutur broker PT Amantara Securities Yohannes Eko.

Inflasi pada Maret mencapai 0,95%, sehingga inflasi IHK dalam triwulan I/2008 tercatat 3,41% (quarter to quarter) dan 8,17% (tahunan).

Menyikapi gonjang-ganjing pasar saham, ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto menilai pasar agak nervous ketika mengetahui Bank Dunia, IMF, dan ADB menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah target pemerintah.

10 Saham penyumbang penurunan IHSG dalam sepekan*
SahamPerubahan (Rp)Harga sahamPengaruh IHSG (poin)
Bumi Resources-1.5504.900-41,60
Astra International-4.10019.800-22,96
Astra Agro-6.00020.750-13,07
Bank Rakyat Indonesia-7005.650-11,81
Int.Nickel-8006.350-10,99
Telkom-3509.400-9,76
Bank Danamon-1.1005.900-7,59
Bank Central Asia-2253.025-7,59
Aneka Tambang-5252.950-6,93
United Tractors-1.75010.900-6,90
Ket.:*)kurun 31 Maret-3 April 2008

Pergerakan BI Rate (%)
05/049,00
08/058,75
07/068,50
05/07
07/08
06/098,25
08/10
06/11
06/12
08/01
06/028,00
06/03
03/04

Portfolio investasi asing pada saham* (US$ juta)
Vietnam7,1
Thailand36,4
Taiwan-474,1
Korea Selatan518,6
Filipina38,9
Jepang-1.029,90
Indonesia-114,7
India-291,8
Sumber: Bloomberg, BI, dan diolah

Namun, ECM Strategist PT Trimegah Securities Tbk Satrio Utomo menyangsikan hal itu. Secara teknis, broker sedang membuang saham grup Bakrie, sehingga indeks melorot tajam.

Kepercayaan hilang

Rontoknya IHSG kemarin juga menjalar ke pasar surat utang negara (SUN). Menurut Direktur PT Trimegah Securities Tbk Desimon, harga SUN anjlok karena investor kehilangan kepercayaan.

"Inflasi yang tinggi hanya menjadi pemicu kejatuhan harga SUN. Sejak beberapa waktu lalu, harga SUN cenderung turun, karena terimbas krisis global. Bearish di bursa global, kini inflasi domestik tinggi. Sudah lengkap ceritanya."

Desimon menjelaskan pasar SUN menunggu intervensi pemerintah dan Bank Indonesia. Pasar, menurut dia, kini menanti penjelasan strategi pemerintah dalam menambal defisit APBN dan mengatasi inflasi.

"Respons pemerintah cukup bagus. Pasar panik hari ini dan pemerintah merespons hal itu dan tidak membiarkannya terjadi," ujar Edhi Santoso Widjojo yang membantu mengelola US$151 juta di PT AXA Management Indonesia.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah akan meminjam dana dari Jepang, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk membiayai defisit yang diperkirakan 2,1% dari produk domestik bruto tahun ini.

Dia menilai risiko tekanan ekonomi global saat ini sangat tinggi, tetapi pemerintah telah mengantisipasinya dengan mengajukan percepatan perubahan APBN 2008.

Menko Perekonomian Boediono menyatakan semua kebijakan pemerintah sudah diarahkan pada perhitungan cukup mantap dengan tujuan mengamankan APBN sebagai prioritas utama. "Proses revisi sedang berlangsung. Di sana, kita tunjukkan penerimaan dan pembiayaan berada dalam posisi seimbang."

Di lain pihak, bank sentral mempertahankan BI Rate di level 8% setelah mencermati dan mempertimbangkan prospek ekonomi global, regional, dan domestik. Posisi tersebut konstan sejak 6 Desember 2007.

Rapat Dewan Gubernur BI menilai perkembangan ekonomi global kurang kondusif dan perekonomian Indonesia yang melambat pada tiga bulan pertama. Ini disebabkan oleh pertumbuhan ekspor yang juga melambat akibat pengaruh perekonomian dunia.

"Inflasi ke depan diperkirakan cukup tinggi dan didominasi oleh tekanan biaya terutama tingginya harga komoditas internasional," ujar Deputi Senior Gubernur BI Miranda S. Goeltom membacakan pernyataan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, kemarin. (16/11/ Anugerah Perkasa/M. Yunan Hilmi/Arif Gunawan S./Ahmad Muhibbuddin) (pudji.lestari@bisnis.co.id/wisnu.wijaya@bisnis.co.id)

Oleh Pudji Lestari & Wisnu Wijaya
Bisnis Indonesia

© Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited.