Kompas 28-Apr-08: Fred, Pengabdian Tanpa Henti
Antony Lee
Ia merintis Seksi Pemadam Kebakaran di Kota Salatiga, Jawa Tengah, dan telah bergumul dengan air dan api lebih dari 20 tahun. Ia pensiun tahun 2002. Alih-alih berkumpul bersama anak dan istri di Kebumen, hingga sekarang Fred memilih tetap mengabdi dengan upah sekadarnya. Dia memaknainya sebagai pengabdian seorang abdi negara.
Ditemui di salah satu ruang Seksi Pemadam Kebakaran Kota Salatiga, laki-laki bernama lengkap Fred Patty Kareth (62) ini masih sibuk menanyakan jadwal jaga malam itu. Ketika mengetahui ada petugas yang tak hadir, ia mengungkapkan kekecewaan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak lantaran statusnya yang sekadar diperbantukan.
Tenaga Om Fred, begitu ia disapa, lebih untuk pelatihan terkait pemadaman api untuk instansi sipil maupun militer, termasuk peragaan kepada siswa sekolah. Akan tetapi, tak jarang pula dia harus ikut terjun ke lapangan bila kondisi mendesak dan personel kurang.
Dengan status diperbantukan sejak tahun 2006, setiap bulan Om Fred mendapat upah Rp 150.000. Sebelum itu, selama empat tahun sejak pensiun tahun 2002, Om Fred dikontrak dengan upah bulanan Rp 175.000, dan setiap tahun meningkat hingga pada akhir kontrak upahnya Rp 350.000 per bulan. Kadang ia mendapat uang insentif.
Dari sisi upah, yang diperolehnya relatif tak seberapa. Padahal, Om Fred bisa menolak diperbantukan dan memilih bersantai dengan uang pensiun sekitar Rp 900.000 per bulan.
”Saya justru merasa bersyukur karena masih dibutuhkan. Memang lebih baik berkumpul dengan keluarga, tetapi ini panggilan sebagai aparatur negara untuk melayani masyarakat,” tuturnya.
Istri dan kedua anak Om Fred berada di Gombong, Kebumen, tempat istrinya mengajar sebagai guru. Selama di Salatiga, ia tidur di ruang jaga Pemadam Kebakaran beralaskan kasur lipat, bersama beberapa petugas jaga. Ia cukup mengeluarkan uang Rp 3.000 untuk sekali makan dengan lauk seadanya.
Bila rindu keluarga, Om Fred pulang ke Kebumen, atas izin pimpinan. Dalam sebulan ia dituntut berjaga di Salatiga selama 10 hari, tetapi tak jarang sampai 20 hari bila dibutuhkan. Sisa waktu itulah yang dia habiskan bersama keluarga di Kebumen.
Sejak mahasiswa
Awal perkenalan Om Fred dengan dunia pemadam kebakaran terbilang unik. Pada Agustus 1977 Fred Patty Kareth adalah mahasiswa di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Suatu malam, sekitar pukul 23.00, dia berkeliling mencari makanan dan melewati Pasar Raya I. Tiba-tiba ia melihat ada bagian kios yang terbakar. Dia mencoba mencari sumber apinya. Karena tak bisa memadamkan api, dia menghubungi polisi.
Selang beberapa bulan kemudian, peristiwa serupa terjadi lagi. Ketika pulang dari gereja, di sekitar Blotongan, Sidorejo, ia melihat rumah terbakar. Waktu itu belum ada petugas pemadam kebakaran profesional dan hanya ada satu mobil pemadam kecil milik salah satu perusahaan. Fred berkoordinasi dengan warga, bergotong-royong memadamkan api.
”Saya belum tahu teknik memadamkan api. Saya hanya minta warga berjejer dan berantai air diserahkan. Kalau setiap orang langsung ambil air dan menyiram, lama sekali,” kenangnya.
Peristiwa ini terdengar Wali Kota Salatiga saat itu, Ragil Pudjono. Maka, tahun 1980 Fred diminta menjadi staf honorer Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Salatiga. Tiga tahun kemudian dia diminta mengikuti pelatihan petugas pemadam kebakaran di Jakarta, selama tiga bulan. Ia menduduki peringkat 10 besar dan Salatiga mendapat hadiah satu mobil pemadam kebakaran yang dikirimkan beberapa bulan seusai pelatihan.
Baru dua hari kembali dari pelatihan, kebakaran melanda toko roti terbesar di Salatiga, Wonderai. Berbekal mobil sumbangan perusahaan swasta dan seorang sopir, ia menuju lokasi. Dibantu warga setempat, Fred berhasil memadamkan api.
”Saya berpikir, apa ini jalan yang ditunjukkan Tuhan, inilah pekerjaan yang cocok untuk saya,” ujarnya.
Awal tahun 1984 Fred yang masih pegawai honorer menerima surat keputusan wali kota, ia diangkat sebagai Kepala Seksi Pemadam Kebakaran, jabatan yang diembannya hingga pensiun. Dia diangkat menjadi PNS tahun 1996.
Selama bertugas hingga kini, dia sangat disiplin. Meski selalu berhadapan dengan api dan bahaya, ia seakan tak takut. Laki-laki kelahiran Timinapua, Kabupaten Sorong, Papua, ini berkata, selama bertugas ia tak pernah lupa prinsip dasar: kehati-hatian, kecepatan, ketangkasan.
Namun, masih ada hal yang merisaukannya. Menurut Om Fred, lembaga ini seharusnya berstatus kantor. Status sebagai seksi yang menginduk kepada Dinas Pekerjaan Umum membuat standar minimum tak bisa terpenuhi.
Personel, misalnya, sesuai aturan standar, setiap hari ada tiga regu. Masing-masing regu beranggota minimal enam orang. Namun, total petugas hanya 13 orang, jauh dari ideal. Malah sebagian besar petugas pemadam kebakaran pun berusia di atas 40 tahun.
”Itu impian saya yang belum terwujud, melihat pemadam kebakaran minimal berstatus kantor,” ungkapnya.

0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda