Kompas 7-Apr-08: Niwar, Menjaga Nyala Mercusuar
|
| KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images Niwar |
Ahmad Arif
Masih pukul 06.00. Dingin menggigit di Nusa Barung. Suara Niwar (45) sayup terdengar dari atas menara di ketinggian sekitar 45 meter. Sepagi itu ia menelepon keluarganya, nun jauh di Situbondo, Jawa Timur, yang dipisahkan Samudra Hindia.
Ketika angin berembus kencang mencipta suara daun dan ranting bergesekan yang gaduh, Niwar setengah berteriak memperjelas suaranya. Satu tangannya memegang erat tiang menara dan sebelah tangannya menggenggam telepon.
Menelepon keluarga adalah obat kangen, sekaligus upaya Niwar tetap menjaga komunikasi dengan manusia lain. ”Di sini yang terdengar hanya suara monyet dan kicau burung,” katanya.
Namun, untuk menelepon, Niwar harus naik ke menara hingga mendekati puncaknya. Telepon genggamnya sudah tua, tak bagus lagi menangkap sinyal.
”Kalau handphone (telepon seluler) baru cukup di tingkat dua sudah dapat sinyal,” ujarnya.
Sudah satu bulan lebih Niwar bertugas di Nusa Barung, salah satu pulau terluar Indonesia yang jarak terdekatnya dengan Desa Puger, Kabupaten Jember, Jawa Timur, sekitar 12 kilometer. Tidak ada penduduk yang menetap di pulau seluas 6.100 hektar ini.
Kesunyian adalah dunia Niwar. Walaupun memiliki tiga anak buah, Niwar sering ditinggal sendirian hingga berminggu-minggu.
”Banyak anggota masih muda, tak tahan jauh dari keluarga. Kita yang sudah tua mengalah saja. Kalau sepi begini, malah kesempatan untuk banyak merenung dan beribadah,” tuturnya.
Niwar banyak menghabiskan waktu di Nusa Barung dengan bercocok tanam di sekitar menara. Mulai dari cabai, kangkung, bayam, ubi jalar, hingga pepaya ditanamnya di sini.
”Ini untuk jaga-jaga kalau kehabisan makanan,” katanya.
Mercusuar di Nusa Barung memang terasing. Untuk mencapainya, orang harus menyeberang dengan perahu selama dua jam dari Desa Puger. Kemudian kita mesti berjalan mendaki bukit yang diselimuti hutan lebat. Kita membutuhkan waktu dua jam lebih jalan kaki untuk mencapai menara itu.
Tak ada sumber air bersih di pulau ini. Petugas mercusuar bergantung pada berkah hujan dan kiriman air dari Desa Puger. Jika hujan tak turun, dan laut diamuk badai sehingga tak ada perahu yang berani menyeberang ke Nusa Barung, itu artinya para penjaga mercusuar dalam bahaya.
Semangat mengabdi
Walaupun berat bertugas di Nusa Barung, Niwar tak berniat meninggalkan tugas. Bahkan, ketika dia baru saja mendapat kabar dari atasannya tentang perpanjangan masa tugasnya di Nusa Barung selama satu putaran lagi, Niwar mengaku tetap akan bertahan. Itu artinya, paling cepat dia akan meninggalkan Nusa Barung hingga lima bulan ke depan.
”Tak ada masalah kalau diperpanjang di sini, asalkan fasilitas hidup di sini diperbaiki. Bak penampungan air bocor sehingga tidak bisa menampung air hujan. Hanya itu permintaan saya,” kata Niwar.
Selama 15 tahun menjadi penjaga mercusuar, Niwar mengaku tak pernah meninggalkan tugas tanpa izin. ”Tidak ada istilah tanggal merah buat penjaga mercusuar. Bahkan, sering saat Lebaran saya masih bertugas. Selama ini baru dua kali saya merayakan Lebaran di rumah bersama seluruh keluarga,” ujarnya.
Selain kemampuan bertahan hidup, yang lebih dibutuhkan untuk tetap bisa bertahan di pulau tanpa penghuni ini, menurut Niwar, adalah ketabahan dan semangat pengabdian.
Tak semua petugas sanggup bertahan seperti Niwar. Penjaga mercusuar di Nusa Barung sebelumnya dikenai sanksi karena ketahuan meninggalkan tugas. Niwar yang seharusnya mendapat giliran tugas menjaga mercusuar di Pulau Sekala, Kepulauan Kangean, sekitar Madura, kemudian dipindah ke Nusa Barung.
Petugas mercusuar di Distrik Surabaya bergiliran menjaga 19 menara suar di wilayah ini, masing-masing selama tiga bulan. Satu menara seharusnya dijaga empat petugas, termasuk kepala regu.
Pertengahan Februari 2008, Niwar meminta izin menengok keluarganya di Situbondo setelah bertugas di mercusuar Besuki selama tiga bulan. Waktu itu banjir melanda Situbondo, dan rumahnya terendam hingga 1 meter.
Belum tuntas mengurus rumah yang terendam banjir, anak keduanya jatuh sakit sehingga harus dirawat inap di rumah sakit. Malam itu Niwar tengah menunggui anaknya ketika atasannya di Departemen Perhubungan, Distrik Navigasi Kelas I Surabaya, meminta dia bergegas pergi ke mercusuar di Nusa Barung.
”Pada paginya saya langsung pergi. Itulah risiko dan tanggung jawab sebagai penjaga mercusuar,” katanya.
Ladang yang dijaga
Niwar menyikapi pekerjaannya sebagai penjaga mercusuar, seperti petani yang setia pada sawahnya. ”Ini ladang saya, harus saya kerjakan dengan sebaik-baiknya. Lagi pula, banyak nelayan dan nakhoda kapal nasibnya bergantung pada panduan lampu mercusuar ini,” tekad Niwar.
Tekad itu tak bisa dibilang sembarangan mengingat sulitnya bertugas di pulau-pulau kecil terluar. Niwar menuturkan, salah seorang temannya, penjaga mercusuar juga, meninggal saat bertugas di Pulau Sepanjang, salah satu pulau kecil antara Madura dan Sulawesi. Padahal, butuh waktu dua hari mengarungi laut dari Surabaya untuk mencapai pulau ini. Selama menunggu jemputan, mayat temannya itu pun harus dimasukkan kulkas agar tidak rusak dan tidak bau.
”Bagi penjaga mercusuar, tak hanya hidup yang susah, tetapi mati pun susah,” katanya.
Perjalanan hidup Niwar memang berat. Setamat sekolah teknik menengah (STM) jurusan mesin di Situbondo tahun 1982, Niwar menjadi karyawan harian di pabrik tebu. Gajinya waktu itu Rp 1.050 per hari. Setelah lima tahun tanpa masa depan karier, Niwar memutuskan keluar dan memilih menjadi makelar sapi. Namun, cita-cita Niwar sesungguhnya adalah pegawai negeri.
”Saya ingin gajian tetap per bulan, dan ada jaminan pensiun,” ujarnya.
Niwar pun terus mencoba melamar sebagai pegawai negeri. Dia masukkan lamaran pada puluhan instansi dinas di tingkat kabupaten hingga provinsi. Namun, tak satu lamarannya pun diterima, hingga pada 1992 Niwar diterima sebagai karyawan di Departemen Perhubungan, Distrik I Surabaya, sebagai penjaga mercusuar.
Setelah mendapat pelatihan selama lima bulan, Niwar ditugaskan ke Pulau Sekala, salah satu pulau terjauh di wilayah Distrik I Surabaya. Waktu itu dia membawa istri dan anak pertama yang masih berumur sembilan bulan ke Pulau Sekala.
”Saya pegawai kecil, harus siap ditugaskan di mana pun saja,” kata Niwar.
Dia memang pegawai negeri biasa, golongan IIIA. Gaji Niwar terasa kecil nilainya dibandingkan dengan pengabdian dia untuk meninggalkan keluarga berbulan-bulan dan hidup sepi sendiri di pulau terpencil.
Ah, andai saja pejabat-pejabat negeri ini memiliki semangat pengabdian seperti Niwar....

0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda