Kompas 12-Feb-08: Alister, "Fort de Kock" dari Medan
Entah mengapa di kalangan seniman tradisi di Sumatera Utara ia lebih dikenal dengan panggilan ”Fort de Kock” ketimbang nama aslinya, Alister Nainggolan. Tak ada penjelasan dari sang empunya nama.
Label ”Fort de Kock” yang melekat pada bapak delapan anak dan kakek 17 cucu ini seolah muncul begitu saja dari kesehariannya. Tak ubahnya seperti perjalanan hidup dia yang tak bisa ditebak ke mana akan mengalir.
Di usia yang kian senja, mendekati 70 tahun, Alister Nainggolan masih saja berpindah-pindah tempat tinggal. Bersama istri, anak, dan sejumlah cucu, ia tinggal berdesak-desakan di rumah kontrakan mereka di Jalan Karya Bakti, Medan Kota. Besok atau lusa, seperti halnya kemarin dan kemarin dulu, ia mesti berkemas untuk mencari rumah kontrakan lain lantaran ”terusir” karena berbagai sebab.
”Biasanya karena tak bisa membayar uang sewa,” kata Thomson Hs, seniman muda Sumatera Utara (Sumut), yang mencurahkan waktunya untuk membangkitkan kembali Opera Batak yang tengah mati suri.
Menjadi seniman tradisi sebagai pilihan hidup memang bukan tanpa risiko. Tetapi, itulah yang ditempuh Alister. Sejak putus sekolah saat duduk di kelas II SMA di Umbang Hasundutan, Humbalas, Sumut, dunia seni tradisi seperti menyedotnya.
Apalagi, ketika itu kerja kerasnya membantu sang ayah bertani tak memberi hasil, sementara keinginan berdagang terbentur modal usaha. Dalam situasi serba sulit tersebut, tahun 1965, datang rombongan Opera Batak yang dipimpin Tilhang Gultom (alm) menggelar pertunjukan di Tanjung Balai.
Hampir sebulan rombongan Opera Batak ini berada di sana. Tak hanya mampu menjaring banyak penonton, tetapi juga menarik keinginan seorang anak muda untuk menjadi bagian dari mereka.
”Saat itu kami tinggal di Sungai Loba, kurang lebih 10 kilometer dari Tanjung Balai. Agar bisa menonton pertunjukan mereka, awak harus jalan kaki. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja sejak itu awak ikut bergabung dengan mereka. Bukan sebagai pemain atau pemusik, tapi jadi tukang angkat-angkat barang,” kenang Alister tentang awal keterlibatannya dalam komunitas Opera Batak.
Tenaga keamanan
Sebagai pendatang baru ternyata tak gampang untuk bisa dilirik sang pemimpin. Dua setengah tahun lebih ia harus menunggu. Selain sebagai tukang angkat barang perlengkapan bermain, Alister dapat tugas tambahan. Saat pertunjukan berlangsung ia menjadi semacam tenaga keamanan. Tugas khususnya mencegah kalau ada calon penonton tanpa karcis berniat menyelinap.
Setelah bertahun-tahun ”mengabdi”, kesempatan tampil datang juga. Bukan sebagai aktor panggung, melainkan di bidang musik. Perubahan ”status” itu berjalan begitu saja. Berawal dari kebiasaannya memainkan berbagai alat musik opera di waktu senggang, sedikit demi sedikit Alister mulai menguasai hampir semua jenis alat musik yang biasa digunakan dalam Opera Batak.
Ia tak cuma terampil memainkan sarune etek (serunai kecil) dan sarune bolon (serunai besar). Alister mulai piawai meniup sulim (seruling) dan memetik hasapi (kecapi dua tali). Ia juga pandai memainkan garantung (gamelan kayu) dan taganing (seperangkat gendang yang terdiri atas dua pasang gendang besar dan satu kecil). Tak usah ditanya bagaimana memainkan alat musik pelengkap yang disebut tokkel, yakni botol yang dipukul-pukul untuk memberi warna pada ”orkestra” simfoni Opera Batak.
Semua jenis alat musik pendukung pertunjukan opera itu telah ia kuasai. Begitu ada pemusik yang berhalangan, Alister memberanikan diri tampil sebagai pemain pengganti. Begitu seterusnya, sampai ia dipercaya penuh menjadi bagian dari pemain musik tetap dalam setiap pertunjukan Opera Batak Serindo.
Masa bulan madu dengan grup Opera Batak Serindo hanya bertahan hingga awal 1970-an. Setelah Tilhang Gultom meninggal pada 1972, dan estafet kepemimpinan diteruskan Zulkaidah boru Harahap, Alister memutuskan membentuk grup sendiri.
Di bawah bendera Tiurma Opera yang ia dirikan pada 1974, Alister mulai menyadari betapa berat beban pemimpin. Lebih-lebih ketika masyarakat mulai mengenal tontonan melalui televisi, dan pertunjukan Opera Batak pun mulai ditinggalkan.
”Petinju Elias Pical ikut bikin hancur Opera Batak,” kata Alister tertawa kecut mengingat masa kejayaannya sebagai pemain musik dan tauke Opera Batak.
Tentu saja nama petinju Elias Pical ia maksudkan sekadar menyebut jenis tontonan yang ditayangkan televisi. Kebetulan ketika itu nama juara dunia tinju ini begitu populer. Setiap ia bertanding disiarkan langsung oleh televisi. Akibatnya, orang-orang tak lagi berminat menonton pertunjukan Opera Batak, melainkan duduk beramai-ramai di depan televisi: menonton Elias Pical mempertahankan gelar.
Jadi ”pengamen”
Tak kuat lagi menanggung biaya hidup para pendukung grupnya, tahun 1984 Tiurma Opera ia bubarkan. Sejak tak lagi menjadi tauke Opera Batak, kehidupan Alister dan keluarga bukan membaik. Seperti halnya para bekas pemain Opera Batak lain, ia pun harus bekerja serabutan agar bisa bertahan hidup.
Belakangan, bersama istri (Arliana boru Sihombing yang ia nikahi tahun 1966 seusai manggung di Sidikalang) serta anak-anak mereka (terutama Siti Tiurma, Editua, dan Hendra), Alister sibuk ngamen dengan seperangkat alat musik Opera Batak yang harus ia sewa.
Uang yang mereka peroleh dari ngamen di berbagai hajatan, meski bisa tiga kali dalam seminggu, hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Dengan bayaran Rp 600.000-Rp 1 juta sekali tampil, setelah dipotong sewa peralatan musik, sisanya dibagi untuk sekitar 10 orang.
”Sedikit? Memang! Apalagi saat-saat tertentu, terkadang dalam sebulan tidak ada panggilan main. Kalau tiba-tiba ada lagi permintaan, wah… senangnya bukan main. Paling tidak ada harapan untuk bisa beli beras,” katanya.
Meski usia terus menggerogoti, ia begitu bersemangat saat diajak bicara tentang Opera Batak. Terlebih bila sudah memegang alat musik tradisi tersebut, wajahnya seperti bercahaya dan semangat hidupnya bagai menyala.
”Masalah di rumah jangan dipikirkan. Nanti saja itu. Memainkan alat musik ini harus benar-benar dijiwai, bukan sekadar sulim dan sarune ditiup, hasapi dipetik, atau garantung dan taganing dibunyikan,” ujarnya.
Ketika tiga di antara delapan anaknya mengikuti jejak bapaknya, ada rasa gembira sekaligus sedih menggayuti Alister. Gembira karena anak-anaknya bisa meneruskan permainan musik Opera Batak, ada yang akan menggantikannya.
Namun, di balik itu rasa sedih tak bisa ia sembunyikan. Ia yang sudah 40 tahun lebih melebur diri dalam seni tradisi—bahkan sempat ikut menikmati masa kejayaan Opera Batak—tak bisa memberikan yang terbaik bagi keluarga. Bagaimana masa depan anak dan cucunya dari hasil bermain Opera Batak kelak?
Alister tak mampu berkata-kata, seiring langit malam Kota Medan yang kala kami bercakap kian tua dan kelam... (oni/ken)
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.12.02521918&channel=2&mn=13&idx=13

0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda