Kompas 9-Mei-08: Panggilan Kebersahajaan Huzna Zahir
|
| KOMPAS/EDDY HASBY / Kompas Images |
Agnes Aristiarini
”Pilihlah pekerjaan yang engkau suka, maka engkau takkan pernah bekerja sehari pun sepanjang hidupmu.” Konfusius (551-479 SM), filsuf China
Tidak banyak yang berubah dalam keseharian Huzna Gustiana Zahir. Dua puluh tahun di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia—dari menguji sampel hingga menjadi Ketua Pengurus Harian YLKI sekarang—ia masih suka berangkat dan pulang kerja dengan angkutan umum kopaja.
Memang ritual itu tak lagi persis sama setahun terakhir setelah YLKI mendapat pinjaman mobil operasional. ”Karena takut hilang, mobil dititip di rumah. Jadilah aku ke kantor dan pulang dengan mobil itu,” kata Huzna.
Angkutan umum tetap jadi pilihan manakala ia ada acara atau menjadi pembicara di tempat yang terkena three in one. ”Aku tak mau cari joki karena menurutku itu melanggar aturan.”
Hari-harinya pekan ini disibukkan dengan artikel untuk menyambut ulang tahun ke-35 YLKI, diperingati setiap 11 Mei. Di luar itu, pekerjaan di YLKI kurang lebih sama: menerima pengaduan konsumen, survei, meneliti, advokasi, dan memberdayakan masyarakat.
Pekerjaan perjuangan
YLKI memang identik dengan perjuangan hak konsumen. Namun, menjalankan YLKI adalah perjuangan lain. Keterbatasan dana—dari lembaga donor dan proyek kerja sama—membuat tak leluasa beraktivitas. ”Kami sangat selektif memilih kegiatan,” papar Huzna.
Akibatnya YLKI terkesan hanya merespons persoalan. Padahal, ada banyak hasil advokasi yang dinikmati publik meski sebagai inisiator nama YLKI jarang terdengar, seperti kompensasi listrik. Ketika pemerintah rutin menaikkan tarif dasar listrik, YLKI menggugat ketidakadilan terhadap konsumen yang terus membayar. Mana kewajiban produsen pada konsumen?
Lewat perjuangan panjang, keputusan presiden (2002) mengenai tarif dasar listrik akhirnya memuat pasal standar mutu pelayanan. Kalau tak bisa memenuhi, PLN harus membayar kompensasi kepada konsumen. Implementasinya antara lain jumlah maksimal kesalahan pencatatan meter, lama pemadaman, dan frekuensi pemadaman.
YLKI sebenarnya belum puas karena biaya kompensasi kecil. ”Tetapi, dalam kasus listrik, yang dirugikan biasanya komunitas, bukan individu, jadi total kompensasi tetap besar. Itu kan hukuman juga,” kata Huzna.
Di kantor-kantor pelayanan listrik yang baik, standar ini ditempel. ”PLN pernah membayar kompensasi kepada penduduk desa kecil di Jawa Tengah senilai Rp 197 juta,” papar Indah Suksmaningsih, Ketua Pengurus Harian YLKI periode sebelumnya, yang menemani berbincang, bersama Daryatmo, pengurus harian YLKI.
Keberhasilan lain adalah adanya pusat layanan di bandara seperti di Denpasar dan sebentar lagi di Surabaya. ”Paling tidak kami bisa ’mendidik’ pelaku usaha bertanggung jawab terhadap produknya. Perkara tak puas dan kembali ke YLKI, itu soal lain,” ujar Huzna.
Perjalanan karier
Jalan hidup menuntun karier Huzna. Masuk Teknologi Pangan IPB karena sang bapak ingin ia menjadi ahli pangan, garis nasibnya berbelok menjelang praktik kerja saat bertemu Zaim Saidi, kakak kelasnya di IPB yang sudah di YLKI. Iming-iming ada banyak uji produk membuat Huzna magang di YLKI. Setelah lulus pun ia sering diminta bantu-bantu, akhirnya para pengurus bilang ”sudah kerja di sini saja”.
Mengawali karier sebagai staf peneliti, ia sempat menangani Warta Konsumen sebelum mendapat beasiswa Overseas Training Office ke Amerika Serikat. ”TOEFL-nya 630 lho,” kata Indah.
Setelah menyelesaikan S-2 studi komunikasi dan pembangunan, Huzna diangkat menjadi sekretaris eksekutif pengurus harian. ”Sempat sih terpikir, ah kalau pulang mau coba ke televisi swasta. Tetapi ya itu, begitu kembali ke YLKI tak kepikiran lagi untuk pindah,” katanya.
Padahal, sudah menjadi ketua dengan masa kerja 20 tahun, gajinya Rp 2.150.000. Itu gaji kedua tertinggi di YLKI setelah Indah, dengan selisih Rp 20.000. ”Aku dibesarkan dalam keluarga yang biasa-biasa saja, jadi tak ada tuntutan untuk mencari lebih,” tuturnya.
Ayahnya, dokter penyakit dalam yang meninggal pada 1995, mewariskan rumah di Jalan Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta. Huzna dan kedua adiknya menemani sang ibu tinggal di situ. Setiap tahun ia mengajukan surat permohonan keringanan membayar pajak bumi dan bangunan, yang tak terjangkau oleh janda pensiunan.
”Di rumah tak ada pembantu, jadi aku juga menyapu dan mengepel. Kalau baju, nyuci dan setrika sendiri-sendiri.”
Di YLKI ia harus memikirkan 25 karyawan dengan gaji pokok terendah Rp 400.000 dan uang transpor Rp 30.000 sehari. Tak jarang ia mendapat ”surat cinta” minta kenaikan gaji. ”Tetapi teman-teman juga tak bisa marah lama-lama, ketuanya saja naik kopaja,” komentar Daryatmo.
Huzna tak berani menaikkan gaji karena pasokan dana tak pasti. ”Yang bisa aku lakukan adalah membagi rata sisa uang setiap pertengahan tahun. Mau sopir, staf, ketua, jumlahnya sama besar,” katanya. Tunjangan hari raya juga sama besar.
Demi pemerataan pula, staf YLKI yang jadi pembicara, diwawancarai stasiun televisi, atau dimuat tulisannya di media menyetor 20-45 persen honornya ke kas YLKI. Upaya lain adalah program jaminan pemeliharaan kesehatan sejak 2002, disusul asuransi jaminan hari tua.
Selalu ada jalan
Keperluan jaminan kesehatan terasa ketika Huzna dideteksi menderita kanker payudara, tahun 1998. ”Aku masih beruntung, dioperasi murid bapakku yang membebaskan biaya ini-itu. Waktu kemoterapi, dokternya juga tanya dulu, diganti kantor tidak biayanya? Begitu tahu asuransi pun tak punya, aku diberi obat kemoterapi yang murah,” katanya.
Sekarang ia masih menjalani pemeriksaan rutin, termasuk uji laboratorium. ”Mahal sih, bisa Rp 400.000-Rp 600.000 sekali periksa. Tetapi ya jalani saja.”
Tak muncul keinginan untuk bekerja di tempat yang lebih menjanjikan. ”Mana tega pindah ke industri pangan, yang sering aku bongkar kejahatannya....”
YLKI adalah hidupnya. Meski kadang jengkel melihat keadaan, perasaan itu luluh ketika datang pikiran, ”Kalau bukan kita, lalu siapa?”
Rasa frustrasi biasanya terobati bila perjuangan berhasil. Tak ada tanda jasa, tetapi selalu ada perasaan, ”Itu dulu karena kita.”
Kebahagiaan kecil-kecil lain membuat Huzna betah di YLKI: bersama para dosennya di IPB membahas produk dengan posisi setara, diundang seminar ke luar negeri, atau saat reuni.
Kalau masih ada mimpi, ”Idealnya YLKI hidup karena dukungan konsumen. Perlu dipikirkan cara masyarakat konsumen berkontribusi dan bagaimana sebaliknya YLKI menunjukkan tanggung jawabnya.”
Begitulah pilihannya, termasuk tetap menulis Huzna dengan huruf z. Banyak saran mengganti dengan s, karena artinya dalam bahasa Arab beda sekali. Huzna berarti kesedihan, Husna berarti yang terbaik. ”Nama itu dari orangtua. Kalau pakai s rasanya bukan aku,” jawabnya.
Menjalani kebersahajaan dengan kesukaan membuat Huzna—juga Daryatmo dan Indah—bertahan. Kata Konfusius, mereka memang tidak bekerja.

0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda