TEMPO 28-Apr/4-Mei-2008: Riset atau Spionase (Opini)
Opini |
Riset atau Spionase |
Banyak hal membuat kegiatan laboratorium Namru-2 di Jakarta kerap mengundang kecurigaan. Yang utama adalah statusnya sebagai bagian dari organisasi Angkatan Laut Amerika Serikat. Setelah itu, aktivitas para anggotanya yang rajin memburu virus penyakit ke seluruh pelosok Indonesia, termasuk daerah rawan dan terpencil. Ditambah lagi, personel militer AS yang bertugas ternyata memiliki paspor diplomat dan kadang mengirim atau menerima paket berisi virus dari dan ke berbagai kawasan dunia melalui jalur pos diplomatik. Laboratorium ini juga terkesan tertutup dan dijaga ketat. Walhasil, tak diperlukan daya imajinasi terlalu aktif bagi warga Indonesia untuk mencurigai lembaga ini sebagai bagian dari jaringan spionase Amerika Serikat di bidang senjata biologis.
Kecurigaan ini terbukti selalu muncul setiap kali terjadi perubahan pemerintahan atau pergantian pejabat tinggi di bidang keamanan atau kesehatan. Uniknya, kehebohan yang biasanya dimulai dengan perintah atau surat seorang pejabat baru untuk mengkaji ulang atau menutup Namru-2 selalu berujung pada kesenyapan. Kegiatan rutin institusi yang bekerja sama dengan badan penelitian dan pengembangan Departemen Kesehatan ini pun terus berlangsung, bahkan hingga kini.
Apa yang terjadi? Rupanya, setiap kali pengkajian dilakukan, termasuk yang baru saja dilakukan awak majalah ini, akhirnya disimpulkan bahwa berbagai kecurigaan itu ternyata berlebihan. Kendati berada di bawah Dinas Angkatan Laut Amerika Serikat, kegiatan utama Namru-2 adalah di bidang penelitian ilmu kesehatan. Personelnya pun hampir 90 persen warga Indonesia. Hasil penelitian mereka juga dilaporkan secara terbuka di jurnal ilmiah di bidang kedokteran.
Bahwa mereka pernah mengumpulkan sampel darah anggota TNI atau mengirim dan menerima virus, ternyata hal itu atas permintaan pihak berwenang nasional. Bahkan kehadiran Namru-2 pun karena permintaan Menteri Kesehatan Indonesia, yang meminta bantuan pemerintah Amerika Serikat mengatasi mewabahnya penyakit campak dan malaria, empat puluh tahun silam. Hasil kerja lembaga ini pun rupanya dikenal luas di dunia medis internasional. Buktinya, Organisasi Kesehatan Dunia, lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengakui Namru-2 sebagai referensi dalam memantau perkembangan virus penyakit menular seperti malaria dan flu burung.
Kinclongnya citra Namru-2 di kalangan medis internasional ini, sayangnya, tak selalu selaras dengan kepentingan nasional. Itu sebabnya kehadiran laboratorium ini di Indonesia memang perlu dikaji secara berkala. Kehadiran personel kesehatan dari Dinas Angkatan Laut Amerika mungkin bukan masalah pada saat Perang Dingin masih berlangsung dan kemampuan Organisasi Kesehatan Dunia belum memadai, empat dekade silam. Kini, ketika Perang Dingin telah usai dan kerja sama multilateral terus berkembang, fungsi Namru-2 mungkin lebih tepat diambil alih oleh lembaga yang mempunyai kemampuan sedikitnya sama di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pengambilalihan fungsi ini, jika dilakukan, tentu harus secara elegan. Pemerintah Indonesia dan Amerika perlu duduk bersama untuk menemukan cara yang paling optimal dalam mengembangkan kerja sama bilateral ini menjadi multilateral di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di antaranya adalah dalam mencari solusi agar negara berkembang memiliki akses untuk mendapatkan vaksin pencegah wabah penyakit dengan harga yang terjangkau.
Ini soal penting karena cukup sering terjadi perusahaan farmasi dari negara maju mengambil manfaat dari hasil riset lembaga internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia atau Namru-2 untuk membuat vaksin yang harganya tak terjangkau negara miskin. Padahal, penelitian yang menjadi sumber vaksin itu dilakukan di negara berkembang. Sungguh ironis, misalnya, jika rakyat Indonesia tak mampu membeli obat penangkal flu burung padahal vaksin itu dikembangkan dari virus yang berasal dari Indonesia.
Ironi ini dapat dicegah jika kesepakatan baru di antara lembaga riset dan industri farmasi internasional dapat disusun. Formula yang diterapkan sepatutnya mengacu pada kesepakatan bagi hasil kekayaan laut dalam perjanjian hukum laut internasional. Yaitu kekayaan bumi di wilayah internasional dibagi rata antara perusahaan yang menemukan serta mengelolanya dan lembaga yang mewakili kepentingan penduduk dunia.
Alternatif lain adalah meniru apa yang dilakukan Microsoft di Indonesia. Perusahaan teknologi informasi terbesar di dunia ini menjual produk versi bahasa Indonesianya dengan harga jauh lebih murah ketimbang versi asli. Ini membuat jauh lebih banyak rakyat Indonesia yang mampu mengakses program buatan Microsoft tanpa merugikan perusahaan Amerika itu. Soalnya, mayoritas pemakai produk berbahasa Indonesia tak mampu membeli versi asli, dan produk ini tak diperkenankan dijual di luar Indonesia.
Semangat mencari solusi cerdas seperti inilah yang kini seharusnya menjadi landasan dalam mengkaji ulang kehadiran Namru-2 di Indonesia. Bila ini dilakukan, berbagai kecurigaan dan teori konspirasi yang meracuni hu-bungan antara Indonesia dan Amerika Serikat dalam kasus Namru-2 akan hilang. Sebagai penggantinya adalah persahabatan yang tulus dan saling menguntungkan.