Selasa, 04 Maret 2008

Kompas 5-Mar-08: Minyak Goreng - Tetesan Sisa untuk Ibunda

Minyak Goreng
Tetesan Sisa untuk Ibunda
Rabu, 5 Maret 2008 | 01:38 WIB

Sarie Febriane

Matahari tengah merambat naik ketika dua bocah lelaki itu memulai petualangannya di lorong-lorong pasar yang kumuh. Di setiap muka toko sembako, mata mereka selalu tertumbuk pada onggokan jeriken-jeriken minyak tanah yang telah ”kosong”.

Sekadar berharap ada tetes-tetes minyak yang tersisa sebagai oleh-oleh untuk ibunda di akhir pekan. Zaenal (13), salah satu dari bocah itu, mengambil satu jeriken minyak berukuran 1,8 liter itu. Diangkatnya tinggi-tinggi jeriken berwarna putih transparan itu.

Sama-samar di dasar jeriken tampak membayang sisa-sisa minyak menggenang. Zaenal lalu menuangkan pelan-pelan tetes demi tetes minyak goreng itu ke sebuah gelas plastik bekas minuman kemasan yang dipegangnya dengan hati-hati di tangan kirinya.

”Buat Ibu. Buat goreng tempe, tahu, kadang-kadang ikan," tutur Zaenal dengan nada suara datar.

Siang itu, Zaenal ditemani Ujang (12) menelusuri Pasar Kebayoran Baru, Jakarta, untuk mencari minyak goreng sisa. Sama seperti Zaenal, Ujang mencari minyak goreng sisa untuk diberikan kepada ibunya di rumah. Kedua bocah ini tinggal di Parung, Kabupaten Bogor.

Pasar Kebayoran Lama menjadi tujuan yang efesien bagi mereka berdua. Sebab, dari Parung mereka tinggal menumpang kereta api lalu turun di stasiun Kebayoran Lama.

Setelah merasa cukup mendapat minyak goreng, keduanya lalu menuju sebuah bilik bambu yang reyot dan pengap. Bilik seukuran kira-kira 2 x 1 meter persegi itu rupanya di pagi hari digunakan sebagai lapak penjualan ikan asin. Kedua bocah itu lalu menyimpan kedua gelas plastik berisi minyak buruan tadi di bawah sebuah bale-bale. Di bilik inilah Zaenal dan Ujang melalui tidur malamnya.

Sejak harga minyak goreng terus melambung, hingga kini menembus Rp 14.000 hingga 15.000 per liter untuk minyak goreng curah, anak-anak pemburu minyak goreng sisa makin marak menghiasi lorong-lorong kumuh di pasar tradisional. Setidaknya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, ada sekitar 100 anak, yang saban hari berburu minyak goreng sisa. Beberapa dari mereka berburu minyak goreng sisa usai waktu sekolah. Namun, banyak juga dari mereka yang memilih tinggal di pasar berhari-hari dan baru pulang ke rumah di akhir pekan, seperti halnya Zaenal dan Ujang.

”Anak-anak kayak gitu (yang tinggal di pasar) nambah banyak aja, seratusan ada. Terutama habis lebaran kemarin. Pada tidur di mana aja, kalau udah malam pada di sini istirahatnya,” tutur Ara (60), penjual nasi rames di Pasar Kebayoran Lama.

Di sekitar lokasi warung Ara, yang berada tak jauh di belakang los penjualan daging sapi, merupakan tempat anak-anak pasar itu berkumpul saban malam. Di warung nasi milik Ara pula, anak-anak itu kerap membeli makan.

Putus sekolah

Anak-anak yang tinggal di pasar itu, termasuk Zaenal dan Ujang, memang tidak lagi bersekolah. Mereka putus sekolah sejak kondisi ekonomi keluarga yang terus memburuk apalagi sang ayah biasanya hanya pekerja serabutan. Sementara, anggota keluarga mereka yang lain, terutama adik-adik mereka, masih membutuhkan biaya.

”Enam bulan lalu,” kata Zaenal ketika ditanya sejak kapan putus sekolah.

Sejak putus sekolah itu, Zaenal kemudian diajak teman-temannya di kampungnya di Parung untuk main-main di kereta api. Berangkat dari rutinitas bermain di kereta itulah, Zaenal lalu berkenalan dengan dunia pasar. Rupanya di pasar dia bisa mendapatkan kehidupan.

”Bapak kadang kerja ngangkut pasir, tetapi seringnya enggak," celetuk Ujang.

Sama seperti Ujang, ayah Zaenal pun hanya pekerja serabutan, artinya frekuensi kerjanya sangat tak tentu. Sementara, ibu mereka pun tidak bekerja karena harus mengurus anak yang jumlahnya cukup banyak. Zaenal merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara. Sementara, Ujang anak kedua dari lima bersaudara. Bisa dibayangkan dengan anak-anak sejumlah itu ditambah kondisi ekonomi yang buruk, kedua bocah ini terpaksa mengorbankan indahnya masa sekolah.

Aktivitas Zaenal dan Ujang di pasar tradisional tak hanya memburu minyak goreng sisa. Mereka juga bekerja dengan menjual kantong plastik untuk belanjaan, sekaligus menjual jasa yaitu sebagai kuli angkut belanjaan seharga Rp 500 per buah. Sementara, dari jasa membantu menenteng belanjaan para pengunjung pasar, mereka bisa mendapat sekitar Rp 1000 - Rp 2000 sekali angkut.

Dalam sehari mereka bisa mendapatkan sekitar Rp 10.000, terutama dari hasil menjual jasa angkut belanjaan. Uang sejumlah itu sebagian digunakan untuk makan di warung nasi Pak Ara tadi. Pak Ara bercerita, frekuensi anak-anak pasar itu makan tergantung dari pendapatan mereka dalam satu hari. Sekali makan, mereka rata-rata membayar Rp 3.500 dengan lauk sayur dan tempe.

Ujang mengaku, baru bisa makan dua kali jika sehari sebelumnya dia bisa menghasilkan Rp 15.000 atau seharga satu cangkir single espresso di kedai kopi Starbucks. Ujang dan Zaenal rupanya lebih memprioritaskan menyisakan uang hasil kerja mereka untuk tambahan belanja ibunda mereka.

Jadi, setiap akhir pekan, selain membawa oleh-oleh minyak goreng sisa, anak-anak ini juga tak lupa membawa rupiah sekadarnya kepada sang ibu.

Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan, memburuknya kondisi ekonomi yang ditandai dengan melambungnya berbagai harga sembako di kala daya beli merosot, pada akhirnya membawa korban anak-anak. Kualitas hidup anak dipastikan akan terus merosot. Bahkan, Arist memastikan, hingga tahun 2008 ini jumlah anak putus sekolah di Indonesia akan menembus di kisaran 12 juta anak.

”Mereka akan menjadi korban. Padahal mereka ini tanggung jawab negara. Harga-harga bahan pokok yang terus meroket tak cuma persoalan ekonomi semata. Pada akhirnya akan menjadi persoalan sosial yang serius apalagi jika telah mengorbankan anak-anak," ujar Arist.(Sarie Febriane)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda