Rabu, 06 Februari 2008

Ketika Para Narapidana Top Sibuk Kuliah Hukum di Kelas Eksekutif

Ketika Para Narapidana Top Sibuk Kuliah Hukum di Kelas Eksekutif
Kamis, 07 Feb 2008,

Malu-Malu Nurdin Halid Lipat Jas Almamater, Guterres Ikut untuk Bunuh Jenuh
Lapas Cipinang dan Rutan Salemba bekerja sama dengan sebuah universitas swasta membuka program kuliah jarak jauh kelas eksekutif. Mayoritas peminatnya adalah para napi kenamaan. Bagaimana aktivitas perkuliahannya? Apa jurusan favorit para napi?

AGUS MUTTAQIN, Jakarta

Suasana aula di lantai II Rutan Salemba lebih ramai daripada biasanya. Puluhan napi membaur bersama petugas rutan dan pejabat Kanwil Depkum HAM DKI. Mayoritas napi yang mengenakan jas almamater Universitas Bung Karno (UBK) duduk di deretan kursi tengah. Sebagian lagi, termasuk terpidana kasus impor beras Nurdin Halid, memilih duduk di deretan kursi belakang.

Para napi itu menghadiri acara peresmian pembukaan program perkuliahan kelas eksekutif di Rutan Salemba. Itu menyusul pembukaan program serupa di Lapas Cipinang pada pertengahan Januari lalu.

Perkuliahan di penjara bukan kali pertama dibuka di Cipinang. Pada 2002, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Iblam, Jakarta, membuka program kuliah jarak jauh di Lapas Batu, Nusakambangan. Salah satu mahasiswanya adalah Tommy Soeharto, putra bungsu mantan Presiden Soeharto. Terpidana kasus penembakan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita itu sanggup mengambil gelar sarjana hukum sebelum berakhirnya masa pidana.

Peresmian kelas eksekutif di Rutan Salemba Selasa (5/2) dihadiri sejumlah napi mahasiswa dari "kampus" Cipinang. Di antaranya, Eurico Guterres (terpidana kasus pelanggaran HAM) dan Sihol Manullang (kasus korupsi pengadaan kotak suara KPU). Sihol sebagai ketua kelas mewakili teman-teman sekampusnya di Cipinang. Acara tersebut juga dihadiri Ketua Umum Persatuan Narapidana Indonesia (Napi) Rahardi Ramelan, Rektor UBK Prof Daniel Khumarga, dan Kakanwil Depkum HAM DKI Didin Sudirman.

Dari undangan, bisa jadi penampilan Guterres cukup meyakinkan sebagai mahasiswa. Dia mengenakan tas punggung khas mahasiswa. Sihol terlihat sibuk menenteng map berisi permintaan kesediaan Rahardi sebagai dosen tamu di "kampus" Cipinang.

Sebaliknya, Nurdin Halid yang duduk di kursi belakang tampak malu-malu berpenampilan ala mahasiswa. Ketua umum PSSI itu sengaja melipat jas almamaternya. Nurdin juga irit komentar ketika ditanya kesannya "duduk" di bangku perkuliahan lagi. "Wawancaranya sama yang lain saja ya..," ujar Nurdin sambil menepuk bahu wartawan koran ini. Seusai acara, mantan anggota DPR itu memilih kembali ke sel untuk tidur siang.

Meski demikian, Nurdin mengaku antusias mengikuti kelas eksekutif. "Nanti kuliahnya di sini (aula rutan). Kami sama-sama mengambil kuliah (bidang) hukum," imbuhnya. Nurdin berharap perkuliahan kelak tidak mengganggu jadwal rutinitas di rutan, seperti berolahraga dan memantau organisasi sepak bola yang masih dikendalikannya.

Nurdin seolah menjadi bintang pada peresmian kelas eksekutif itu. Selain mendapatkan pujian dari mantan Kabulog Rahardi Ramelan, pada akhir acara, Nurdin disalami para pejabat Depkum HAM. Bahkan, Kalapas Cipinang Haviluddin menawari Nurdin pindah ke Lapas Cipinang. "Mau kuliah di sini (Rutan Salemba) atau di sana (Lapas Cipinang). Nah, enak di sini kan..," ujar Haviluddin saat menyalami Nurdin.

Para napi umumnya antusias mengikuti perkuliahan kelas eksekutif. Sejak empat bulan dibuka di Lapas Cipinang, pesertanya terus bertambah dari 40 napi menjadi 82 napi. Di Salemba baru ada 42 napi mahasiswa. Para napi yang ikut kelas eksekutif, antara lain, E.C.W. Neloe, Theo F. Toemion, Andi R. Alamsyah (kasus korupsi Jamsostek), Ferry (kasus pembunuhan penyanyi Alda Risma), Dicky Iskandar Di Nata, dan Oki Harnoko. "Pollycarpus (Budihari Priyanto) belakangan ikut menyusul kelas eksekutif," ungkap Guterres. Selain ingin menambah wawasan, lanjut Guterres, mereka tertarik masuk kelas eksekutif untuk "membunuh" kejenuhan di dalam sel.

Guterres menuturkan, selama empat bulan ini, perkuliahan kelas eksekutif itu berjalan lancar, bahkan mengalami kemajuan pesat. "Kami juga telah mengumpulkan beasiswa," ujar Guterres. Jumlah beasiswa yang terkumpul dari donatur Rp 168 juta. Beasiswa tersebut diprioritaskan untuk napi mahasiswa yang dihukum seumur hidup dan kemampuan finansialnya pas-pasan.

Para napi juga menerima bantuan buku-buku teks dari mantan napi yang telah bebas. "Kalau nggak tersedia, kami biasanya titip kepada keluarga untuk membeli buku teks di Gramedia," imbuh Guterres yang tertarik mengambil jurusan hukum tata negara.

Biaya perkuliahan kelas eksekutif tidak semahal yang dibayangkan. Para napi hanya diwajibkan membayar uang pendaftaran Rp 1,75 juta hingga Rp 2,1 juta. Biaya bulanannya Rp 350 ribu. "Masa kuliah kami relatif lebih pendek dibandingkan dengan umumnya kampus. Masa kuliah hanya 32 bulan, langsung dapat gelar sarjana hukum. Kami nggak mengenal hari libur," kata Guterres. Selama 32 bulan itu, napi mahasiswa harus melahap 144 SKS.

Masa semester juga diperpendek dari enam bulan menjadi empat bulan. Satu hari perkuliahan dihitung empat jam yang dimulai pukul 17.00-pukul 21.00. Semua perkuliahan diberikan di dalam ruangan. Baik kuliah di Cipinang maupun Salemba dilaksanakan di aula. Lokasi itu juga rencananya digunakan untuk ruang praktikum peradilan semu. "Kami nggak perlu mengambil praktikum di luar lapas," jelas Guterres.
(*)

Posting Edhy Aruman di Linkers,
Feb 7, 2008 6:57 AM

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda